
Oleh:Nuzulia
Agama dan Negara di Persimpangan Masyarakat Pluralis
Saya ingat guyonan Gus Dur tentang Tuhan orang Islam itu jauh, itulah mengapa harus dipanggil dengan toa. Maka ketika seorang perempuan dari Tanjung Balai Sumatera Utara bernama Meiliana mengeluhkan volume suara adzan yang membawanya menjadi terdakwa 18 bulan penjara seolah membenarkan guyonan Gus Dur. MUI Sumatra Utara menerbitkan fatwa menistakan agama kepada Merliana. Wakil sekretaris komisi fatwa MUI Irwansyah mengatakan bahwa adzan adalah bagian dari syariat Islam, ucapan yang disampaikan Merliana adalah termasuk perendahan, penodaan, dan penistaan terhadap syariat Islam. Kejadian berawal dari keluhan Meiliana terhadap volume pengeras suara masjid yang dinilai terlalu keras. "Kak tolong bilang sama Wak itu, kecilkan suara masjid itu Kak, sakit kupingku, ribut" ujar terdakwa pada tetangga seperti yang dibaca dalam tuntutan jaksa. Setelah pengurus masjid sempat mendatangi rumah Meiliana, persoalan semakin meruncing. Keluhan Meiliana ditanggapi masyarakat muslim Tanjung Balai dengan melempari rumah dan membakar 14 vihara umat Budha1.
Ibarat bara yang sudah menganga, disulut sedikit akan menjadi api yang besar, demikian wajah beragama di Indonesia hari ini. Diakui maupun tidak, kejadian ini tidak bisa lepas dari sentimen SARA yang dimainkan elite politik beberapa waktu lalu dalam konstelasi pilkada DKI yang berujung pada gerakan massa besar-besaran anti Ahok turut menyemai bibit-bibit ketegangan umat. Akibatnya, bibit tersebut tumbuh subur menjalar ke berbagai daerah di Indonesia baik dalam lingkaran elite tinggi negara maupun rakyat. Artinya kekerasan oleh warga negara disponsori atau dibiarkan aparat negara. Meskipun disisi lain banyak faktor yang mempengaruhi sentimen agama semisal meluasnya pemahaman Islam transnasional, ajaran radikal yang masuk dalam dunia pendidikan, munculnya da'i YouTube yang secara terang-terangan menanam benih permusuhan antara umat beragama maupun seagama yang berbeda pandangan. Da'i-da'i ini bisa mengambil hati masyarakat dibanding ustadz di kampung, maka dengan mudah ceramah yang disampaikan sang da'i mampu mempengaruhi pemikiran masyarakat. Dapat dilihat yang terjadi hari ini persoalan intoleransi antar agama maupun internal agama berbeda aliran dan kaum minoritas menjadi sasaran yang berujung konflik. Situasi yang demikian berkelindan dengan kepentingan elite negara maupun pemuka agama. Hal ini seolah dipelihara negara maupun pihak lain yang merasa diuntungkan.
Snouck Hurgronje pernah mengemukakan bahwa Islam di Indonesia yang kelihatan statis dan tenggelam dalam kitab-kitab salaf abad pertengahan itu, sebenarnya mengalami perubahan-perubahan yang fundamental, perubahan-perubahan itu demikian perlahan, rumit dan mendalam, sehingga hanya orang yang dapat mengamatinya secara hati-hati dan teliti dapat mengetahui perubahan tersebut.
Wajah Islam Indonesia hari ini telah berubah, Islam hari ini sedang dilanda mabuk agama. Identitas beragama diwujudkan pada simbol. Kejadian diatas menampakkan bahwa toa adalah bagian dari beragama bukan lagi sebuah nilai-nilai yang diwujudkan dalam bentuk laku yang selaras terhadap Tuhan dan manusia. Indikator keberhasilan beragama jika syi'ar Islam yang diwujudkan dalam gebyar selebrasi melalui suara-suara yang menjangkau semua tempat. Antusiasme umat dalam perayaan beragama menjadi terlena yang kemudian melupakan nilai spiritual agama. Agama telah terhegemoni dari hakikatnya. Menyambung pernyataan Snouck Hurgronje, menurut Gus Dur proses terjadinya pemahaman kembali isi ajaran-ajaran agama dapat disebabkan oleh terjadinya reaksi terhadap adanya perubahan yang terjadi diluar agama itu, tetapi juga di dalam ajaran agama itu sendiri dimungkinkan adanya proses pemahaman baru. Karena pemahaman atas isi ajaran agama dipegang oleh pemuka-pemuka agama (religious elite) yang biasanya juga menjadi kelompok pimpinan (elite classical) dalam hampir semua struktur masyarakat, maka sesuai dengan dinamika yang selalu dimiliki oleh kelompok pimpinan itu sendiri, mau tidak mau isi ajaran-ajaran agama itu akan selalu mengalami proses pembaharuan pemahamannya. Kelompok elit dimana-mana memiliki kepentingan yang besar dibandingkan dengan kelompok-kelompok lain di masyarakat, itulah sebabnya bila terjadi perubahan sosial atau diperlukan adanya perubahan dalam masyarakat, mereka berkepentingan pula untuk dapat mengendalikan perubahan-perubahan tersebut, agar kepentingan mereka sebagai pemimpin masyarakat tidak sampai direbut oleh kelompok-kelompok lain. Para pemuka agama sebagai salah satu unsur kelompok elite yang memimpin masyarakat, maka harus dapat mengendalikan dan mengarahkan peninjauan kembali ajaran-ajaran agama sehingga dapat mempertahankan kedudukan dalam bidang kepemimpinan agama2.
Sayangnya para pemuka agama justru menggerakkan masyarakat dalam arus intoleransi atas nama jihad terhadap penista agama. Julukan penista agama lebih disebabkan karena subyek adalah pemeluk agama non muslim etnis Tionghoa. Pola konflik yang demikian hampir sama di berbagai daerah di Indonesia. Sangat kontras, beberapa waktu lalu viral seorang da'i You Tube yang mengatakan bahwa nabi Muhammad pernah sesat. Tak ada respon besar dari pemuka agama maupun umat, seolah sambil lalu. Anehnya, da'i-da'i yang demikian justru diberi panggung untuk ceramah.
Kembali pada pendapat Gus Dur, pada dasarnya setiap agama memiliki watak transformatif, yaitu berusaha menanamkan nilai-nilai baru yang menggantikan nilai-nilai lama yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama. Pemahaman kembali terhadap ajaran agama sering kali mengambil tema "kembali kepada ajaran yang benar atau kembali pada ajaran yang asli"3. Yang kemudian melihat persoalan hanya pada teks tanpa melihat konteks. Seperti melarang memilih pemimpin non muslim menjadi sesuatu yang laris diperdagangkan dalam konteks pilkada maupun pilpres. Identitas menjadi penting, mengesampingkan aspek yang lebih urgen semisal kapasitas personal. Sedangkan masyarakat dalam memahami persoalan mengikuti keputusan pemuka agama3.
Transformasi beragama hari ini sangat masif dipaksakan semisal memaksa memakai jilbab di sekolah bagi pemeluk agama non muslim yang dibingkai dalam peraturan sekolah yang seolah telah disepakati bersama. Contoh lain adalah maraknya perumahan muslim yang dikhususkan bagi yang beragama Islam sehingga meminggirkan pemeluk agama lain dalam masyarakat yang plural.
Yang mengagetkan adalah kejadian di Probolinggo dalam peringatan kemerdekaan Indonesia, siswa dari sebuah sekolah Taman Kanak-kanak(TK) yang berada dalam naungan Kodim mengikuti pawai budaya mengenakan jubah dan bercadar hitam menenteng replika senjata. Hal ini sebagai bukti transformasi agama yang dahulu dekat dengan pluralitas budaya Indonesia menjadi agama konservatif seolah menampakkan wajah murninya dengan menghilangkan pluralitas budaya. Anehnya, sekolah TK ini berada dalam naungan Kodim sebagai salah satu komponen aparat negara4.
Jajang Jahroni dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta mengatakan bahwa model pemahaman keagamaan yang tekstualis bisa mendorong orang untuk melakukan kekerasan agama. Lebih tepatnya merasa paling benar dalam relasi internal agama apalagi tidak seagama.
Pertanyaannya mengapa negara justru mewadahi sentimen agama dan SARA? Mengutip pendapat Muzani elite negara itu takut terhadap umat kalau harus mengatakan pendapatnya yang bertentangan keyakinan dengan kalangan Islam politik, mereka takut dinilai merusak Islam, dan takut dimusuhi umat Islam. Dan itu berarti ancaman bagi karirnya5.
Islam dan Pluralisme
Islam secara teologis dan historis menurut Budhy Munawar Rachman tidak bisa dilepaskan dari agama-agama lain. Prinsip yang mendasari hubungan Islam dan agama-agama lain dinyatakan dalam Al Qur'an dan dicontohkan nabi Muhammad yaitu pengakuan dan penghormatan akan keberadaan agama-agama lain dan adanya ruang kebebasan bagi para pemeluknya untuk menjalankan agama masing-masing.
Al Qur'an juga menganut prinsip: adanya realitas tentang pluralitas agama (Q.S 2:62), kebebasan beragama (Q.S 2:256), hidup berdampingan secara damai (Q.S 109:1-6), menganjurkan untuk saling berlomba-lomba dalam kebaikan (Q.S 5:48) dan bersikap positif dalam berhubungan serta kerjasama dengan pemeluk agama lain (Q.S 60:8), bersikap dan berbuat adil terhadap umat non muslim (Q.S 60:80) dan melindungi tempat ibadah semua agama (Q.S 22:40)6.
Kebenaran dalam agama-agama itu dituturkan oleh Al Qur'an " sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabi'in, siapa saja yang diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari akhir dan beramal shaleh, mereka akan mendapatkan pahala dari Tuhan mereka. Mereka tidak perlu khawatir dan bersedih". Al Qur'an secara tegas menyatakan adanya keselamatan yang dijanjikan Tuhan bagi setiap orang yang beriman kepada Nya dan hari akhir dan diiringi dengan berbuat kebajikan tanpa memandang afiliasi agama mereka. Artinya semua yang beriman kepada Allah dan hari akhir akan selamat.
Jadi, mengutip peri Gus Dur, agama tidak mengandung nilai-nilai dalam dirinya, tetapi mengandung ajaran-ajaran yang menanamkan nilai-nilai sosial yang bila nilai-nilai itu meresap dalam pikiran sebagian besar warga masyarakat (penganutnya), ajaran itu merupakan salah satu elemen yang membentuk cultural value system7.
Fanatisme Agama tinjauan Filosofis
Dalam bagian ini menurut Muhammad Al Fayyadl yang mempelajari titik dialektis penjelasan internalis dan eksternalis. Penjelasan internalis misalnya fenomenologi agama, akan melihat fanatisme sebagai fenomena pemahaman atau hermeneutis: kesalahan memahami ajaran agama, krisis pemaknaan agama, atau problem indoktrinasi agama. Di sisi lain, penjelasan eksternalis memandang fanatisme sebagai fenomena sosial akibat krisis sosio-politik, ideologisasi agama, kepentingan kelompok atas kelompok lain, atau ketidakadilan ekonomi politik. Karena fanatisme erat kaitannya dengan fenomena sosial. Pertautan dialektis ini menjelaskan hubungan aktualisasi pemahaman dalam tindakan, iman dalam praksis, dan sebaliknya, pengaruh tindakan dan praksis dalam memformat keberagamaan. Tindakan dan praksis itu hanya dimungkinkan oleh struktur sosial yang memfasilitasinya. Misal, struktur ketimpangan akses ekonomi politik dalam suatu iklim kapitalis. Keterpengaruhan antara krisis pemahaman dan krisis kehidupan. Sehingga pada titik abu-abu fanatisme beragama merupakan fenomena filosofis, sosiologis, antropologis, sekaligus ekonomi politis.
Sedangkan Muhammad Iqbal menunjuk "mentalitas kawanan" sebagai prakondisi fanatisme beragama. Ia mengusulkan kesadaran puitik dan revolusi kesadaran, bahkan radikalisasi pemaknaan atas keimanan dan klaim-klaim keberagamaan, untuk mengatasi ketergantungan pada otoritas agama. Pemikir muslim lain seperti Muhammad Arkoun yang menyerukan kesadaran kritis dan ilmiah atas segala bentuk wacana yang dibawakan oleh otoritas agama. Ia memandang otoritas keagamaan sebagai tantangan laten bagi keimanan dan sebaliknya, ia mengajukan kekuatan ilmiah kritis sebagai koreksi atas otoritas agama dan potensinya untuk menjadi sewenang-wenang.
Kedua pemikir tersebut menggarisbawahi jalan keluar berupa pembelajaran agama secara mandiri yang bergantung pada otoritas tertentu. Mereka menawarkan individualisme dan singularitas kesadaran untuk mengembalikan iman kepada kekonkretannya, menghindari abstraksi.
Al Fayyadl mengutip Khaled Abou El Fadli seorang pemikir muslim untuk menjawabnya. Menurutnya kita harus membedakan antara "otoritas agama yang otoritatif" dan "otoritas agama yang otoriter". "Otoritas agama yang otoritatif", otoritas agama hadir dengan kewenangannya, namun ia memiliki tanggung jawab untuk menjaga agar kewenangannya tidak berubah menjadi sewenang-wenang. Otoritas ini berupa otoritas pengetahuan yang dipertanggungjawabkan secara publik. Sedangkan, "otoritas agama yang otoriter" otoritas ini digunakan untuk bertindak sewenang-wenang, menjadikan agama otoriter. Ia menyalahgunakan agama untuk tujuannya sendiri, yang bertentangan dengan tanggung jawab yang otoritatif. Dalam ungkapan lain, kata Khaled, kita harus bekerja dengan abstraksi secara moderat dan bertanggung jawab. Abstraksi tidak boleh tergelincir menjadi ideologi kultus, prasyarat dari fanatisme.
Hal ini menjadi pertanyaaan: dapatkah hari ini – di era ketika populisme agama merajalela – kita beriman tanpa otoritas agama? Lalu bagaimana fungsi pemuka agama (ulama, pendeta, bhikku, dan lain-lain) jika otoritas agama dilampaui? Suatu keimanan masa depan yang membebaskan diri dari fanatisme harus menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, di mana tarik-menarik antara individu dan komunitas, antara otonomi dan heteronomi, semakin genting terjadi ke depan.
Kesimpulannya, Al Fayyadl mengajukan solusi bahwa "kita membutuhkan kondisi dimana otoritas agama, lebih jauh, tidak menjadi otoritas tetapi melebur di dalam umat beragama. Yang mensyaratkan bahwa iman dipelajari secara kolektif, dipraktikkan secara kolektif, dan diaktualisasikan pula secara kolektif.
Yang terjadi hari ini sebaliknya, iman diajarkan secara elitis (melalui mediasi otoritas agama), namun dipraktikkan secara kolektif dan diaktualisasikan secara ambigu antara kolektif dan elitis. Kesimpangsiuran ini membuat keimanan tergoda kuat untuk menjadi fanatik, tetapi disisi lain terkadang juga menjadi lunak, bahkan kehilangan etos militansinya, jinak dihadapan ketimpangan dan ketidakadilan. "Iman kolektif yang pada gilirannya mampu melepaskan diri dari ketergantungan pada otoritas agama, karena pada gilirannya tidak relevan8.
____________
1. https://www.dw.com/id/keluhkan-volume-adzan-meiliana-didakwa-menistakan-agama/a-45074204
2. Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, Jakarta: The Wahid Institut, 2007. Hal 72-75
3. Budhy Munawar Rachman, Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta: Komunitas Epistemologi Muslim Indonesia (KEMI) bekerjasama dengan Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) dan Hivos, 2011. Hal 253-261
4. https://m.detik.com/news/berita-jawa-timur/d-4172218/viral-karnaval-tk-bercadar-dan-bersenjata-ini-penjelasan-sekolah
5. https://indoprogress.com/2011/10/agama-dan-negara-jejak-persilangan-kekerasan/
6. https://indoprogress.com/2018/05/struktur-fanatisme-beragama-dan-pelampauannya-tinjauan-sosio-filosofis/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar