M. Fahmi Saiyfuddin
Kredit foto: Lutviavandi.com
Praktis, ya satu kata ini sangat familiar bagi kita generasi 2000-an, satu kata yang mengandung makna mempermudah atau memotong proses tahapan agar menjadi lebih cepat. Hal tersebut tentu sangat berguna dan manfaat bagi penunjang kelangsungan hidup manusia, karena terkesan meringankan beban kehidupan seperti kebutuhuan manusia akan air yang mudah ditemukan di warung-warung atau minimarket sepanjang jalan.
Namun kendati demikian, apakah kondisi tersebut baik juga bagi kelangsungan hidup manusia ke depannya ? tentu hal tersebut masih dalam perbedebatan para ahli, namun ada sebuah hipotesis atau dugaan mengenai jawaban tersebut kawan sekalian, dan marilah kita ulas bersama.
Air, merupakan kebutuhan pokok bagi seluruh umat manusia, maka tidaklah heran pendiri bangsa kita menyebut Indonesia dengan sebutan tanah air. Karena kita tidak akan bisa hidup kecuali berada di atas tanah, dan kita tetap memerlukan air untuk menunjang segala kebutuhan domestik seperti masak, mencuci dan hal lainnya. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Sidang Umum pada 28 Juli 2010 mendeklarasikan bahwa setiap individu berhak memperoleh air. Oleh karenanya, negara memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak tersebut. Atas dasar itu pula, pemerintah harus memastikan bahwa air yang ada di dalam negeri dimanfaatkan untuk sebenar-benarnya kemakmuran rakyat, seperti yang telah dimandatkan oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasal 33 ayat 3.
Sejarah pun membuktikan bahwa peradaban-peradaban besar dunia, biasanya berada di sekitar sungai-sungai, sepeti Peradaban Sungai Niil Mesir, Peradaban Sungai Gangga India, dan lain-lain. Tapi kini kita melihat sungai-sungai sudah sangat tercemari oleh berbagai macam limbah, baik limbah industri maupun limbah-limbah kecil dari tangan tak bertanggung jawab yang seenaknya membuang sampah seperti plastik, bekas botol mineral, dan sampah-sampah lain yang menjadi pandangan menakjubkan dan memilukan, serta tak jarang meninmbulkan semerbak bau yang sungguh amat menusuk hidung.
Hal tersebut sering dijumpai di Kota-kota besar serta kawasan industrialisasi, walaupun kini sebagian wilayah perdesaan pun mulai merangsek berbagai industrialisasi. Kondisi ini mengakibatkan menurunnya kualitas air tanah karena pencemaran yang kian buruk dan berkelanjutan, sehingga menjadikan masyarakat kota mau tidak mau mengkonsumi air dalam kemasaan yang didapat dari wilayah yang memiliki air melimpah.
Tapi tahukan teman-teman sekalian, bagaimana kondisi di sekitaran pabrik air mineral dalam kemasan tersebut ?
Di beberapa area dimana sumber air mulai dikomersialiasikan, warga mulai kesulitan mendapatan air bersih. Di Kecamatan Cidahu dan Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat misalnya. Pada tahun 2009, tercatat, ada 27 perusahaan di area ini yang operasionalnya menggunakan air tanah sehingga mengganggu pemenuhan kebutuhan air rumah tangga warga sekitar.
Berdasarkan hasil penelitian Widarti (1995) yang dikutip dari Laporan Penelitian Amrta Institute mengenai pendapatan dan belanja sektor air, kebutuhan air bersih untuk setiap rumah tangga per tahunnya adalah sebesar 204.6 m³. Merujuk pada data tersebut, total kebutuhan air bersih warga Kecamatan Cidahu per tahunnya adalah 4.519.203 m3. Sementara, total volume air yang diambil oleh sekitar 27 perusahaan yang beroperasi di kecamatan tersebut selama tahun 2006 saja mencapai 5.960.671 m3. Artinya, jumlah volume air yang diambil pihak perusahaan lebih besar daripada jumlah kebutuhan air bersih untuk rumah tangga warga.
Tidak hanya itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Koalisi Rakyat untuk Hak Air (KRuHA) pada tahun 2006, muka air tanah pada sumur gali milik warga di enam desa di Kecamatan Cidahu mulai menurun rata-rata mencapai 5-8 meter. Di Desa Babakanpari misalnya – lokasi pabrik PT. Aqua Golden Mississippi – tinggi muka air sumur sebelum pabrik beroperasi di wilayah itu biasanya mencapai 1-2 meter. Namun kini, tinggi muka air sumur milik warga hanya mencapai maksimal 15 cm. Agar tetap dapat memperoleh air, warga lalu memperdalam kembali sumurnya hingga mencapai 15-17 meter, dari yang sebelumnya 8-10 meter.
Data ini dimuat dalam film Dokumenter yang diunggah oleh Yayasan Tifa (Tifa Foundation) pada 27 Agustus 2013 dengan judul “Air Keruh untuk Rakyat, Air Bersih untuk Industri”. Link : https://www.youtube.com/watch?v=S9zoZKNdEMU
Begitupun, setelah air tersebut dikemas, menimbulkan masalah baru yang tak kalah meresahkan, yakni Dampak Limbah Plastik.
Selain dampak buruk dari air mineral saat produksi, ada dampak buruk baru yang timbul, yakni sampah plastik. Bisa diuraikan demikian :
1 Gelas air dalam kemasan : isi 250 ml : Rp. 500
1 Botol air dalam Kemasan : isi 500 ml : Rp. 3000 – Rp. 5.000
1 Botol air dalam Kemasan : isi 1 Liter / 1000 ml : Rp. 5000 – Rp. 10.000
1 Galon air isi ulang : 19 liter : 19.000 ml : Rp. 5.000 – Rp. 15.000
Tradisi buruk dewasa ini dengan dalih ‘Praktis’ menjadikan kita terbiasa membeli atau mengunakan air dalam kemasan Gelas, Botol Tanggung 600 ml, atau Botol 1 Liter untuk kebutuhan individu maupun kegiatan berkelompok. Jika kita kalkulasikan dengan volume air untuk 1 galon berisi 19 liter, maka akan ditemukan data demikian:
1 Galon : 19.000 ml – 1 Gelas : 250 ml : maka butuh 76 Gelas, harga : Rp. 38.000
1 Galon : 19.000 ml – 1 Botol : 500 ml : maka butuh 38 Botol, harga : RP. 114.000 – Rp. 190.000
1 Galon : 19.000 ml – 1Botol : 1 Liter/ 1000 ml : maka butuh 19 botol : Rp. 95.000 – Rp. 190.000
Jika Hasil dari ketiga tersebut di kurang harga untuk membeli 1 buah Galon, maka akan ditemukan:
Rp. 38.000 – Rp. 15.000 = Rp. 23.000
Rp. 114.000 – Rp. 15.000 = Rp. 99.000
Rp. 95.000 – Rp. 15.000 = Rp. 80.000
Jelaslah, Berapa uang yang kita keluarkan hanya untuk membeli pembungkus yang akhirnya menjadi ‘Sampah’ serta menimbulkan masalah yang berkepanjangan, walau terdapat dalih mampu untuk didaur ulang, namun realitanya menimbulkan dampak berkelanjutan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jenna R. Jambeck dari University of Georgia, pada 2010 ada 275 juta ton sampah plastik yang dihasilkan di seluruh dunia. Sekitar 4,8-12,7 juta to diantaranya terbuang dan mencemari lautan. Indonesia yang yang setiap tahunnya menghasilkan 3,22 juta ton sampah plastik yang tak terkelola dengan baik, berdampak sekitar 0,48-1,29 juta ton sampah plastik yang mencemari lautan. Bahkan data penelitian tersebut mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara dengan jumlah pencemaran sampah plastik ke laut terbesar kedua di dunia.
Tidak berhenti sampai disitu, pencemaran akan bisa terus meningkat. Saat ini, industri-industri minuman di Indonesia merupakan sektor yang paling pesar pertumbuhannya. Pada kuartil I-2019, pertumbuhan Industri minuman mencapai 24,2% secara tahunan.
Pertumbuhan industri minuman yang sangat pesat tentu saja akan menghasilkan pertumbuhan jumlah sampah plastik yang semakin banyak. Terlebih saat ini kapasitas pengelolaan limbah plastik masih terbilang minim. Hal ini merupakan ancaman keberlanjutan terhadap kehidupan umat manusia.
Ada satu hal menarik pendapat seorang teman, bahwa mereka yang membuang sampah sembarang akan mendapat dosa jariyah. Loh kok bisa ? Contoh kamu buang satu botol plastik sembarang sudah dosa, kemudian plastik itu hanyut ke kali/sungai maka dosa lagi, lalu membuat kali tercemar maka dosa lagi, kemdian membuat kali tersendat maka dosa kali, hingga air kali keruh dan bau maka dosa lagi, lantas menimbulkan banyak penyakit maka dosa lagi. Oh Tuhan Ampuni seluruh hambamu ini atas dosa jariyah tersebut.
Satu hal lagi kawan, aku berfikir setelah kita tahu bahwa proses pembuatan air mineral dalam kemasan menimbulkan dampak buruk bagi warga sekitar pabrik. Maka aku ragu saat ada air mineral dalam kemasan yang kemudian didoa’kan, apakah doa’ tersebut terqobulkan atau tidak ? karena air tersebut tersebut mengandung doa’ orang-orang yang terzdolimi karena sumber air dicuri oleh perusahaan. Wa Allahu A’lam !.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar