Oleh:Nur Sahid
"Ya Alloh ya tuhan
kami, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari keluh kesah dan duka cita, aku
berlindung kepadamu dari lemah kemauan dan malas, aku berlindung kepadamu dari
sifat pengecut dan kikir, aku berlindung kepadamu dari tekanan hutang dan kezaliman
manusia (Muhammad
SAW).
"Bila kaum muda yang
telah belajar di sekolah menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk
melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki
cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama
sekali
". (Tan Malaka)
Kata-kata diatas mungkin
sudah pernah kalian baca meski sebenarnya aku tak tahu mengapa menulis
kata-kata itu di awal tulisan ini. Tapi setidaknya yang membaca tulisan ini
telah berdo’a. dan mungkin sedikit banyak mendapat gambaran bahwa pendidikan
tidak seharusnya memisahkan seorang peserta didik dari realitas masyarakat dan
lingkungannya.
Dua minggu lalu aku dan teman-teman
memulai sebuah diskusi, sebenarnya diskusi ini sudah direncanakan sejak lama,
kami mendiskusikan buku Mazhab Pendidikan Kritis, sebuah buku yang ditulis oleh
Dr. M Agus Nuryatno, beliau merupakan staf pengajar di Fakultas Tarbiyah UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kami akan mendiskusikan buku itu dalam lima kali
pertemuan dimana pada dua minggu lalu kami mendiskusikan bab pertama,
“Pendidikan Kritis : Konsep-Konsep Dasar”. Waktu itu aku di daulat sebagai
pemateri.
Sebagai sebuah gagasan,
mazhab pendidikan kritis tidak merepresentasikan gagasan yang tunggal dan
homogen, namun para pendukung mazhab ini disatukan dalam satu tujuan yang sama,
yaitu memberdayakan kaum tertindas dan mentransformasi ketidakadilan sosial
yang terjadi di masyarakat melalui media pendidikan. Kalimat itu aku ambil dari
halaman satu dan dua buku Mazhab Pendidikan Kritis, nampak sekali bahwa bagi
mazhab pendidikan kritis, tujuan pendidikan adalah memberdayakan kaum
tertindas, artinya pendidikan mesti menjadi bagian dari perjuangan kaum
tertindas dalam memperjuangkan hidup dan kehidupannya untuk mencapai emansipasi
manusia. Ini bermakna juga bahwa pendidikan tidak boleh menjadi bagian dari
media untuk melanggengkan penindasan.
Namun sayangnya dalam
dunia pendidikan kita, kuasa politik menempatkan pendidikan sebagai pencetak
orang-orang terindas baru, menciptakan buruh-buruh untuk memenuhi kepentingan
industri dan kapital. Seperti tercermin dalam pidato Mentri Riset Teknologi dan
Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir pada saat hari Pendidikan Nasional 2017,
beliau menekankan bahwa tema pendidikan tahun ini sebagai meningkatkan relevansi
pendidikan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, Nasir juga mengusulkan bahwa
esensi dari pendidikan tinggi adalah untuk menghasilkan lulusan dan
penelitian yang bermanfaat bagi industri Indonesia.
Mentrasformasi
ketidakadilan sosial, disini pendidikan punya tugas melahirkan peserta didik
yang kritis dan peka akan keadaan masyarakat, peka akan banyaknya
masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, misalkan kemiskinan, pengangguran,
dan masalah lainnya, serta kritis membaca apa-apa yang ada di balik masalah
masalah sosial itu. Untuk mencapai kurikulum, peraturan-peraturan dan kebijakan
pendidikan harus mengacu dan memperhatikan masalah-masalah ketidakadilan sosial,
dan menjadikan masalah-masalah tersebut sebagai isu yang dibicarakan dalam
dunia pendidikan.
Selain itu, proses
pendidikan harus berjalan dialogis, partisipatoris dan demokratis, dialogis
artinya dalam prosese pendidikan guru tidak otoriter dan merasa dirinya tau dan
murid tidak tau. Partisipatoris berarti bahwa pendidikan tidak hanya sekolah
dan murid, tapi lebih dari itu pendidikan harus melibatkan masyarakat luas, dan
lingkungan. Demokratis, ini berarti penentuan materi, kurikulum, waktu, dan
lain-lain harus memberikan ruang selebar-lebarnya pada semua komponen
pedidikan untuk memusyawarahkannya.
Tetapi sejak setelah
peristiwa tahun 1965 pada gilirannya dikeluarkannya Tap MPR tentang pelarangan marxisme,
segala sesuatu yang berbau kritis (baca:kiri) dianggap sebagai sesuatu yang
menjijikan, pendidikan berubah menjadi tidak lebih dari corong penguasa dan
media propaganda untuk melanggengkan kekuasaaan dan legitimasi penguasa. Proses
pendidikan menjadikan guru sebagai pusat segala pengetahuan, jika ada murid
yang tidak setuju dan atau membantah pendapat guru sering kali dia dianggap sebagai
murid pembangkang, tidak patuh bahkan dianggap durhaka. Cara-cara militer juga
diterapkan pada pendidikan. Pengalaman saya dulu di bangku MA, beberapa kali
datang telat ke sekolah, karna itu aku dan beberapa teman lain dihukum berlari
mengelilingi lapangan sampai 15 kali, bahkan ada yang lebih dari 20 kali.
Pendidikan kita dalam
membuat materi ajar atau kurikulum, seringkali mengabaikan peserta didik dan
komponen-komponen lain. Kurikulum dibuat oleh para ahli, yang hidup nyaman di
kota dimana mereka tak pernah mengalami kehidupan di pelosok-pelosok desa, di
pedalaman. Namun kurikulum itu dipaksakan untuk dipakai di seluruh Indonesia.
Sehingga sering kali teks yang dipelajari murid anti realitas yang selanjutnya
membawa murid terasing dari lingkungan dia hidup, anak petani di desa-desa tak
pernah lagi mau mencangkul, bahkan malu terhadap teman-temannya saat orang tua
mereka hadir di sekolah untuk mengambil rapot.
Di halaman yang lain ada
kalimat menarik: "Dalam pendidikan kritis, pembelajaran menekankan pada
bagaimana memahami, mengkritik, memproduksi dan menggunakan ilmu pengetahuan
sebagai alat untuk memahami realitas hidup dan mengubahnya. Untuk itu
pembelajaran diawali dengan mempertanyakan realitas keadaan yang akan dirubah,
kemudian mempermasalahkannya dan menganalisisnya yang selanjutnya hasil
analisis itu bisa dijadikan pertimbangan dalam pemecahan masalah sehingga
pengetahuan yang dihasilkan dari proses pembelajaran itu adalah pengetahuan
yang membumi, tidak membuka gap antara
pengetahuan dan realitas". Di sekolah murid seharusnya diajari
berbagai hal yang ada di lingkungan kehidupan mereka, tidak malah diberi mata
pelajaran yang banyak, sebagian besar tidak ada sangkutpautnya dengan
kehidupan sehari-hari, misal sebagai negeri agraris maka seyogyanya pertanian
menjadi kurikulum utama yang di ajarkan pada murid.
Salah satu tema penting
dalam pedidikan kritis adalah tentang kapitalisme, ia mempunyai pengaruh yang
besar dalam kehidupan modern. Dengan ciri utama akumulasi kapitalnya,
kapitalisme berjasa besar dalam membangun budaya konsumtif dan hedonis,
hingga secara sadar atau tidak ilmu pengetahuan yang diajarkan adalah ilmu yang
dirancang untuk mengejar profit. Bahkan seringkali sekolah yang seharusnya
menjadi tempat membangun budaya kejujuran, integritas dan kemanusiaan, berubah
menjadi ladang bisnis, iklan sekolah terpampang dimana-mana, koran, media
online, banner pinggir jalan dan lain sebagainya mirip-mirip iklan produk
kecantikan. Biaya pendaftaran dan bulanannya tak terjangkau, bahkan seringkali
sekolah mengkhianati nilai-nilai yang dijadikan slogannya. Ketika ada
akreditasi misalkan, sekolah dengan tanpa malu mengatur, memoles, mempercantik
sekolah dengan berbagai hal yang sebenarnya tidak ada dalam pembelajaran
sehari-hari, yang kalau boleh saya katakan itu adalah kebohongan.
Bisnis bimbingan belajar
juga tumbuh subur di mana-mana, selain mengajar di sekolah, tidak sedikit guru
membuka bimbingan belajar dirumahnya, secara sederhana ini menunjukan bahwa
sekolah telah gagal mengajari muridnya. Murid berprestasi bukan karna
pengajaran sekolah tapi karna bimbingan belajar yang diikutinya.
Oke, sudah lupakan saja
apa yang barusan kalian baca, kita kembali pada doa nabi Muhammad SAW dan
kata-kata Tan Malaka. Dalam mata kuliah hadits tarbawi aku tidak menemukan
hadits yang aku tulis itu, namun menurutku hadits itu merupakan sebuah contoh
ideal tentang bagaiman seharusnya pendidikan. Saya memaknai hadits itu begini,
bahwa yang pertama dibangun adalah pribadi-pribadi yang tangguh, serta punya
kepedulian sosial untuk selanjutnya dijadkan sebagai modal melawan kedzaliman
dan kesewenang-wenangan. Dengannya seorang murid tidak akan tercerabut dari
masyarakatnya, mereka akan melebur bersama rakyat tertindas dan memperjuangkan
emansipasi manusia.(adm/dew)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar