M. Fahmi Saiyfuddin
Kredit foto: Lutviavandi.com
Praktis, ya satu kata ini sangat familiar bagi kita generasi 2000-an, satu kata yang mengandung makna mempermudah atau memotong proses tahapan agar menjadi lebih cepat. Hal tersebut tentu sangat berguna dan manfaat bagi penunjang kelangsungan hidup manusia, karena terkesan meringankan beban kehidupan seperti kebutuhuan manusia akan air yang mudah ditemukan di warung-warung atau minimarket sepanjang jalan.
Namun kendati demikian, apakah kondisi tersebut baik juga bagi kelangsungan hidup manusia ke depannya ? tentu hal tersebut masih dalam perbedebatan para ahli, namun ada sebuah hipotesis atau dugaan mengenai jawaban tersebut kawan sekalian, dan marilah kita ulas bersama.
Air, merupakan kebutuhan pokok bagi seluruh umat manusia, maka tidaklah heran pendiri bangsa kita menyebut Indonesia dengan sebutan tanah air. Karena kita tidak akan bisa hidup kecuali berada di atas tanah, dan kita tetap memerlukan air untuk menunjang segala kebutuhan domestik seperti masak, mencuci dan hal lainnya. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Sidang Umum pada 28 Juli 2010 mendeklarasikan bahwa setiap individu berhak memperoleh air. Oleh karenanya, negara memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak tersebut. Atas dasar itu pula, pemerintah harus memastikan bahwa air yang ada di dalam negeri dimanfaatkan untuk sebenar-benarnya kemakmuran rakyat, seperti yang telah dimandatkan oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasal 33 ayat 3.
Sejarah pun membuktikan bahwa peradaban-peradaban besar dunia, biasanya berada di sekitar sungai-sungai, sepeti Peradaban Sungai Niil Mesir, Peradaban Sungai Gangga India, dan lain-lain. Tapi kini kita melihat sungai-sungai sudah sangat tercemari oleh berbagai macam limbah, baik limbah industri maupun limbah-limbah kecil dari tangan tak bertanggung jawab yang seenaknya membuang sampah seperti plastik, bekas botol mineral, dan sampah-sampah lain yang menjadi pandangan menakjubkan dan memilukan, serta tak jarang meninmbulkan semerbak bau yang sungguh amat menusuk hidung.
Hal tersebut sering dijumpai di Kota-kota besar serta kawasan industrialisasi, walaupun kini sebagian wilayah perdesaan pun mulai merangsek berbagai industrialisasi. Kondisi ini mengakibatkan menurunnya kualitas air tanah karena pencemaran yang kian buruk dan berkelanjutan, sehingga menjadikan masyarakat kota mau tidak mau mengkonsumi air dalam kemasaan yang didapat dari wilayah yang memiliki air melimpah.
Tapi tahukan teman-teman sekalian, bagaimana kondisi di sekitaran pabrik air mineral dalam kemasan tersebut ?
Di beberapa area dimana sumber air mulai dikomersialiasikan, warga mulai kesulitan mendapatan air bersih. Di Kecamatan Cidahu dan Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat misalnya. Pada tahun 2009, tercatat, ada 27 perusahaan di area ini yang operasionalnya menggunakan air tanah sehingga mengganggu pemenuhan kebutuhan air rumah tangga warga sekitar.
Berdasarkan hasil penelitian Widarti (1995) yang dikutip dari Laporan Penelitian Amrta Institute mengenai pendapatan dan belanja sektor air, kebutuhan air bersih untuk setiap rumah tangga per tahunnya adalah sebesar 204.6 m³. Merujuk pada data tersebut, total kebutuhan air bersih warga Kecamatan Cidahu per tahunnya adalah 4.519.203 m3. Sementara, total volume air yang diambil oleh sekitar 27 perusahaan yang beroperasi di kecamatan tersebut selama tahun 2006 saja mencapai 5.960.671 m3. Artinya, jumlah volume air yang diambil pihak perusahaan lebih besar daripada jumlah kebutuhan air bersih untuk rumah tangga warga.
Tidak hanya itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Koalisi Rakyat untuk Hak Air (KRuHA) pada tahun 2006, muka air tanah pada sumur gali milik warga di enam desa di Kecamatan Cidahu mulai menurun rata-rata mencapai 5-8 meter. Di Desa Babakanpari misalnya – lokasi pabrik PT. Aqua Golden Mississippi – tinggi muka air sumur sebelum pabrik beroperasi di wilayah itu biasanya mencapai 1-2 meter. Namun kini, tinggi muka air sumur milik warga hanya mencapai maksimal 15 cm. Agar tetap dapat memperoleh air, warga lalu memperdalam kembali sumurnya hingga mencapai 15-17 meter, dari yang sebelumnya 8-10 meter.
Data ini dimuat dalam film Dokumenter yang diunggah oleh Yayasan Tifa (Tifa Foundation) pada 27 Agustus 2013 dengan judul “Air Keruh untuk Rakyat, Air Bersih untuk Industri”. Link : https://www.youtube.com/watch?v=S9zoZKNdEMU
Begitupun, setelah air tersebut dikemas, menimbulkan masalah baru yang tak kalah meresahkan, yakni Dampak Limbah Plastik.
Selain dampak buruk dari air mineral saat produksi, ada dampak buruk baru yang timbul, yakni sampah plastik. Bisa diuraikan demikian :
1 Gelas air dalam kemasan : isi 250 ml : Rp. 500
1 Botol air dalam Kemasan : isi 500 ml : Rp. 3000 – Rp. 5.000
1 Botol air dalam Kemasan : isi 1 Liter / 1000 ml : Rp. 5000 – Rp. 10.000
1 Galon air isi ulang : 19 liter : 19.000 ml : Rp. 5.000 – Rp. 15.000
Tradisi buruk dewasa ini dengan dalih ‘Praktis’ menjadikan kita terbiasa membeli atau mengunakan air dalam kemasan Gelas, Botol Tanggung 600 ml, atau Botol 1 Liter untuk kebutuhan individu maupun kegiatan berkelompok. Jika kita kalkulasikan dengan volume air untuk 1 galon berisi 19 liter, maka akan ditemukan data demikian:
1 Galon : 19.000 ml – 1 Gelas : 250 ml : maka butuh 76 Gelas, harga : Rp. 38.000
1 Galon : 19.000 ml – 1 Botol : 500 ml : maka butuh 38 Botol, harga : RP. 114.000 – Rp. 190.000
1 Galon : 19.000 ml – 1Botol : 1 Liter/ 1000 ml : maka butuh 19 botol : Rp. 95.000 – Rp. 190.000
Jika Hasil dari ketiga tersebut di kurang harga untuk membeli 1 buah Galon, maka akan ditemukan:
Rp. 38.000 – Rp. 15.000 = Rp. 23.000
Rp. 114.000 – Rp. 15.000 = Rp. 99.000
Rp. 95.000 – Rp. 15.000 = Rp. 80.000
Jelaslah, Berapa uang yang kita keluarkan hanya untuk membeli pembungkus yang akhirnya menjadi ‘Sampah’ serta menimbulkan masalah yang berkepanjangan, walau terdapat dalih mampu untuk didaur ulang, namun realitanya menimbulkan dampak berkelanjutan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jenna R. Jambeck dari University of Georgia, pada 2010 ada 275 juta ton sampah plastik yang dihasilkan di seluruh dunia. Sekitar 4,8-12,7 juta to diantaranya terbuang dan mencemari lautan. Indonesia yang yang setiap tahunnya menghasilkan 3,22 juta ton sampah plastik yang tak terkelola dengan baik, berdampak sekitar 0,48-1,29 juta ton sampah plastik yang mencemari lautan. Bahkan data penelitian tersebut mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara dengan jumlah pencemaran sampah plastik ke laut terbesar kedua di dunia.
Tidak berhenti sampai disitu, pencemaran akan bisa terus meningkat. Saat ini, industri-industri minuman di Indonesia merupakan sektor yang paling pesar pertumbuhannya. Pada kuartil I-2019, pertumbuhan Industri minuman mencapai 24,2% secara tahunan.
Pertumbuhan industri minuman yang sangat pesat tentu saja akan menghasilkan pertumbuhan jumlah sampah plastik yang semakin banyak. Terlebih saat ini kapasitas pengelolaan limbah plastik masih terbilang minim. Hal ini merupakan ancaman keberlanjutan terhadap kehidupan umat manusia.
Ada satu hal menarik pendapat seorang teman, bahwa mereka yang membuang sampah sembarang akan mendapat dosa jariyah. Loh kok bisa ? Contoh kamu buang satu botol plastik sembarang sudah dosa, kemudian plastik itu hanyut ke kali/sungai maka dosa lagi, lalu membuat kali tercemar maka dosa lagi, kemdian membuat kali tersendat maka dosa kali, hingga air kali keruh dan bau maka dosa lagi, lantas menimbulkan banyak penyakit maka dosa lagi. Oh Tuhan Ampuni seluruh hambamu ini atas dosa jariyah tersebut.
Satu hal lagi kawan, aku berfikir setelah kita tahu bahwa proses pembuatan air mineral dalam kemasan menimbulkan dampak buruk bagi warga sekitar pabrik. Maka aku ragu saat ada air mineral dalam kemasan yang kemudian didoa’kan, apakah doa’ tersebut terqobulkan atau tidak ? karena air tersebut tersebut mengandung doa’ orang-orang yang terzdolimi karena sumber air dicuri oleh perusahaan. Wa Allahu A’lam !.
Rumah Pengetahuan Daulat hijau
Minggu, 24 November 2019
Rabu, 13 November 2019
Pilkades dan Spirit Dana Desa
Kredit foto: radar mojoMojok
Penulis: Iswan Taufik
Seperti biasanya, selama 1 periode dalam jangka waktu 5 tahun terakhir akan digelar lagi tradisi pemilihan pemimpin di tingkat desa atau biasa kita sebut "Pilkades" (Pemilihan kepala desa).
Namun didalam kontestasi kali ini, tampaknya telah terjadi perubahan yang lebih signifikan, karena perekrutan calon kandidat terlihat lebih ketat dengan segala peraturan-peraturan dan perolehan skor yang telah di keluarkan oleh Perbup/Pemda (Pemerintah kabupaten atau Pemerintah Daerah) aturan tersebut diantaranya :
1.Pengalaman di Lembaga Pemerintahan
2.Jenjang Pendidikan
3.Kategori Usia
4.Penduduk Intern desa/ekstern desa
Peraturan tersebut dikeluarkan dalam rangka pendisiplinan calon kandidat serta menjadi sarana agar calon pemimpin yang termasuk kedalam penjaringan kepanitiaan pilkades tidak bersifat kontradiktif antara kemauan memimpin dan kapasitas untuk menjadi seorang Pemimpin. Sehingga, syarat-syarat yang telah diupayakan tersebut dipandang perlu untuk diberlakukan, terlepas dari kelebihan serta kekurangannya.
Pada masa kepemimpinan Soekarno tepatnya pada pasca kemerdekaan Republik indonesia. Sebagaimana kita ketahui, catatan sejarah mengatakan Indonesia belum menempuh kedaulatan seutuhnya. Demi mengemban amanat kemerdekaan, mau tidak mau Soekarno harus menyembuhkan luka yang diderita oleh bangsa Indonesia khususnya pengentasan kemiskinan mulai dari sektor terkecil. Misalkan yang melatar belakangi terjadinya penjajahan yaitu alat produksi (tanah) yang terbentang luas mulai dari sabang sampai merauke. Didalam buku hasil riset tokoh revolusioner D. N. Aidit yang berjudul "Mengganjang tujuh setan desa" terdapat catatan bahwasannya kepala desa pada masa itu khususnya di wilayah jawa barat, nyaris semua mempunyai jatah atas tanah yang bersifat eigendom (tanah peninggalan sisa belanda) . Studi kasus yang dapat diambil misalkan, penduduk desa yang berjumlah 3.000 penduduk maka Kepala desa mendapatkan tanah 40% dari jumlah tanah yang dimiliki warga di desa setempat. Padahal, Pemerintan kala itu sudah mengeluarkan UUPA (undang-undang pokok agraria) dan UUPBH (undang-undang pokok bagi hasil) dalam rangka terwujudnya pendistribusian ulang lahan pertanian atas prakasarsa atau dukungan pemerintah atau yang biasa disebut "Reforma Agraria".Walaupun agenda Reforma Agraria tersebut sudah tersebar luas, akan tetapi banyak sekali yang masih melanggar secara diam-diam atau bahkan menentang kebijakan yang ada. Utamanya kelompok borjuis atau tuan tanah yang telah menjalin hubungan gelap dengan kapitalis birokrat dan pemerintah desa. Kepala desa, borjuasi serta kapitalis birokrat yang menentang kebijakan itu, didalam benaknya tentu tidak lain hanyalah untuk melindungi harta kekayaaan mereka atas akumulasi tanah yang telah ada.
Pasca kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2014 terjadi perombakan kebijakan dari tingkat nasional sampai pedesaan khususnya dana desa dan anggaran dana desa. Di era pemerintahan SBY untuk dana desa mempunyai dianggarkan 60 juta pertahun, akan tetapi di garis estafet kepemimpinan Presiden Jokowi menjadi 1,8 M pertahun. Secara kuantitatif, terobosan dana yang telah dikucurkan kedesa itu bukanlah hal yang sedikit sehingga memerlukan pengawasan yang cukup jeli untuk dana tersebut agar bisa dipergunakan secara produktif oleh Pengelolanya yakni Kepala Desa. Selain itu, watak kebijakan pembangunan Soeharto yang berdampak luas serta berlangsung sampai hari ini. Persoalan dana desa pun masih menganut watak orde baru yaitu bagaimana Pembangunan infrastruktur dan pembangunan sumber daya manusia bisa seimbang. Tentu hal ini bukanlah hal yang mudah, apalagi paradigma masyarakat juga masih terkesan stagnan tentang idealnya sosok pemimpin yang di idamkan. Faktanya tidak jarang penilaian masyarakat tentang pemimpin yang baik itu diimajinasikan sosok pemimpin yang mampu menyulap jalan terjal menjadi jalan aspal, ladang dan tanaman jagung menjadi gedung-gedung. Padahal di era yang serba keterbukaan ini masyarakat tidak hanya membutuhkan pembangunan secara fisik, akan tetapi bagaimana agar masyarakat mampu dibangun secara peningkatan kualitas sumber daya manusia. Jika paradigma tersebut terus-terusan dilanjutkan, bukan tidak mungkin dana desa yang telah dikucurkan pemerintah hanya akan mempersempit ruang gerak pedesaan dengan segala mitos pembangunan yang ada.
Kami tidak hanya butuh pemimpin yang hanya bermental beton (aspal), akan tetapi yang kami butuhkan pemimpin yang mampu mengayomi dan mengarahkan rakyatnya untuk mencapai kesadaran. Kesadaran kegotong-royongan, kesadaran politik, serta kesadaran untuk menjadi manusia seutuhnya yang tidak hanya menghamba pada prestise gedung pencakar langit.
Kedepannya, semoga calon-calon kandidat yang sudah punya tiket di kontestasi Pilkades pada periode 2019-2024 tidak hanya menampakkan arogansinya terhadap kucuran dana desa dan anggaran dana desa yang telah disediakan. Semoga persyaratan-persyaratan baru yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten guna menyambut pesta demokrasi yang akan diselenggarakan di tingkat desa mampu menghantarkan sosok pemimpin dengan kredibilitas yang tinggi, serta kapasitas dan pemahaman yang cukup untuk membangun desa yang lebih makmur dan sejahtera. Selaras dengan cita-cita Pemerintah yang telah mengeluarkan kucuran dana miliyaran rupiah untuk disuplai pada pemerintahan ditingkat desa. Desa bukanlah milik individu atau perseorangan, melainkan milik kita bersama dan Bangsa Indonesia. Maka yang paling diperlukan ialah sinergi antara pemangku kebijakan dengan rakyatnya agar dapat menempuh keadilan dan kesejahteraan sosial sebagaimana yang telah tertuang didalam teks Pancasila.
Senin, 04 November 2019
"Fikih Pembebasan: Membebaskan Manusia Dari Masalah Sosial Hukumnya Fardhu Ain"
Seri diskusi #2 Islam progresif yang diadakan oleh Rumah Pengetahuan Daulat Hijau kali ini mengambil tema Fikih Pembebasan pada Jum'at 25 Oktober 2019 mulai pukul 13.30. Fasilitator diskusi M. Fahmi Sayfuddin alumni pesantren Darul Musthofa Jakarta.
"Fikih adalah suatu sangkaan kuat terhadap hukum syariat dengan dalil-dalil yang terperinci" jelas Fahmi membuka diskusinya. Fikih sendiri lahir setelah wafatnya nabi. Ada proses historis yang sangat diperlukan untuk menelisik lahirnya fikih bahkan lahirnya agama.
Dalam menjelaskan tentang 'pembebasan', Fahmi menarasikan sejarah lahirnya Islam melalui perjalanan hidup Muhammad sebagai pembawa risalah ketauhidan. Namun Muhammad pun menaruh perhatian lebih terhadap problem sosial umat. Muhammad hidup di tengah jalur strategis perdagangan yakni Mekkah. Namun ditengah ramainya jalur perdagangan berbanding terbalik dengan dinamika problem sosial yakni ketimpangan, penindasan yang merajalela.
Muhammad melakukan dua misi pembebasan yakni dari jerat tidak menyembah Allah dan dari jerat problem sosial. Kelahiran Islam di tengah orang-orang miskin, marjinal, atau orang- orang yang dipinggiran. Fahmi memberikan contoh tentang seorang budak berkulit hitam yang masuk Islam yang ditentang oleh majikannya. Dikisahkan, Bilal mendapatkan berbagai penyiksaan. "Apa kemudian respon nabi?" tanya Fahmi. "Apa bilang pada Bilal suruh sabar, ini cobaan, semua itu dari Allah, nanti masuk surga, amin?" Lanjutnya. Yang dilakukan nabi adalah mengumpulkan harta untuk menebus Bilal, melakukan negosiasi dengan majikannya, dan berupaya membebaskan Bilal. Hal ini sekaligus menjadi bentuk contoh pembebasan Muhammad terhadap rasisme. Oleh kafir Quraisy, ajaran Ubudiyah tidak sepenuhnya ditolak, melainkan muamalahnya seperti lanjutan ayat "dirikan lah sholat" selalu diiringi ayat " tunaikan zakat", hal ini sebagai representasi Ubudiyah harus berjalan beriringan dengan ibadah sosial. Islam pun membatasi kepemilikan pribadi.
Muhammad adalah tokoh pembebasan dunia dan akhirat. Seringkali kita fokus pada persoalan akhirat mengabaikan persoalan dunia. Sedangkan fikih yurisprudensial itu memuat hukum-hukum yang nyata. Misal, apakah orang bisa khusyu' ketika sholat dalam keadaan lapar?. Contoh lain, latar belakang terjadinya perang badar lantaran pasokan makan umat muslim dicekal oleh Abu Sufyan. Muhammad melakukan perlawanan jika sudah mengancam keberlangsungan hidup umat Islam. Dengan tegas Fahmi mengatakan, "Jadi, konteks Islam rahmatan lil aalamiin bukan Yo wes terima wae, sabar, syukur, ridho, terus melbu Surgo, yang penting di akhirat dunia sementara".
Pemateri kemudian menjelaskan relevansi dengan hukum masa kini. Masa kini tentu berbeda dengan masanya Muhammad. Masa kini telah berada pada era kapitalisme. Kapitalisme adalah sistem ekonomi politik yang menyebabkan terjadinya revolusi industri, kolonialisme Belanda, developmentalisme orde baru, MP3EI ala presiden SBY, dan juga maraknya investasi pada hari ini adalah wujud perpanjangtanganan kapitalisme. Menurutnya, kita sedang menghadapi konsep ekonomi neoliberal, yakni penjajahan gaya baru.
Dengan mengutip pendapat David Harvey, ia menegaskan bahwa neoliberalisme merupakan sebuah teori tentang praktek ekonomi politik, dimana kesadaran manusia bisa dicapai melalui kebebasan-kebebasan kewirausahaan individu dalam kerangka institusional yang disokong oleh hak kepemilikan privat, pasar bebas, dan perdagangan bebas. Negara selaku pemangku kebijakan menjadi panitia dari para penanam modal baik asing maupun domestik. "Negara menjadi panitia dari penyelenggaraan pasar bebas" jelasnya.
Maka jika dikorelasikan dengan Islam progresif terkait fikih pembebasan dengan terlebih dahulu melihat problem material yakni persoalan sosial. Dalam perspektif Muhammad Al Fayyadl, penggerak kehidupan sosial adalah ekonomi politik yang hubungan produksi antar kelas-kelas sosial yang ada terus bertarung merebut dominasinya diantara pihak lain baik melalui penguasaan ekonomi maupun kekuasaan politik. Kehidupan umat Islam akan baik dan harmonis jika melakukan rutinitas ibadah dengan baik, persepsi demikian yang sering diamini. Ini adalah cara pandang terbalik.
Oleh karena itu dibutuhkan produk hukum fikih yang didasarkan pada problem sosial, kemudian dicari dalilnya melalui kaidah fikih dan Ushul fikih untuk digunakan landasan hukum agar lepas dari belenggu masalah sosial, seperti penindasan, penghisapan, ketimpangan, dan ketidakadilan sebagai realisasi dari Islam rahmatan lil aalamiin.
Islam melarang kepemilikan berlebih, sebagaimana dalam surat al takatsur, al humazah, atau hadits nabi. Salah satunya berbunyi "tidak dikatakan beriman seseorang yang dirinya kenyang sedangkan tetangganya kelaparan". Lebih jauh lagi, dengan mengambil contoh tentang kafarat (denda). Dalam kajian fikih jika seorang melakukan kesalahan besar adalah membebaskan budak. Berikutnya, memberikan makan 40 fakir miskin. Contoh-contoh demikian menunjukkan Islam sebagai agama pembebasan. Berdasarkan ayat-ayat Al Qur'an, hadist nabi baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan, ijma, dan qiyas jelas menunjukkan Islam melarang kepemilikan berlebih dan menumpuk harta, sebuah kebalikan dari kapitalisme. Amat jelas jika kapitalisme menimbulkan mafsadah.
Menjelang akhir diskusi, Fahmi mengatakan bahwa membebaskan manusia dari masalah-masalah sosial adalah fardhu ain. Bahkan ia menyetujui pendapat Asghar Ali Engineer mukmin adalah orang yang berjuang menegakkan keadilan dan berjuang melawan kezaliman. Dengan kata lain seorang yang mengaku muslim namun tidak menegakkan keadilan dan berjuang melawan kezaliman, maka ia telah kafir. Admin
Senin, 21 Oktober 2019
Resolusi Jihad Adalah Gerakan Santri Revolusioner
Menjelang peringatan hari santri Rumah Pengetahuan Daulat Hijau, FNKSDA Jombang, IPNU, dan For Mujeres menggelar diskusi dengan tema "Merakit Kembali Resolusi Jihad: Masa Depan Gerakan Santri Dihadapan Kuasa Modal" pada Selasa 8 Oktober 2019 di Warkop Rudeka Jombang.
Dua pemantik diskusi berasal dari lingkungan pesantren yakni Hasan Malawi Ketua Bidang Organisasi PP IPNU sekaligus secara garis nasab keluarga besar Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon, sedangkan Ayu Nuzul aktivis Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA).
Dalam diskusi ini, Ayu Nuzul menyampaikan tentang sejarah resolusi jihad yang dikobarkan oleh kyai Hasyim Asy'ari. Pada tanggal 21 dan 22 Oktober 1945 delegasi ulama NU se Jawa dan Madura mengadakan pertemuan di Surabaya untuk merespon kondisi bangsa Indonesia atas pendudukan sekutu di beberapa kota di Jawa. Waktu itu Mbah Hasyim sebagai pimpinan pertemuan, beliau menyatakan perjuangan kemerdekaan sebagai Jihad. Artinya Mbah Hasyim telah mengobarkan perlawanan terhadap penjajahan, kolonialisme di Indonesia.
Selanjutnya Ayu Nuzul mengajukan sebuah pertanyaan "Apakah penjajahan hari ini telah selesai?". Menurutnya penjajahan hari ini belum selesai. Kolonialisme menjelma dengan wajah baru, seperti pembangunan, proyek infrastruktur, industrialisasi. Proyek pembangunan jalan tol yang dibanggakan dibangun dari air mata petani yang kehilangan tanahnya. Bandara di Kulonprogo dibangun dengan mengusir rakyat. Tidak perlu menduduki wilayah membawa senjata cukup menguasai sumber daya alamnya. Lantas, apa hubungannya perayaan resolusi jihad hari ini atau hari santri dengan sejarahnya?. Peringatan hari santri hanya menjadi semacam selebrasi, keluar dari konteks sejarahnya. Santri bersama rakyat, ada buruh, ada petani telah bersama-sama mengusir kolonialisme atas gaung resolusi jihad dari Mbah Hasyim pada pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Tapi, kini peringatan resolusi jihad telah direduksi, jauh dari sejarahnya. Dirayakan secara besar-besaran, namun tanpa makna.
Bahkan kalo boleh mengajukan otokritik, santri dan pesantren justru terseret pada arus kapitalisme. Contohnya, pesantren justru menjadi tempat sosialisasi pendirian pabrik yang menggusur sawah milik warga di sekitar pesantren dengan janji lapangan pekerjaan. Yang kemudian terjadi, justru santri akan terseret menjadi pekerja upahan. Ada juga korporasi besar yang merusak hutan, melakukan perampasan tanah rakyat, disaat bersamaan memberikan 10.000 bibit pohon untuk ditanam di pesantren. Maka sekarang lah saatnya untuk merakit kembali resolusi untuk melawan segala bentuk kolonialisme penjajahan. Santri tak boleh jauh dari problem sosial. Bahkan, hendaknya pendidikan ekonomi politik harus diberikan di pesantren sejak dini. Melihat kapitalisme global telah bekerja sedemikian rupa. Sedangkan santri sendiri pada akhirnya akan kembali hidup ke masyarakat di luar pesantren.
Hasan Malawi dalam pemaparannya seolah pesimis dengan gerakan santri hari ini, "sebenarnya tema ini cukup menarik kalo kita ngomong soal masa depan gerakan muda sajalah, karena kalo ngomong gerakan santri ini terlalu jauh karena mau tidak mau hari ini pesantren, santri, dan entitas lainnya seolah-olah berada di ruang kekuasaan yang satu sisi kita menjadi bagian warga Indonesia dengan akidah yang cukup luas tetapi menutup diri diberbagai macam korban terhadap perampasan lahan".
Ia memberikan catatan menarik yang menjadi semacam otokritik bagi santri maupun pesantren dengan mengajukan pertanyaan," kenapa esensi soal resolusi jihad tidak lagi muncul sebagai suatu semangat berlawan?. Apakah kemudian kita mengalami suatu glorifikasi yang cukup luar biasa sehingga yang berjuang cukup orang-orang tua kita saja sehingga cukup kita saja yang menikmati?. Atau, kita hanya menjadikan resolusi jihad sebagai "momentum" untuk diperingati sebagai sejarah, namun penyelewengan sejarah?".
Menurutnya, inti dari resolusi jihad adalah melawan imperialisme dan kapitalisme. Lantas hari ini semangat keberpihakan di pesantren tak lagi muncul sebagai suatu semangat berlawan. Padahal sejarah pesantren sendiri adalah sejarah perlawanan. Ia mencontohkan perlawanan pesantren dalam perang kedondong di Cirebon.
Mengutip sebuah hadits, "sebaik-baiknya jihad ialah pernyataan yang benar, dihadapan penguasa yang buruk". Pemaknaan ini kadang tidak muncul di dalam pesantren. Kita lahir di tengah neoliberalisme, seolah-olah teraleniasi sehingga tidak muncul keberpihakan pada mereka yang ditindas, dijarah, dan rampas tanahnya, yang semua warga NU. Resolusi jihad adalah gerakan revolusioner. Suatu bentuk perlawanan paling konkret yang tidak cukup dirayakan saja. Suatu gerakan revolusioner tidak mungkin ada tanpa gerakan revolusi.
Namun fakta di sekeliling sangat kontradiktif, "di kalangan Nahdliyyin telah tersandera pada kuasa oligarki" jelasnya. Banyak kalangan yang berbondong-bondong menjadi Nahdliyyin hanya untuk suara pilkada, pilpres, dan lain sebagainya.
Dalam menutup penjelasannya, Gus Hasan mengatakan: " Menurutku harus dipikirkan kembali, memperjuangkan resolusi jihad paling konkret adalah beriringan dengan warga Nahdliyin yang hari ini dirampas ruang hidupnya di Urutsewu, Surokonto dan banyak tempat lainnya".
Selasa, 11 September 2018
Membaca HAM ditengah Perdebatan

Sabtu 1 September 2018 bertempat di Rumah Pengetahuan Daulat Hijau dibukanya Sekolah Hukum Rakyat di Jombang. Acara yang diadakan oleh Center Human Rights Law Studies Faculty of Law (HRLS) Universitas Airlangga dan Center for Anti-Corruption and Criminal Policy (CACCP) Fakultas Hukum Universitas Airlangga bekerja sama dengan Rumah Pengetahuan Daulat Hijau, FNKSDA Jombang, dan Kontras Surabaya Biro Bantuan Hukum Jombang.
Peserta yang mengikuti sekolah hukum rakyat mayoritas berasal dari luar Jombang, seperti Surabaya, Bojonegoro, Gresik, dan Malang rata-rata adalah mahasiswa.
Dalam membuka acara, ketua panitia Ayu Nuzul menyampaikan bahwa kegiatan ini direncanakan sejak lama, "Alhamdulillah akhirnya bisa terlaksana.Pak Haidar dan Pak Iqbal ingin melakukan sesuatu untuk kota kelahirannya Jombang sebagai sebuah pengabdian, setelah beberapa kali pertemuan dengan kami dari Rumah Pengetahuan Daulat Hijau akhirnya hari ini bisa dimulai. Semoga kegiatan ini menjadi sebuah langkah awal sebuah gerakan pemuda di Jombang dan Rumah Pengetahuan Daulat Hijau bisa memulai kegiatan-kegiatan progresif di Jombang", jelasnya.
Materi pertama sekolah hukum rakyat adalah hak asasi/hak konstitusional dengan pemateri Haidar Adam peneliti di HRLS sekaligus pengajar di Fakultas Hukum Unair. Sebelum menyampaikan materi, lebih dulu beliau menyampaikan latar belakang menggagas sekolah hukum rakyat antara lain realitas ketidakadilan terjadi di sekitar kita, negara kita adalah negara hukum, rakyat Indonesia mengalami keterbelahan menyikapi permasalahan elit politik, dan rakyat Indonesia (para pemuda) memiliki potensi yang sangat besar untuk terlibat menjadi penggerak perubahan sosial.
Lebih lanjut, pemateri juga menyampaikan tujuan sekolah hukum rakyat, antara lain pertama, memberikan pembekalan hukum dasar kepada peserta terkait isu-isu strategis baik di tingkat desa maupun nasional. Kedua, isu-isu strategis meliputi (namun tak terbatas pada: kelestarian lingkungan, pendidikan kritis, korupsi, pemerintahan desa, toleransi, keadilan gender). Ketiga, memperkuat jaringan dan solidaritas antar warga masyarakat dalam merespon isu-isu strategis.
Sebelum memasuki materi dalam beberapa slide powerpoint menampilkan beberapa gambar, antara lain, Bu Wagirah, salah satu warga Kulonprogo yang menolak pembangunan bandara. "Karena menolak, maka oleh korporasi ia secara paksa dipindahkan. Tergambar betapa korporasi bekerjasama dengan negara, ada polisi dan tentara harus berhadapan dengan warga negara", tuturnya.
Selanjutnya adalah gambar toa, yang menjadi trending topik tentang seorang perempuan warga negara Indonesia dari Tanjung Balai, keturunan Tionghoa yang komplain terhadap suara adzan. Komplain tersebut membawanya pada vonis 1,5 tahun penjara. Tidak hanya itu, komplain Meiliana memicu pada perusakan tempat ibadah.
Slide selanjutnya adalah pengungsi Syiah Sampang yang kemudian harus terusir dari tempat tinggalnya, sampai hari ada beberapa yang tinggal di dalam rusun di Sidoarjo selama 5 tahun. Bekerja juga tidak sesuai dengan kompetensi mereka sebagai petani. Akhirnya tingkat kesejahteraan juga memprihatinkan demikian juga kesehatan.
"Gambar tadi setidaknya memberikan pemahaman, pengetahuan, atau informasi bagi kita bahwa telah terjadi ketimpangan. Jadi, harapan ideal yang seharusnya terwujud ternyata dalam realitasnya tak menemui harapan itu", jelasnya.
Dosen Fakultas Hukum Unair ini melanjutkan penjelasannya, bahwa dalam kasus Bu Wagirah yang mempunyai harapan bisa hidup bertani dimana kesejahteraan hidup bisa terangkat, tetapi kenyataannya negara malah mengambil (lahan, penulis) melalui aparatnya. Disisi lain ada harapan dalam warga Sampang yang kebetulan dominasi alirannya adalah Syiah untuk bisa mengekspresikan, memanifestasikan keyakinan yang dimiliki, tetapi kemudian realitas tak bersahabat dengan mereka. Dan mereka harus terusir dari kampung halamannya. Gambaran seperti ini menunjukkan betapa ketidakadilan itu hadir di sekitar kita.
Terkait dengan HAM ada beberapa perdebatan, antara lain: HAM adalah produk dari barat, HAM tak sesuai dengan nilai-nilai ketimuran, HAM merupakan musuh dari NKRI, dan HAM bertentangan dengan Islam.
Untuk mengetahui kebenaran tesis diatas,maka harus lebih dahulu mengetahui genologinya. Melalui sebuah pertanyaan, Kapan seseorang dianggap sebagai manusia?. Haidar Adam menerangkan ada dua pendekatan. Pertama, konsepsi manusia setelah lahir, kedua, konsepsi manusia sebelum dilahirkan. Dan hal ini mempengaruhi bagaimana sebuah negara mampu memproteksi manusia. Bagi negara yang menganggap bahwa manusia sudah terbentuk sejak di dalam rahim, maka perlindungan itu menyangkut apa yang di dalam rahim. Terkait dengan kebijakan aborsi. Dan jika konsep tentang manusia setelah lahir, maka kebijakan tersebut (aborsi) belum bisa diproteksi.
Lantas bagaimana jika seseorang hidup tidak bisa melakukan hal apapun. Dalam konsep kedokteran yang menganggap mati itu tidak hanya fisiknya tetapi juga otaknya. Ketika otak sudah tidak bekerja, itu bisa dianggap sebagai mati. Hal ini juga menimbulkan perdebatan, karena kemudian berujung pada permintaan mematikan diri menjadi diperkenankan atau euthanasia.
"HAM jangan dipandang terminologinya saja, tetapi gagasan dibalik HAM juga harus ditampakkan. HAM adalah seperangkat ide untuk menghormati manusia", terangnya.
Apa yang ada didalam HAM adalah gagasan untuk menghormati manusia, inilah yang disebut Budi Hardiman sebagai intensi dasar dari HAM. Budi Hardiman mengklasifikasikan HAM dalam intensinya juga dalam prakteknya. Dalam prakteknya bisa saja HAM dipakai sebagai alat instrumentalisasi. HAM bisa digunakan untuk menggebuk orang lain, instrumentalisasi HAM bisa digunakan untuk menekan negara lain. Artinya yang perlu dipermasalahkan adalah intensi dasar dari HAM. Dibalik HAM itu tersembunyi gagasan untuk menghormati dan memuliakan manusia.
Makna HAM yang selanjutnya adalah perlindungan manusia dari kekuasaan. Pada bagian ini dikatakan bahwa sejarah HAM menunjukkan adanya perjuangan dan gerakan-gerakan untuk membatasi kekuasaan. Mengutip sejarawan dari Inggris Lord Acton yang terkenal dengan adagiumnya "power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely" yang berarti bahwa kekuasaan itu kecenderungan korup, kekuasaan yang absolut sudah pasti korup, kekuasaan yang ada pada satu tangan pasti ada kesewenang-wenangan. Maka dari itu, untuk mencounter harus ada pembatasan kekuasaan. Kekuasaan yang ada pada satu tangan akan berimbas pada kesewenang-wenangan. Gagasan untuk tidak membuat kekuasaan pada satu tangan dinyatakan John Locke dan Montesque yang dikenal dengan Trias Politica, yakni pemisahan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Makna HAM selanjutnya adalah standar universal untuk melindungi manusia, berlaku untuk semua orang, semua wilayah, dan berlaku untuk semua peristiwa.
Gerakan Pemuliaan Manusia dalam agama telah ada dalam agama-agama. Melalui sebuah pernyataan "Apa itu agama?. Dikatakan tentang agama bahwa sampai hari ini agama tidak terdefinisikan secara konklusif, artinya para ahli tidak memiliki definisi yang disepakati oleh semua orang sehingga definisi agama tidak secara umum.
Durkheim mengartikan agama sebagai perangkat keyakinan, praktek yang itu terkait hal-hal yang sifatnya suci. Sedangkan Sigmund Freud mengatakan bahwa agama adalah simbol kekanak-kanakan di dalam memandang realitas. Agama menjadi semacam pelarian. Orang yang meyakini agama tidak mampu berfikir secara rasional.
Dalam ajaran Hindu ada sumber Gerakan Pemuliaan Manusia yakni Karma, Dharma, dan Sadecare. Bahwa semua ajaran dari Hindu merefleksikan bahwa betapa manusia harus dihormati. Karma adalah perbuatan yang akan mewujudkan konsekuensi-konsekuensi. Dharma adalah bentuk kewajiban, yakni selalu berbuat baik pada manusia. Sedangkan Sadecare berarti semua perbuatan diarahkan pada kebaikan.
Dalam ajaran Buddha yang lahir setelah Hindu, dimana keberadaannya adalah bentuk kritik terhadap praktek masyarakat Hindu yang hidup menderita. Namun poin penting ajarannya bahwa realitas hidup ini adalah sengsara, agar tidak menderita harus berbuat baik untuk menuju nirwana yang merupakan kondisi tanpa kesedihan.
"Kehidupan sosial semestinya berdasarkan cinta, perhatian, dan kebaikan" adalah pokok ajaran Confunianism. Ajaran lainnya yaitu, "perlakukan lah orang lain sama seperti kita ingin diperlakukan".
Bagaimana Gerakan Pemuliaan Martabat Manusia dalam Islam? Salah satunya dijelaskan dalam Al Qur'an QS. Al An'am:5 berisi larangan untuk membunuh. Dalam sejarah dikenal juga Madinah Charter atau Piagam Madinah, salah satunya berisi tentang kebebasan berkeyakinan. Namun yang menjadi perdebatan adalah, agama selain dijadikan sumber-sumber memuliakan manusia, agama juga digunakan untuk menindas atas nama kebenaran agama.
Berbicara HAM dalam perspektif barat, bahwa masalah barat adalah ide yang sangat kompleks, tidak cukup diasumsikan untuk menunjukkan letak geografis tertentu. Hal ini tidak bisa lepas dari tradisi Romawi-Yunani, kekristenan, dan enlightment. Bahkan dalam sejarah, pemikiran gereja akan sangat menentukan corak masyarakat Eropa. Bahkan raja pun taat pada otoritas gereja.
Yang penting untuk ditekankan tentang ide HAM meskipun secara geanologis sebagian berasal dari tradisi Barat tetapi hal itu tidak mengurangi esensi dari HAM itu sendiri karena bersanding dengan perjuangan untuk memuliakan manusia. Dalam realitas sejarah, hal itu diambil tidak secara gratis tetapi melalui revolusi berdarah-darah.
Di bagian akhir adalah tentang Gerakan Pemuliaan Martabat Manusia kedudukannya didalam konstitusi, susunan hukum membentuk struktur piramida. Dikatakan bahwa aturan itu saling beririsan antara satu dengan yang lain. Irisan-irisan itu akan membentuk struktur piramida yang sifatnya hierarki, ada yang paling atas dan ada yang paling bawah. Undang-undang dasar mendapat posisi paling atas, karena ia terkualifikasi didalam norma dasar, ini menjadi acuan didalam norma-norma dibawahnya. Konsekuensi konten dari tiap-tiap peraturan perundang-undangan yang didalamnya tidak boleh bertentangan dengan UUD. Jadi, UUD menjadi rujukan utama, jika dilevel ini ada peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan UUD maka bisa dibatalkan. Salah satu kewenangan yang dimiliki mahkamah konstitusi adalah bisa membatalkan UU yang dianggap bertentangan dengan UUD.
Nuzul
Senin, 03 September 2018
Pendidikan : Idealisme dan Realitas
Oleh:Nur Sahid
"Ya Alloh ya tuhan
kami, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari keluh kesah dan duka cita, aku
berlindung kepadamu dari lemah kemauan dan malas, aku berlindung kepadamu dari
sifat pengecut dan kikir, aku berlindung kepadamu dari tekanan hutang dan kezaliman
manusia (Muhammad
SAW).
"Bila kaum muda yang
telah belajar di sekolah menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk
melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki
cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama
sekali
". (Tan Malaka)
Kata-kata diatas mungkin
sudah pernah kalian baca meski sebenarnya aku tak tahu mengapa menulis
kata-kata itu di awal tulisan ini. Tapi setidaknya yang membaca tulisan ini
telah berdo’a. dan mungkin sedikit banyak mendapat gambaran bahwa pendidikan
tidak seharusnya memisahkan seorang peserta didik dari realitas masyarakat dan
lingkungannya.
Dua minggu lalu aku dan teman-teman
memulai sebuah diskusi, sebenarnya diskusi ini sudah direncanakan sejak lama,
kami mendiskusikan buku Mazhab Pendidikan Kritis, sebuah buku yang ditulis oleh
Dr. M Agus Nuryatno, beliau merupakan staf pengajar di Fakultas Tarbiyah UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kami akan mendiskusikan buku itu dalam lima kali
pertemuan dimana pada dua minggu lalu kami mendiskusikan bab pertama,
“Pendidikan Kritis : Konsep-Konsep Dasar”. Waktu itu aku di daulat sebagai
pemateri.
Sebagai sebuah gagasan,
mazhab pendidikan kritis tidak merepresentasikan gagasan yang tunggal dan
homogen, namun para pendukung mazhab ini disatukan dalam satu tujuan yang sama,
yaitu memberdayakan kaum tertindas dan mentransformasi ketidakadilan sosial
yang terjadi di masyarakat melalui media pendidikan. Kalimat itu aku ambil dari
halaman satu dan dua buku Mazhab Pendidikan Kritis, nampak sekali bahwa bagi
mazhab pendidikan kritis, tujuan pendidikan adalah memberdayakan kaum
tertindas, artinya pendidikan mesti menjadi bagian dari perjuangan kaum
tertindas dalam memperjuangkan hidup dan kehidupannya untuk mencapai emansipasi
manusia. Ini bermakna juga bahwa pendidikan tidak boleh menjadi bagian dari
media untuk melanggengkan penindasan.
Namun sayangnya dalam
dunia pendidikan kita, kuasa politik menempatkan pendidikan sebagai pencetak
orang-orang terindas baru, menciptakan buruh-buruh untuk memenuhi kepentingan
industri dan kapital. Seperti tercermin dalam pidato Mentri Riset Teknologi dan
Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir pada saat hari Pendidikan Nasional 2017,
beliau menekankan bahwa tema pendidikan tahun ini sebagai meningkatkan relevansi
pendidikan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, Nasir juga mengusulkan bahwa
esensi dari pendidikan tinggi adalah untuk menghasilkan lulusan dan
penelitian yang bermanfaat bagi industri Indonesia.
Mentrasformasi
ketidakadilan sosial, disini pendidikan punya tugas melahirkan peserta didik
yang kritis dan peka akan keadaan masyarakat, peka akan banyaknya
masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, misalkan kemiskinan, pengangguran,
dan masalah lainnya, serta kritis membaca apa-apa yang ada di balik masalah
masalah sosial itu. Untuk mencapai kurikulum, peraturan-peraturan dan kebijakan
pendidikan harus mengacu dan memperhatikan masalah-masalah ketidakadilan sosial,
dan menjadikan masalah-masalah tersebut sebagai isu yang dibicarakan dalam
dunia pendidikan.
Selain itu, proses
pendidikan harus berjalan dialogis, partisipatoris dan demokratis, dialogis
artinya dalam prosese pendidikan guru tidak otoriter dan merasa dirinya tau dan
murid tidak tau. Partisipatoris berarti bahwa pendidikan tidak hanya sekolah
dan murid, tapi lebih dari itu pendidikan harus melibatkan masyarakat luas, dan
lingkungan. Demokratis, ini berarti penentuan materi, kurikulum, waktu, dan
lain-lain harus memberikan ruang selebar-lebarnya pada semua komponen
pedidikan untuk memusyawarahkannya.
Tetapi sejak setelah
peristiwa tahun 1965 pada gilirannya dikeluarkannya Tap MPR tentang pelarangan marxisme,
segala sesuatu yang berbau kritis (baca:kiri) dianggap sebagai sesuatu yang
menjijikan, pendidikan berubah menjadi tidak lebih dari corong penguasa dan
media propaganda untuk melanggengkan kekuasaaan dan legitimasi penguasa. Proses
pendidikan menjadikan guru sebagai pusat segala pengetahuan, jika ada murid
yang tidak setuju dan atau membantah pendapat guru sering kali dia dianggap sebagai
murid pembangkang, tidak patuh bahkan dianggap durhaka. Cara-cara militer juga
diterapkan pada pendidikan. Pengalaman saya dulu di bangku MA, beberapa kali
datang telat ke sekolah, karna itu aku dan beberapa teman lain dihukum berlari
mengelilingi lapangan sampai 15 kali, bahkan ada yang lebih dari 20 kali.
Pendidikan kita dalam
membuat materi ajar atau kurikulum, seringkali mengabaikan peserta didik dan
komponen-komponen lain. Kurikulum dibuat oleh para ahli, yang hidup nyaman di
kota dimana mereka tak pernah mengalami kehidupan di pelosok-pelosok desa, di
pedalaman. Namun kurikulum itu dipaksakan untuk dipakai di seluruh Indonesia.
Sehingga sering kali teks yang dipelajari murid anti realitas yang selanjutnya
membawa murid terasing dari lingkungan dia hidup, anak petani di desa-desa tak
pernah lagi mau mencangkul, bahkan malu terhadap teman-temannya saat orang tua
mereka hadir di sekolah untuk mengambil rapot.
Di halaman yang lain ada
kalimat menarik: "Dalam pendidikan kritis, pembelajaran menekankan pada
bagaimana memahami, mengkritik, memproduksi dan menggunakan ilmu pengetahuan
sebagai alat untuk memahami realitas hidup dan mengubahnya. Untuk itu
pembelajaran diawali dengan mempertanyakan realitas keadaan yang akan dirubah,
kemudian mempermasalahkannya dan menganalisisnya yang selanjutnya hasil
analisis itu bisa dijadikan pertimbangan dalam pemecahan masalah sehingga
pengetahuan yang dihasilkan dari proses pembelajaran itu adalah pengetahuan
yang membumi, tidak membuka gap antara
pengetahuan dan realitas". Di sekolah murid seharusnya diajari
berbagai hal yang ada di lingkungan kehidupan mereka, tidak malah diberi mata
pelajaran yang banyak, sebagian besar tidak ada sangkutpautnya dengan
kehidupan sehari-hari, misal sebagai negeri agraris maka seyogyanya pertanian
menjadi kurikulum utama yang di ajarkan pada murid.
Salah satu tema penting
dalam pedidikan kritis adalah tentang kapitalisme, ia mempunyai pengaruh yang
besar dalam kehidupan modern. Dengan ciri utama akumulasi kapitalnya,
kapitalisme berjasa besar dalam membangun budaya konsumtif dan hedonis,
hingga secara sadar atau tidak ilmu pengetahuan yang diajarkan adalah ilmu yang
dirancang untuk mengejar profit. Bahkan seringkali sekolah yang seharusnya
menjadi tempat membangun budaya kejujuran, integritas dan kemanusiaan, berubah
menjadi ladang bisnis, iklan sekolah terpampang dimana-mana, koran, media
online, banner pinggir jalan dan lain sebagainya mirip-mirip iklan produk
kecantikan. Biaya pendaftaran dan bulanannya tak terjangkau, bahkan seringkali
sekolah mengkhianati nilai-nilai yang dijadikan slogannya. Ketika ada
akreditasi misalkan, sekolah dengan tanpa malu mengatur, memoles, mempercantik
sekolah dengan berbagai hal yang sebenarnya tidak ada dalam pembelajaran
sehari-hari, yang kalau boleh saya katakan itu adalah kebohongan.
Bisnis bimbingan belajar
juga tumbuh subur di mana-mana, selain mengajar di sekolah, tidak sedikit guru
membuka bimbingan belajar dirumahnya, secara sederhana ini menunjukan bahwa
sekolah telah gagal mengajari muridnya. Murid berprestasi bukan karna
pengajaran sekolah tapi karna bimbingan belajar yang diikutinya.
Oke, sudah lupakan saja
apa yang barusan kalian baca, kita kembali pada doa nabi Muhammad SAW dan
kata-kata Tan Malaka. Dalam mata kuliah hadits tarbawi aku tidak menemukan
hadits yang aku tulis itu, namun menurutku hadits itu merupakan sebuah contoh
ideal tentang bagaiman seharusnya pendidikan. Saya memaknai hadits itu begini,
bahwa yang pertama dibangun adalah pribadi-pribadi yang tangguh, serta punya
kepedulian sosial untuk selanjutnya dijadkan sebagai modal melawan kedzaliman
dan kesewenang-wenangan. Dengannya seorang murid tidak akan tercerabut dari
masyarakatnya, mereka akan melebur bersama rakyat tertindas dan memperjuangkan
emansipasi manusia.(adm/dew)
Selasa, 28 Agustus 2018
Agama dan Negara di Persimpangan Masyarakat Pluralis

Oleh:Nuzulia
Agama dan Negara di Persimpangan Masyarakat Pluralis
Saya ingat guyonan Gus Dur tentang Tuhan orang Islam itu jauh, itulah mengapa harus dipanggil dengan toa. Maka ketika seorang perempuan dari Tanjung Balai Sumatera Utara bernama Meiliana mengeluhkan volume suara adzan yang membawanya menjadi terdakwa 18 bulan penjara seolah membenarkan guyonan Gus Dur. MUI Sumatra Utara menerbitkan fatwa menistakan agama kepada Merliana. Wakil sekretaris komisi fatwa MUI Irwansyah mengatakan bahwa adzan adalah bagian dari syariat Islam, ucapan yang disampaikan Merliana adalah termasuk perendahan, penodaan, dan penistaan terhadap syariat Islam. Kejadian berawal dari keluhan Meiliana terhadap volume pengeras suara masjid yang dinilai terlalu keras. "Kak tolong bilang sama Wak itu, kecilkan suara masjid itu Kak, sakit kupingku, ribut" ujar terdakwa pada tetangga seperti yang dibaca dalam tuntutan jaksa. Setelah pengurus masjid sempat mendatangi rumah Meiliana, persoalan semakin meruncing. Keluhan Meiliana ditanggapi masyarakat muslim Tanjung Balai dengan melempari rumah dan membakar 14 vihara umat Budha1.
Ibarat bara yang sudah menganga, disulut sedikit akan menjadi api yang besar, demikian wajah beragama di Indonesia hari ini. Diakui maupun tidak, kejadian ini tidak bisa lepas dari sentimen SARA yang dimainkan elite politik beberapa waktu lalu dalam konstelasi pilkada DKI yang berujung pada gerakan massa besar-besaran anti Ahok turut menyemai bibit-bibit ketegangan umat. Akibatnya, bibit tersebut tumbuh subur menjalar ke berbagai daerah di Indonesia baik dalam lingkaran elite tinggi negara maupun rakyat. Artinya kekerasan oleh warga negara disponsori atau dibiarkan aparat negara. Meskipun disisi lain banyak faktor yang mempengaruhi sentimen agama semisal meluasnya pemahaman Islam transnasional, ajaran radikal yang masuk dalam dunia pendidikan, munculnya da'i YouTube yang secara terang-terangan menanam benih permusuhan antara umat beragama maupun seagama yang berbeda pandangan. Da'i-da'i ini bisa mengambil hati masyarakat dibanding ustadz di kampung, maka dengan mudah ceramah yang disampaikan sang da'i mampu mempengaruhi pemikiran masyarakat. Dapat dilihat yang terjadi hari ini persoalan intoleransi antar agama maupun internal agama berbeda aliran dan kaum minoritas menjadi sasaran yang berujung konflik. Situasi yang demikian berkelindan dengan kepentingan elite negara maupun pemuka agama. Hal ini seolah dipelihara negara maupun pihak lain yang merasa diuntungkan.
Snouck Hurgronje pernah mengemukakan bahwa Islam di Indonesia yang kelihatan statis dan tenggelam dalam kitab-kitab salaf abad pertengahan itu, sebenarnya mengalami perubahan-perubahan yang fundamental, perubahan-perubahan itu demikian perlahan, rumit dan mendalam, sehingga hanya orang yang dapat mengamatinya secara hati-hati dan teliti dapat mengetahui perubahan tersebut.
Wajah Islam Indonesia hari ini telah berubah, Islam hari ini sedang dilanda mabuk agama. Identitas beragama diwujudkan pada simbol. Kejadian diatas menampakkan bahwa toa adalah bagian dari beragama bukan lagi sebuah nilai-nilai yang diwujudkan dalam bentuk laku yang selaras terhadap Tuhan dan manusia. Indikator keberhasilan beragama jika syi'ar Islam yang diwujudkan dalam gebyar selebrasi melalui suara-suara yang menjangkau semua tempat. Antusiasme umat dalam perayaan beragama menjadi terlena yang kemudian melupakan nilai spiritual agama. Agama telah terhegemoni dari hakikatnya. Menyambung pernyataan Snouck Hurgronje, menurut Gus Dur proses terjadinya pemahaman kembali isi ajaran-ajaran agama dapat disebabkan oleh terjadinya reaksi terhadap adanya perubahan yang terjadi diluar agama itu, tetapi juga di dalam ajaran agama itu sendiri dimungkinkan adanya proses pemahaman baru. Karena pemahaman atas isi ajaran agama dipegang oleh pemuka-pemuka agama (religious elite) yang biasanya juga menjadi kelompok pimpinan (elite classical) dalam hampir semua struktur masyarakat, maka sesuai dengan dinamika yang selalu dimiliki oleh kelompok pimpinan itu sendiri, mau tidak mau isi ajaran-ajaran agama itu akan selalu mengalami proses pembaharuan pemahamannya. Kelompok elit dimana-mana memiliki kepentingan yang besar dibandingkan dengan kelompok-kelompok lain di masyarakat, itulah sebabnya bila terjadi perubahan sosial atau diperlukan adanya perubahan dalam masyarakat, mereka berkepentingan pula untuk dapat mengendalikan perubahan-perubahan tersebut, agar kepentingan mereka sebagai pemimpin masyarakat tidak sampai direbut oleh kelompok-kelompok lain. Para pemuka agama sebagai salah satu unsur kelompok elite yang memimpin masyarakat, maka harus dapat mengendalikan dan mengarahkan peninjauan kembali ajaran-ajaran agama sehingga dapat mempertahankan kedudukan dalam bidang kepemimpinan agama2.
Sayangnya para pemuka agama justru menggerakkan masyarakat dalam arus intoleransi atas nama jihad terhadap penista agama. Julukan penista agama lebih disebabkan karena subyek adalah pemeluk agama non muslim etnis Tionghoa. Pola konflik yang demikian hampir sama di berbagai daerah di Indonesia. Sangat kontras, beberapa waktu lalu viral seorang da'i You Tube yang mengatakan bahwa nabi Muhammad pernah sesat. Tak ada respon besar dari pemuka agama maupun umat, seolah sambil lalu. Anehnya, da'i-da'i yang demikian justru diberi panggung untuk ceramah.
Kembali pada pendapat Gus Dur, pada dasarnya setiap agama memiliki watak transformatif, yaitu berusaha menanamkan nilai-nilai baru yang menggantikan nilai-nilai lama yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama. Pemahaman kembali terhadap ajaran agama sering kali mengambil tema "kembali kepada ajaran yang benar atau kembali pada ajaran yang asli"3. Yang kemudian melihat persoalan hanya pada teks tanpa melihat konteks. Seperti melarang memilih pemimpin non muslim menjadi sesuatu yang laris diperdagangkan dalam konteks pilkada maupun pilpres. Identitas menjadi penting, mengesampingkan aspek yang lebih urgen semisal kapasitas personal. Sedangkan masyarakat dalam memahami persoalan mengikuti keputusan pemuka agama3.
Transformasi beragama hari ini sangat masif dipaksakan semisal memaksa memakai jilbab di sekolah bagi pemeluk agama non muslim yang dibingkai dalam peraturan sekolah yang seolah telah disepakati bersama. Contoh lain adalah maraknya perumahan muslim yang dikhususkan bagi yang beragama Islam sehingga meminggirkan pemeluk agama lain dalam masyarakat yang plural.
Yang mengagetkan adalah kejadian di Probolinggo dalam peringatan kemerdekaan Indonesia, siswa dari sebuah sekolah Taman Kanak-kanak(TK) yang berada dalam naungan Kodim mengikuti pawai budaya mengenakan jubah dan bercadar hitam menenteng replika senjata. Hal ini sebagai bukti transformasi agama yang dahulu dekat dengan pluralitas budaya Indonesia menjadi agama konservatif seolah menampakkan wajah murninya dengan menghilangkan pluralitas budaya. Anehnya, sekolah TK ini berada dalam naungan Kodim sebagai salah satu komponen aparat negara4.
Jajang Jahroni dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta mengatakan bahwa model pemahaman keagamaan yang tekstualis bisa mendorong orang untuk melakukan kekerasan agama. Lebih tepatnya merasa paling benar dalam relasi internal agama apalagi tidak seagama.
Pertanyaannya mengapa negara justru mewadahi sentimen agama dan SARA? Mengutip pendapat Muzani elite negara itu takut terhadap umat kalau harus mengatakan pendapatnya yang bertentangan keyakinan dengan kalangan Islam politik, mereka takut dinilai merusak Islam, dan takut dimusuhi umat Islam. Dan itu berarti ancaman bagi karirnya5.
Islam dan Pluralisme
Islam secara teologis dan historis menurut Budhy Munawar Rachman tidak bisa dilepaskan dari agama-agama lain. Prinsip yang mendasari hubungan Islam dan agama-agama lain dinyatakan dalam Al Qur'an dan dicontohkan nabi Muhammad yaitu pengakuan dan penghormatan akan keberadaan agama-agama lain dan adanya ruang kebebasan bagi para pemeluknya untuk menjalankan agama masing-masing.
Al Qur'an juga menganut prinsip: adanya realitas tentang pluralitas agama (Q.S 2:62), kebebasan beragama (Q.S 2:256), hidup berdampingan secara damai (Q.S 109:1-6), menganjurkan untuk saling berlomba-lomba dalam kebaikan (Q.S 5:48) dan bersikap positif dalam berhubungan serta kerjasama dengan pemeluk agama lain (Q.S 60:8), bersikap dan berbuat adil terhadap umat non muslim (Q.S 60:80) dan melindungi tempat ibadah semua agama (Q.S 22:40)6.
Kebenaran dalam agama-agama itu dituturkan oleh Al Qur'an " sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabi'in, siapa saja yang diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari akhir dan beramal shaleh, mereka akan mendapatkan pahala dari Tuhan mereka. Mereka tidak perlu khawatir dan bersedih". Al Qur'an secara tegas menyatakan adanya keselamatan yang dijanjikan Tuhan bagi setiap orang yang beriman kepada Nya dan hari akhir dan diiringi dengan berbuat kebajikan tanpa memandang afiliasi agama mereka. Artinya semua yang beriman kepada Allah dan hari akhir akan selamat.
Jadi, mengutip peri Gus Dur, agama tidak mengandung nilai-nilai dalam dirinya, tetapi mengandung ajaran-ajaran yang menanamkan nilai-nilai sosial yang bila nilai-nilai itu meresap dalam pikiran sebagian besar warga masyarakat (penganutnya), ajaran itu merupakan salah satu elemen yang membentuk cultural value system7.
Fanatisme Agama tinjauan Filosofis
Dalam bagian ini menurut Muhammad Al Fayyadl yang mempelajari titik dialektis penjelasan internalis dan eksternalis. Penjelasan internalis misalnya fenomenologi agama, akan melihat fanatisme sebagai fenomena pemahaman atau hermeneutis: kesalahan memahami ajaran agama, krisis pemaknaan agama, atau problem indoktrinasi agama. Di sisi lain, penjelasan eksternalis memandang fanatisme sebagai fenomena sosial akibat krisis sosio-politik, ideologisasi agama, kepentingan kelompok atas kelompok lain, atau ketidakadilan ekonomi politik. Karena fanatisme erat kaitannya dengan fenomena sosial. Pertautan dialektis ini menjelaskan hubungan aktualisasi pemahaman dalam tindakan, iman dalam praksis, dan sebaliknya, pengaruh tindakan dan praksis dalam memformat keberagamaan. Tindakan dan praksis itu hanya dimungkinkan oleh struktur sosial yang memfasilitasinya. Misal, struktur ketimpangan akses ekonomi politik dalam suatu iklim kapitalis. Keterpengaruhan antara krisis pemahaman dan krisis kehidupan. Sehingga pada titik abu-abu fanatisme beragama merupakan fenomena filosofis, sosiologis, antropologis, sekaligus ekonomi politis.
Sedangkan Muhammad Iqbal menunjuk "mentalitas kawanan" sebagai prakondisi fanatisme beragama. Ia mengusulkan kesadaran puitik dan revolusi kesadaran, bahkan radikalisasi pemaknaan atas keimanan dan klaim-klaim keberagamaan, untuk mengatasi ketergantungan pada otoritas agama. Pemikir muslim lain seperti Muhammad Arkoun yang menyerukan kesadaran kritis dan ilmiah atas segala bentuk wacana yang dibawakan oleh otoritas agama. Ia memandang otoritas keagamaan sebagai tantangan laten bagi keimanan dan sebaliknya, ia mengajukan kekuatan ilmiah kritis sebagai koreksi atas otoritas agama dan potensinya untuk menjadi sewenang-wenang.
Kedua pemikir tersebut menggarisbawahi jalan keluar berupa pembelajaran agama secara mandiri yang bergantung pada otoritas tertentu. Mereka menawarkan individualisme dan singularitas kesadaran untuk mengembalikan iman kepada kekonkretannya, menghindari abstraksi.
Al Fayyadl mengutip Khaled Abou El Fadli seorang pemikir muslim untuk menjawabnya. Menurutnya kita harus membedakan antara "otoritas agama yang otoritatif" dan "otoritas agama yang otoriter". "Otoritas agama yang otoritatif", otoritas agama hadir dengan kewenangannya, namun ia memiliki tanggung jawab untuk menjaga agar kewenangannya tidak berubah menjadi sewenang-wenang. Otoritas ini berupa otoritas pengetahuan yang dipertanggungjawabkan secara publik. Sedangkan, "otoritas agama yang otoriter" otoritas ini digunakan untuk bertindak sewenang-wenang, menjadikan agama otoriter. Ia menyalahgunakan agama untuk tujuannya sendiri, yang bertentangan dengan tanggung jawab yang otoritatif. Dalam ungkapan lain, kata Khaled, kita harus bekerja dengan abstraksi secara moderat dan bertanggung jawab. Abstraksi tidak boleh tergelincir menjadi ideologi kultus, prasyarat dari fanatisme.
Hal ini menjadi pertanyaaan: dapatkah hari ini – di era ketika populisme agama merajalela – kita beriman tanpa otoritas agama? Lalu bagaimana fungsi pemuka agama (ulama, pendeta, bhikku, dan lain-lain) jika otoritas agama dilampaui? Suatu keimanan masa depan yang membebaskan diri dari fanatisme harus menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, di mana tarik-menarik antara individu dan komunitas, antara otonomi dan heteronomi, semakin genting terjadi ke depan.
Kesimpulannya, Al Fayyadl mengajukan solusi bahwa "kita membutuhkan kondisi dimana otoritas agama, lebih jauh, tidak menjadi otoritas tetapi melebur di dalam umat beragama. Yang mensyaratkan bahwa iman dipelajari secara kolektif, dipraktikkan secara kolektif, dan diaktualisasikan pula secara kolektif.
Yang terjadi hari ini sebaliknya, iman diajarkan secara elitis (melalui mediasi otoritas agama), namun dipraktikkan secara kolektif dan diaktualisasikan secara ambigu antara kolektif dan elitis. Kesimpangsiuran ini membuat keimanan tergoda kuat untuk menjadi fanatik, tetapi disisi lain terkadang juga menjadi lunak, bahkan kehilangan etos militansinya, jinak dihadapan ketimpangan dan ketidakadilan. "Iman kolektif yang pada gilirannya mampu melepaskan diri dari ketergantungan pada otoritas agama, karena pada gilirannya tidak relevan8.
____________
1. https://www.dw.com/id/keluhkan-volume-adzan-meiliana-didakwa-menistakan-agama/a-45074204
2. Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, Jakarta: The Wahid Institut, 2007. Hal 72-75
3. Budhy Munawar Rachman, Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta: Komunitas Epistemologi Muslim Indonesia (KEMI) bekerjasama dengan Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) dan Hivos, 2011. Hal 253-261
4. https://m.detik.com/news/berita-jawa-timur/d-4172218/viral-karnaval-tk-bercadar-dan-bersenjata-ini-penjelasan-sekolah
5. https://indoprogress.com/2011/10/agama-dan-negara-jejak-persilangan-kekerasan/
6. https://indoprogress.com/2018/05/struktur-fanatisme-beragama-dan-pelampauannya-tinjauan-sosio-filosofis/
Kamis, 23 Agustus 2018
LANCAR BERBAHASA INGGRIS WALAU NILAIMU JELEK
Penulis:Dewi Indasyah
TULISAN ini bertujuan untuk memberi
perspektif atau cara pandang yang berbeda tentang apa yang
menyebabkan kenapa ada banyak orang yang tingkat penguasaan bahasa Inggris nya
sangat rendah tetapi lancar dalam berbahasa Inggris. Selain itu, artikel ini mencoba menjelaskan banyak
orang paham apa yang orang lain sampaikan dalam bahasa inggris, tetapi
cenderung kesulitan untuk menjawab ataupun merespon dengan menggunakan bahasa Inggris.
Termasuk kenapa ada orang yang nilai bahasa Inggris nya bagus atau tidak jelek-
jelek banget karena buktinya bisa lulus Ujian Akhir Nasional (UAN) yang
mencakup pelajaran bahasa Inggris, namun ketika diajak bercakap – cakap dalam
bahasa Inggris cenderung tergagap- gagap bahkan gagal dalam mengutarakan apa
yang akan dia sampaikan?
Level Bahasa Inggris Rendah Tidak Ada Hubungannya dengan
Kesulitan dalam Komunikasi.
Kalau persepsi umumnya adalah
saat seseorang paham dan hafal kosakata, struktur bahasa, pengucapan, intonasi,
dan lain sebagainya,orang tersebut akan lancar dalam berbahasa Inggris. Apabila
apa yang selama ini diyakini adalah benar, lalu mengapakah ada banyak orang
yang sangat lancar dalam berbicara bahasa Inggris padahal secara tingkat
penguasaan atau level bahasanya sangat rendah? Kalau menurut keyakinan tersebut
semestinya orang yang level bahasa Inggris nya rendah juga kesulitan dalam
menggunakan bahasa Inggris dalam berkomunikasi. Mengapa ini bisa terjadi?
Suatu hari saya menyaksikan keynote speaker yang disampaikan Marianna Pascal dalam suatu acara
yang membahas tentang mengapa anda seharusnya berbicara bahasa Inggris seperti
bermain video games. Dalam penyampaiannya, Marianna menemukan kesamaan antara
apa yang yang dialami putrinya saat berlatih memainkan piano dengan pembelajar
bahasa Inggris. Putri dari Marianna saat berlatih piano merasa ketakutan untuk
melakukan kesalahan, merasa depresi serta malas berlatih dan pergi les piano karena
anaknya menyadari bahwa levelnya sangat rendah dibanding level yang diidam -
idamkan yang itu berarti perlu proses yang panjang nan melelahkan untuk bisa
mencapai apa yang disebut “permainan piano yang bagus yang dia idealkan, anaknya
merasa takut membuat kesalahan karena menurut anggapan anaknya dan guru
pianonya, kesuksesan seseorang diukur dari seberapa sedikit dia melakukan
kesalahan dalam memainkan sebuah nada.
Ini adalah tentang self image atau
citra diri.yaitu cara pandang seseorang mengenai dirinya. Lalu Marianna menceritakan pejumpaannya dengan peserta yang ia
latih bernama Faisal, seorang supervisor di Malaysia. Faisal bisa sangat lancar
berbahasa Inggris walau dengan menggunakan kemampuan penguasaan bahasa
Inggrisnya yang rendah. Faisal sangat percaya diri, mampu menjawab pertanyaan
maupun merespon dengan baik dengan menggunakan bahasa Inggris.
Marianna juga heran pada suatu saat ketika di Malaysia, dia
bertemu dengan karyawan di apotek yang level bahasa Inggrisnya sangat tinggi
dengan menggunakan baju layaknya seorang profesional yang sedang menjawab
tentang obat yang sedang dicari Marianna. Namun sebelum menjawab apa yang
ditanyakan Marianna, sang karyawan tersebut memperlihatkan raut ekspresi
ketakutan atau grogi karena akan berbicara dengan native speaker atau pembicara asli. Kemudian sang karyawan berbicara
sangat cepat dan menjelaskan apa yang diperlukannya secara panjang lebar. Namun
Marianna merasa tidak memahami apa yang disampaikan karyawan tersebut. Akan tetapi saat dia beralih ke apotik lain
yang karyawannya mempunyai level bahasa inggris yang rendah, malah Marianna
paham apa yang disampaikan karyawan di apotek tersebut. Rupa – rupanya sang
karyawan itu tidak ada rasa takut, malah menatap Marianna dengan rasa percaya
diri dan santai, walau menggunakan kosakata seadanya.
Lalu Marianna, yang juga seorang pemenang penghargaan sebagai
pembicara dan penulis, berpikir: mengapa ini bisa terjadi? Beberapa saat
berselang, akhirnya dia mendapat jawaban secara tidak disengaja. Kemudian suatu
ketika dia pergi ke warung internet di Malaysia karena komputernya rusak dan
dia harus mengerjakan sesuatu menggunakan computer. Dia mendapati ada seorang
pemain video game yang tidak handal dalam bermain atau pemain video game yang
buruk tetapi sangat fokus pada target yang ada dalam permainannya bahkan sangat
percaya diri, bersemangat, berbahagia, dan tidak merasa minder walau ada dua
orang teman sebayanya ikut melihat permainannya.
Lalu apa hubungannya dengan kemampuan seseorang berbahasa
Inggris? Marianna menggambarkan contoh nyata bagaimana kebanyakan orang yang
berbicara bahasa Inggris hanya berfokus pada diri sendiri untuk bagaimana terlihat
seperti pembicara yang bagus, sibuk dengan menggunakan struktur bahasa dan
pengucapan bahasa Inggris yang benar, tanpa menaruh perhatian pada orang yang
diajaknya berkomunikasi dan hasil atau maksud apa yang ingin dia capai.
Apa yang diungkapkan Marianna membantu kita memahami
bagaimana sebagai seorang non – native speaker atau bukan pembicara asli dalam
berbicara dalam bahasa Inggris, bukan persoalan tentang level atau tingkat
penguasaan bahasa Inggris. Apa yang dialami putrinya Marianna adalah gambaran
nyata dari pembelajar yang ingin berbicara bahasa Inggris hari ini, yaitu
merasa takut kalau berbuat salah, merasa depresi sebab beranggapan bahwa
kemampuan dalam bahasa Inggrisnya akan dianggap baik bila dia melakukan
kesalahan yang sedikit serta kesadaran pribadi bahwa jarak level bahasa Inggris
yang dia kuasai sangat jauh dibanding dengan level bahasa Inggris yang
diinginkan atau dicita - citakan. Bahwa ternyata attitude atau prilaku dan
citra diri sangat berpengaruh dalam bagaimana seseorang berbahasa, bukan hanya
level bahasa Inggrisnya yang tinggi saja. Terbukti saat dia bertemu dengan karyawan yang berbahasa inggrisnya rendah yang
menggunakan kosakata seadanya tapi dia justru lebih memahami apa yang
disampaikan karyawan tersebut, dibanding dengan karyawan di apotek sebelah yang
tinggi dalam level penguasaan bahasa Inggrisnya. Tanda kesuksesan dalam
berkomunikasi adalah adanya pemahaman terhadap apa yang orang lain sampaikan and
mampu meresponnya dengan efektif. Lalu apakah kesulitan dalam berkomunikasi
dalam bahasa Inggris ada hubungannya dengan pembelajaran bahasa Inggris di
sekolah – sekolah? mari kita simak uraian selanjutnya.
Pembelajaran
bahasa Inggris di sekolah.
Saya teringat saat menjadi peserta didik di salah satu
sekolah menengah. Saya pernah punya pengalaman menarik terkait pelajaran bahasa
Inggris. Pada suatu ketika saya mengikuti kelas, saya diintruksikan untuk
membuat kalimat dalam bahasa Inggris dalam passive
voice atau kalimat pasif. Setelah saya mengerjakan dan memastikan bahwa apa
yang saya kerjakan adalah benar sesuai rumus kalimat pasif, lalu penulis
menyerahkannya kepada pendidik untuk dikoreksi dan dinilai. Saya merasa sangat
percaya diri dengan tugas yang sudah saya kerjakan tadi. Lalu tiba – tiba ada teman yang memberitahu bahwa saya mendapat nilai nol. Saya terheran dan
terhenyak merasa ada yang aneh. Lalu saya mencocokkan kembali tugas saya
tersebut dengan rumus yang ada. Ternyata tidak ada yang salah bila dikaitkan
dengan rumus. Mengapa saya dapat nilai nol? Teman saya yang juga heran, mencoba
bertanya pada pendidik kelas bahasa Inggris tersebut. Ternyata beliau menjawab
bahwa saya tidak menaruh tanda titik dalam semua kalimat saya. Beliau
berargumen bahwa sebuah kalimat itu bisa disebut kalimat apabila dia diakhiri
dengan tanda titik. Dan benar bahwa dari angka satu sampai sepuluh dari daftar
kalimat yang saya buat, memang tidak mencantumkan tanda titik. Ya sudah
akhirnya saya pasrah membawa nilai nol itu ke rumah.
Bisa dibayangkan ada berapa banyak peserta didik yang
sebenarnya dia paham akan maksud suatu teks tetapi gara – gara dia terlewat
satu huruf, dia dianggap salah. Sekolah menilai kemampuan bahasa Inggris seorang
anak dengan ukuran benar atau salah maupun jelas atau tidak jelas. Apa yang disampaikan Marianna pada akhir sesi
penyampaiannya juga menurut saya sangan cocok untuk menjawab mengapa nilai
bahasa Inggris seseorang bisa jadi sangat bagus namun saat berbicara bahasa
Inggris gagal dalam mengutarakan apa yang akan disampaikannya. Konsep yang
diajarkan di sekolah tentang bahasa Inggris yang dinilai berdasarkan benar atau
salah, jelas atau tidak jelas tersebut dibawa sang anak dalam kehidupan
nyatanya baik saat dia nanti bekerja maupun berinteraksi dengan orang lain.
Sekolah mengajarkan
bahasa Inggris sebagai pelajaran yang perlu dikuasai, bukan bahasa Inggris
sebagi alat komunikasi. Sebagai akibatnya, anak tersebut kesusahan untuk berkomunikasi
dalam bahasa Inggris. Penjelasannya begini: masih menurut Marianna, saat
seseorang sedang dalam keadaan tertekan karena otaknya bekerja untuk dua hal
(1)menyusun kata – kata dalam bahasa Inggris, mengingat – ingat bagaimana cara
pelafalan kosa katanya, dan aspek - aspek gramatikal lainnya;(2) menyampaikan
secara benar apa yang akan disampaikan dengan menggunakan bahasa Inggris
sehingga orang yang kita ajak bicara paham, otak akan kalau dalam bahasa
Marianna “shut down” atau berhenti
bekerja. Tanda otak yang berhenti bekerja adalah: a) kalau ada orang berbicara,
dia akan terus hanya bisa mendengarkan tanpa ada kata- kata yang bisa keluar
dari mulutnya walau dia berusaha berbicara dengan baik, (b) Karena otak sangat
sibuk berpikir bagaimana berbicara dengan susunan kata – kata yang bagus,
seseorang akan gagal dalam berfokus terhadap apa yang orang lain bicarakan
karena terlalu berfokus pada dirinya sendiri untuk bagaimana terlihat benar dalam berbicara bahasa Inggris.(c)Adalah
tidak apa- apa apabila seseorang tidak percaya diri karena tidak bisa
mengekspresikan apa yang menjadi maksudnya, namun sering kali orang memandang ketidakpercayaan
diri ini sebagai kegagalan dalam tugas seseorang terkait penampilan dalam
menyampaikan sesuatu.
Dalam kehidupan nyata, kita sebagi manusia pertama kali
belajar bahasa bukan dengan menghafal aspek gramatikalnya, tetapi langsung pada
praktek bagaimana kalimat tersebut disampaikan seperti yang ada dalam riset Fernandes Arung(2015). Anak belajar bahasa pertama kali dari orang tuanya misalnya berkata thank you dan lain sebagainya. Coba dibayangkan, pasti akan sangat sulit ketika
seorang anak belajar bahasa inggris tetapi yang dia ketahui hanya per kata, dia
akan gagal memahami ketika ada frasa atau kalimat yang ketika diartikan secara
gramatikal per kata.
Lalu untuk apa sebenarnya kita belajar bahasa Inggris? Memang
sangat penting untuk mempelajari aspek – aspek gramatikal seperti pengucapan(pronounciation), kosa kata(vocabulary), struktur kalimat (structure),dan lain sebagainya, tetapi
tanpa keberanian berkomunikasi dalam bahasa Inggris, kita dan anak – anak kita
juga tidak akan kemana – mana karena tidak bisa mengekspresikan apa yang dia
pikirkan. Padahal, dalam lini kehidupan, untuk seseorang menjadi maju salah
satu kuncinya dalah keberanian untuk berkomunikasi entah melalui lisan atau orally maupun secara tertulis atau written.
Dalam bahasa sangatlah jelas bahwa ada aspek kemampuan
aktif dan aspek kemampuan pasif seperti yang disampaikan Naushad Husein(2015). Aspek kemampuan pasif menyangkut mendengarkan
dan membaca,sedangkan aspek kemampuan aktif adalah berbicara dan menulis.
Kemampuan aktif maupun pasif ini seharusnya diajarkan secara seimbang. Memang
lebih mudah menekankan atau menilai seorang anak dari aspek hapalan sehingga
kita tinggal menilai ini benar atau salah, jelas atu tidak jelas, akan tetapi
dalam hidup ini apa gunanya kemampuan menghafal itu? Memang mengajarkan
kemampuan aktif itu butuh proses yang panjang dan melelahkan, akan tetapi
bukankah belajar sendiri adalah proses?mengapakah kita sangat terburu – buru untuk
menilai seseorang berhak mendapat nilai sempurna ataupun nilai buruk?
Saya sangat yakin
bila Faisal tadi dites dengan sistem sekolah kita, dia akan mendapatkan nilai
buruk karena penguasaan bahasanya rendah. Padahal rasa percaya diri Faisal
dalam berbicara bahasa Inggris juga tidak dipunyai banyak orang. Mungkin akan
lebih mudah bagi seorang guru ntuk mengajarkan agar tingkatan penguasaan bahasa
seorang anak meningkat saat sang anak mempunyai rasa percara diri dan tidak
takut bila melakukan kesalahan karena kesalahan kan bisa diperbaiki segera, akan
tetapi mind set atau pola pikir yang
cenderung tertanam dalam benak sang anak tentang penilaian itu berdasarkan benar
atau salah, jelas atu tidak jelas, akan sangat menghambat untuk kemampuan
berkomunikasinya ke depan dan akan lebih lama prosesnya karena butuh membentuk
pola pikir dan kepercayaan dirinya dahulu.
Terkadang orang takut ditertawakan karena aksen bahasa
Inggrisnya terpengaruh logat bahasa daerahnya. Sebenarnya ini bukan masalah.
Coba sejenak carilah video pembicara dari negara lain seperti Thailand, Jepang,
Spanyol, Korea, dan sebagainya. Saya juga jadi ingat teman saya yang ikut program pertukaran pelajar. Saat dia pulang, saya tanya, bagaimana temanmu pengucapan bahasa inggrisnya bisa ndak kamu pahami?saya bertanya begitu karena ada beberapa peserta program itu yang memang sulit dimengerti pelafalan bahasa Inggrisnya. Ternyata dia juga menjawab iya susah banget, bahkan temanku Thailand bila menyebut nama saya "anami" padahal sudah saya ajari bahwa nama saya pengucapannya Hanafi, bukan "anami". Saya ikut ketawa saja mendengarnya sambil bergurau: namamu kok jadi kayak orang Jepang begitu ya kalau dia yang mengucapakan. Alhasil, kami tertawa bersama. Mereka yang dari negara lain juga ndak bisa melafalkan aksen – aksen tertentu
dalam bahasa Inggris, tetapi mereka mendirikan bisnis,kuliah, kursus, meneliti ataupun melancong kemana
- mana. Jadi mengapakah kita tidak percaya diri?(admin/dewi)
https://www.asiaspeakers.org/members/marianna-pascal
https://www.researchgate.net/publication/274310952_Language_and_Language_Skills
https://www.researchgate.net/publication/282504466_Language_Acquisition_and_Learning_of_Children_-_A_Mini_Project_on_Second_Language_Acquisition
https://www.researchgate.net/publication/282504466_Language_Acquisition_and_Learning_of_Children_-_A_Mini_Project_on_Second_Language_Acquisition
Selasa, 14 Agustus 2018
Persepektif Agraria Kritis Sebuah Review Book Bagian 2
Deskripsi buku :
Judul Buku :
Persepektif Agraria Kritis, Teori Kebijakan dan Kajian Empiris
Penulis : Mohammad Shohibudin
Tahun : 2018
Penerbit :
STPN Pres
ISBN :
602-7894-36-9
Halaman :
ixiv+233, 15x23 cm
Persepektif agraria kritis dalam
buku ini ditinjau dari segi konsep, teori dan penerapannya pada beberapa kasus,
pembahasan mencakup tiga fokus kebijakan yaitu : reforma agraria dan tata
pengurusan agraria, pembaruan desa, serta kasus perubahan sosial daerah yang
menyoroti dinamika konflik dan perdamain di aceh, termasuk bagaimana kasuc
wacana keagamaan yang mengambil contoh dari ijtihad agraria Nahdlatul Ulama.
Persepektif agraria kritis
merupakan pendekatan interdisipliner dan komparatif mengenai sumber-sumber
agraria, hubungan teknis dan sosial yang berkaitan dengannya, termasuk tata
pengurusan (governance) yang bisa berupa isu kebijakan dan dinamika sosial.
Pendekatan persepektif agraria kritis melibatkan kepedulian kuat dan
keberlanjutan pada prinsip kedilan sosial, kesetaraan ekonomi dan
keberlanjutkan ekologi.
Definisi di atas dapat dilihat dari
segi ontologis yaitu persepektif agraria kritis berfokus pada sumber-sumber
agraria (SSA) relasi-relasi teknis dan hubungan sosial pihak-pihak terkait,
serta tata pengurusan seputar SSA tersebut. Dilihat dari sisi epistimologisnya
persepektif agraria kritis melibatkan studi yang bercirikan inter-disipliner
dan komparatif. Sedangkan dari aspek metodologis dalam penggalian data dan
informasi, selain berfokus pad kebijakan juga menaruh perhatian terhadap
dinamika perubahan sosial dalam arti luas dan tidak terbatas, serta perubahan
sosial dalam pengimplementasian kebijakan. Sudut aksiologis “persepektif
agraria kritis” dalam melakukan kajian, peduli dengan prinsip-prinsip keadilan
sosial, kesetaraan ekonomi, dan keberlanjutan ekologi.
Ciri riset persepektif agraria
kritis bersifat terlibat yang artinya menantang secara akademis relevan secara
sosial dan memihak pada si miskin. Persepektif agraria kritis menyadari
bahwasanya hubungan-hubungan sosial menyangkut agraria bersifat kompetitif.
Oleh sebab itu hubungan-hubungan tersebut dipastikan ada unsur ketimpangan,
pemerasan dan ketidakberlanjutan ekologi di dalamnya. Persepektif agraria
kritis tidak memandang bahwa unsur-unsur ketimpangan, pemerasan dan
ketidakberlanjutan ini sebagai suatu hal yang alamiah terjadi namun justru
ditelaah secara kritis dengan kerangka keberpihakan kepada kelompok miskin. Tujuan
dari adanya persepektif agraria kritis yaitu mewujudkan struktur agraria yang
adil, relasi produksi dan distribusi surplus yang setara, disertai dengan
lestarinya ekosistem.
Corak persepektif agraria kritis
yang bersifat interdisipliner dapat memakai titik penekanan pada disiplin
tertentu sebagai fokus pengembangannya.
Persepektif agraria kritis juga melibatkan konsep, teori, jenis analisa
dari disiplin-isiplin dari ilmu yang beragam. Sebagai contoh dalam
kontekstualisasi persoalan agraria, dalam analisis aspek teknis menggunakan
disiplin ilmu agronomi, ekologi dan bio ekologi, dalam analisi aspek sosio
agraria menggunakan kajian agraria dan sosio ekonomi sedangkan analisis aspek
kewilayahan menggunakan agro geografi dan studi lingkungan kritis. Kemudian
dalam analisis rezim regulasi dan kebijakan memakai disiplin ilmu ekologi
politik.
Pesepektif agraria kritis memiliki
tujuh pokok bahasan konseptual atau teoritis, yaitu : (1). Lingkup dan cakupan
sumber-sember agraria. (2) Relasi agraria dan sebyek agraria. (3). Proses dalam
relasi sosial agraria. (4). Konstruksi persoalan agraria. (5). Kontekstualisasi
persoalan agraria. (6). Tata pengurusan agraria. (7). Pertarungan sosial yang
berwujud tantangan akses dan ancaman eksklusif dan keharusan perjuangan sosial
yang kontnu guna meresponnya.
Sumber-Sumber Agraria
Dalam pasal satu (1) ayat dua (2)
Undang-Undang Pokok Agraria menyebutkan bahwa : Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya. Pasal tersebut diatas dapat dimaknai sebagai
sumber-sumber agraria lalu dalam ayat (4), (5), dan (6) diperjelas lagi : dalam pengertian bumu, selain permukaan
bumi, termasuk pula tubuh bumi dibawahnya serta yang berada di bawah air. Dalam
pengertian air, termasuk baik perairan pedalaman maupun laut. Yang dimaksud
dengan ruang angkasa ialah runag di atas bumi dan air.
Dalam buku ini penulis menggunakan
istilah sumber-sumber agraria hal itu berbeda dengan ketetapan TAP MPR No
IX/MPR/2001 yang menggunakan istilah sumber daya agraria, seakan hanya
persoalan ekonomi, padahal agraria tidak hanya berurusan dengan ekonomi, namun
melibatkan aspek sosial, budaya, politik, keamanan, dan spiritual. Dalam UUPA
menyebutkan bahwa sumber-sumber agraria yang berada di wilayah Republik
Indonesia adalah “Karunia Tuhan Yang Maha Esa” dan merupakan kekayaan nasional.
Dari kutipan diatas jelaslah bahwa sumber-sumber agraria bukan hanya urusan
ekonomi semata tetapi mengandung religiusitas dan rasa nasionalisme.
Pasal 1 ayat (3) UUPA juga
menjabarkan bahwa sumber-sumber agraria yang multi aspek ini hubungannya bersifat
abadi selama rakyat indonesia masih bersatu sebagai bangsa indonesia dan selama
masih ada bumi air dan runga angkasa indonosia.
Relasi Agraria dan Subjek Agraria
Persepektif agraria kritis tidak
berfokus pada sumber-sumber agraria atau objek agraria secara fisik seperti
taksonomi, fungsi kandungan dan sebagainya. Hal-hal bersifat fisik juga turut
jadi pertimbangan, tetapi fokus ppersepektif agraria kritis adalah dari segi
teknis yang berhubungan dengan aktifis kerja manusia terhadap objek agraria. Aktifitas
kerja manusia pada objek agraria inilah yang disebut relasi teknis agraria
sedangkan relasi sosial agraria atau relasi sosio agraria yaitu hubungan yang
menyangkut manusia dan sesamanya (baik perorangan maupun lembaga) terkait
aktifitas kerja mereka terhadap sunber-sumber agraria. Relasi agraria in bukan
hanya berlangsung di masyarakat tetapi juga menyangkut relasi dengan
pemerintah. Ada
Terdapat empat poin dalam relasi
sosio agraria yaitu : (1) Penguasaan dan pemilikan sumber-sumber agraria.
(2) penggunaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria. (3) pembagian kerja dan
relasi produksi yang berlangsung di dalamnya. (4) penciptaan surplus dari
ketiga proses diatas sekaligus dinamika akumulasi ekspansi dan distribusinya.
Relasi sosial agraria berkaitan
dengan lima pertanyaan berikut : . Pertama mengenai relasi sosial agraria yang
berhubungan denga penguasaan dan dan pemilikan sumber-sumber agraria.
Pertanyaan kedua adalah tenyang pembagian kerja secara sosial antara
pihak-pihak terkait dalam proses produksi. Pertanyaan ketiga menyangkut
penggunaan dan pemanfaatan sumber agraria tertentu dan juga bagaimana kerja
serat hubungan produksi yang terjadi didalamnya. Pertanyaan keempat yaitu jenis
pemanfaatan hasil kerja diantara pihak-pihak yang terlibat dalam proses
produksi. Sedangkan pertanyaan kelima mengenai politik agraria lingkungan dari
pihak-pihak yang berkepentingan termasuk juga pihak yang tidak terlibat dalam
proses produksi.
Dari kelima pertanyaan-pertanyaan
diatas sebagai asumsi dasar persepektif agraria kritis tidak lepas dari
kontestasi dan dominasi yang pada ujungnya muncul ketimpangan dan ketidak
adilan.
Langganan:
Komentar (Atom)









