Senin, 03 September 2018

Pendidikan : Idealisme dan Realitas




Oleh:Nur Sahid
"Ya Alloh ya tuhan kami, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari keluh kesah dan duka cita, aku berlindung kepadamu dari lemah kemauan dan malas, aku berlindung kepadamu dari sifat pengecut dan kikir, aku berlindung kepadamu dari tekanan hutang dan kezaliman manusia (Muhammad SAW).
"Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali ". (Tan Malaka)

Kata-kata diatas mungkin sudah pernah kalian baca meski sebenarnya aku tak tahu mengapa menulis kata-kata itu di awal tulisan ini. Tapi setidaknya yang membaca tulisan ini telah berdo’a. dan mungkin sedikit banyak mendapat gambaran bahwa pendidikan tidak seharusnya memisahkan seorang peserta didik dari realitas masyarakat dan lingkungannya.

  Dua minggu lalu aku dan teman-teman memulai sebuah diskusi, sebenarnya diskusi ini sudah direncanakan sejak lama, kami mendiskusikan buku Mazhab Pendidikan Kritis, sebuah buku yang ditulis oleh Dr. M Agus Nuryatno, beliau merupakan staf pengajar di Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kami akan mendiskusikan buku itu dalam lima kali pertemuan dimana pada dua minggu lalu kami mendiskusikan bab pertama, “Pendidikan Kritis : Konsep-Konsep Dasar”. Waktu itu aku di daulat sebagai pemateri.

Sebagai sebuah gagasan, mazhab pendidikan kritis tidak merepresentasikan gagasan yang tunggal dan homogen, namun para pendukung mazhab ini disatukan dalam satu tujuan yang sama, yaitu memberdayakan kaum tertindas dan mentransformasi ketidakadilan sosial yang terjadi di masyarakat melalui media pendidikan. Kalimat itu aku ambil dari halaman satu dan dua buku Mazhab Pendidikan Kritis, nampak sekali bahwa bagi mazhab pendidikan kritis, tujuan pendidikan adalah memberdayakan kaum tertindas, artinya pendidikan mesti menjadi bagian dari perjuangan kaum tertindas dalam memperjuangkan hidup dan kehidupannya untuk mencapai emansipasi manusia. Ini bermakna juga bahwa pendidikan tidak boleh menjadi bagian dari media untuk melanggengkan penindasan.

Namun sayangnya dalam dunia pendidikan kita, kuasa politik menempatkan pendidikan sebagai pencetak orang-orang terindas baru, menciptakan buruh-buruh untuk memenuhi kepentingan industri dan kapital. Seperti tercermin dalam pidato Mentri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir pada saat hari Pendidikan Nasional 2017, beliau menekankan bahwa tema pendidikan tahun ini sebagai meningkatkan relevansi pendidikan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, Nasir juga mengusulkan bahwa esensi dari pendidikan tinggi adalah untuk menghasilkan lulusan  dan penelitian yang bermanfaat bagi industri Indonesia.

Mentrasformasi ketidakadilan sosial, disini pendidikan punya tugas melahirkan peserta didik yang kritis dan peka akan keadaan masyarakat, peka akan banyaknya masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, misalkan kemiskinan, pengangguran, dan masalah lainnya, serta kritis membaca apa-apa yang ada di balik masalah masalah sosial itu. Untuk mencapai kurikulum, peraturan-peraturan dan kebijakan pendidikan harus mengacu dan memperhatikan masalah-masalah ketidakadilan sosial, dan menjadikan masalah-masalah tersebut sebagai isu yang dibicarakan dalam dunia pendidikan.

Selain itu, proses pendidikan harus berjalan dialogis, partisipatoris dan demokratis, dialogis artinya dalam prosese pendidikan guru tidak otoriter dan merasa dirinya tau dan murid tidak tau. Partisipatoris berarti bahwa pendidikan tidak hanya sekolah dan murid, tapi lebih dari itu pendidikan harus melibatkan masyarakat luas, dan lingkungan. Demokratis, ini berarti penentuan materi, kurikulum, waktu, dan lain-lain harus memberikan ruang selebar-lebarnya  pada semua komponen pedidikan untuk memusyawarahkannya.

Tetapi sejak setelah peristiwa tahun 1965 pada gilirannya dikeluarkannya Tap MPR tentang pelarangan marxisme, segala sesuatu yang berbau kritis (baca:kiri) dianggap sebagai sesuatu yang menjijikan, pendidikan berubah menjadi tidak lebih dari corong penguasa dan media propaganda untuk melanggengkan kekuasaaan dan legitimasi penguasa. Proses pendidikan menjadikan guru sebagai pusat segala pengetahuan, jika ada murid yang tidak setuju dan atau membantah pendapat guru sering kali dia dianggap sebagai murid pembangkang, tidak patuh bahkan dianggap durhaka. Cara-cara militer juga diterapkan pada pendidikan. Pengalaman saya dulu di bangku MA, beberapa kali datang telat ke sekolah, karna itu aku dan beberapa teman lain dihukum berlari mengelilingi lapangan sampai 15 kali, bahkan ada yang lebih dari 20 kali.

Pendidikan kita dalam membuat materi ajar atau kurikulum, seringkali mengabaikan peserta didik dan komponen-komponen lain. Kurikulum dibuat oleh para ahli, yang hidup nyaman di kota dimana mereka tak pernah mengalami kehidupan di pelosok-pelosok desa, di pedalaman. Namun kurikulum itu dipaksakan untuk dipakai di seluruh Indonesia. Sehingga sering kali teks yang dipelajari murid anti realitas yang selanjutnya membawa murid terasing dari lingkungan dia hidup, anak petani di desa-desa tak pernah lagi mau mencangkul, bahkan malu terhadap teman-temannya saat orang tua mereka hadir di sekolah untuk mengambil rapot.

Di halaman yang lain ada kalimat menarik: "Dalam pendidikan kritis, pembelajaran menekankan pada bagaimana memahami, mengkritik, memproduksi dan menggunakan ilmu pengetahuan  sebagai alat untuk memahami realitas hidup dan mengubahnya. Untuk itu pembelajaran diawali dengan mempertanyakan realitas keadaan yang akan dirubah, kemudian mempermasalahkannya dan menganalisisnya  yang selanjutnya hasil analisis itu bisa dijadikan pertimbangan dalam pemecahan masalah sehingga pengetahuan yang dihasilkan dari proses pembelajaran itu adalah pengetahuan yang membumi,  tidak membuka gap antara pengetahuan dan realitas". Di sekolah murid seharusnya diajari berbagai hal yang ada di lingkungan kehidupan mereka, tidak malah diberi mata pelajaran yang  banyak, sebagian besar tidak ada sangkutpautnya dengan kehidupan sehari-hari, misal sebagai negeri agraris maka seyogyanya pertanian menjadi kurikulum utama yang di ajarkan pada murid.

Salah satu tema penting dalam pedidikan kritis adalah tentang kapitalisme, ia mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan modern. Dengan ciri utama akumulasi kapitalnya, kapitalisme berjasa besar dalam membangun budaya konsumtif dan hedonis, hingga secara sadar atau tidak ilmu pengetahuan yang diajarkan adalah ilmu yang dirancang untuk mengejar profit. Bahkan seringkali sekolah yang seharusnya menjadi tempat membangun budaya kejujuran, integritas dan kemanusiaan, berubah menjadi ladang bisnis, iklan sekolah terpampang dimana-mana, koran, media online, banner pinggir jalan dan lain sebagainya mirip-mirip iklan produk kecantikan. Biaya pendaftaran dan bulanannya tak terjangkau, bahkan seringkali sekolah mengkhianati nilai-nilai yang dijadikan slogannya. Ketika ada akreditasi misalkan, sekolah dengan tanpa malu mengatur, memoles, mempercantik sekolah dengan berbagai hal yang sebenarnya tidak ada dalam pembelajaran sehari-hari, yang kalau boleh saya katakan itu adalah kebohongan.
Bisnis bimbingan belajar juga tumbuh subur di mana-mana, selain mengajar di sekolah, tidak sedikit guru membuka bimbingan belajar dirumahnya, secara sederhana ini menunjukan bahwa sekolah telah gagal mengajari muridnya. Murid berprestasi bukan karna pengajaran sekolah tapi karna bimbingan belajar yang diikutinya.  


Oke, sudah lupakan saja apa yang barusan kalian baca, kita kembali pada doa nabi Muhammad SAW dan kata-kata Tan Malaka. Dalam mata kuliah hadits tarbawi aku tidak menemukan hadits yang aku tulis itu, namun menurutku hadits itu merupakan sebuah contoh ideal tentang bagaiman seharusnya pendidikan. Saya memaknai hadits itu begini, bahwa yang pertama dibangun adalah pribadi-pribadi yang tangguh, serta punya kepedulian sosial untuk selanjutnya dijadkan sebagai modal melawan kedzaliman dan kesewenang-wenangan. Dengannya seorang murid tidak akan tercerabut dari masyarakatnya, mereka akan melebur bersama rakyat tertindas dan memperjuangkan emansipasi manusia.(adm/dew)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar