Rabu, 13 November 2019
Pilkades dan Spirit Dana Desa
Kredit foto: radar mojoMojok
Penulis: Iswan Taufik
Seperti biasanya, selama 1 periode dalam jangka waktu 5 tahun terakhir akan digelar lagi tradisi pemilihan pemimpin di tingkat desa atau biasa kita sebut "Pilkades" (Pemilihan kepala desa).
Namun didalam kontestasi kali ini, tampaknya telah terjadi perubahan yang lebih signifikan, karena perekrutan calon kandidat terlihat lebih ketat dengan segala peraturan-peraturan dan perolehan skor yang telah di keluarkan oleh Perbup/Pemda (Pemerintah kabupaten atau Pemerintah Daerah) aturan tersebut diantaranya :
1.Pengalaman di Lembaga Pemerintahan
2.Jenjang Pendidikan
3.Kategori Usia
4.Penduduk Intern desa/ekstern desa
Peraturan tersebut dikeluarkan dalam rangka pendisiplinan calon kandidat serta menjadi sarana agar calon pemimpin yang termasuk kedalam penjaringan kepanitiaan pilkades tidak bersifat kontradiktif antara kemauan memimpin dan kapasitas untuk menjadi seorang Pemimpin. Sehingga, syarat-syarat yang telah diupayakan tersebut dipandang perlu untuk diberlakukan, terlepas dari kelebihan serta kekurangannya.
Pada masa kepemimpinan Soekarno tepatnya pada pasca kemerdekaan Republik indonesia. Sebagaimana kita ketahui, catatan sejarah mengatakan Indonesia belum menempuh kedaulatan seutuhnya. Demi mengemban amanat kemerdekaan, mau tidak mau Soekarno harus menyembuhkan luka yang diderita oleh bangsa Indonesia khususnya pengentasan kemiskinan mulai dari sektor terkecil. Misalkan yang melatar belakangi terjadinya penjajahan yaitu alat produksi (tanah) yang terbentang luas mulai dari sabang sampai merauke. Didalam buku hasil riset tokoh revolusioner D. N. Aidit yang berjudul "Mengganjang tujuh setan desa" terdapat catatan bahwasannya kepala desa pada masa itu khususnya di wilayah jawa barat, nyaris semua mempunyai jatah atas tanah yang bersifat eigendom (tanah peninggalan sisa belanda) . Studi kasus yang dapat diambil misalkan, penduduk desa yang berjumlah 3.000 penduduk maka Kepala desa mendapatkan tanah 40% dari jumlah tanah yang dimiliki warga di desa setempat. Padahal, Pemerintan kala itu sudah mengeluarkan UUPA (undang-undang pokok agraria) dan UUPBH (undang-undang pokok bagi hasil) dalam rangka terwujudnya pendistribusian ulang lahan pertanian atas prakasarsa atau dukungan pemerintah atau yang biasa disebut "Reforma Agraria".Walaupun agenda Reforma Agraria tersebut sudah tersebar luas, akan tetapi banyak sekali yang masih melanggar secara diam-diam atau bahkan menentang kebijakan yang ada. Utamanya kelompok borjuis atau tuan tanah yang telah menjalin hubungan gelap dengan kapitalis birokrat dan pemerintah desa. Kepala desa, borjuasi serta kapitalis birokrat yang menentang kebijakan itu, didalam benaknya tentu tidak lain hanyalah untuk melindungi harta kekayaaan mereka atas akumulasi tanah yang telah ada.
Pasca kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2014 terjadi perombakan kebijakan dari tingkat nasional sampai pedesaan khususnya dana desa dan anggaran dana desa. Di era pemerintahan SBY untuk dana desa mempunyai dianggarkan 60 juta pertahun, akan tetapi di garis estafet kepemimpinan Presiden Jokowi menjadi 1,8 M pertahun. Secara kuantitatif, terobosan dana yang telah dikucurkan kedesa itu bukanlah hal yang sedikit sehingga memerlukan pengawasan yang cukup jeli untuk dana tersebut agar bisa dipergunakan secara produktif oleh Pengelolanya yakni Kepala Desa. Selain itu, watak kebijakan pembangunan Soeharto yang berdampak luas serta berlangsung sampai hari ini. Persoalan dana desa pun masih menganut watak orde baru yaitu bagaimana Pembangunan infrastruktur dan pembangunan sumber daya manusia bisa seimbang. Tentu hal ini bukanlah hal yang mudah, apalagi paradigma masyarakat juga masih terkesan stagnan tentang idealnya sosok pemimpin yang di idamkan. Faktanya tidak jarang penilaian masyarakat tentang pemimpin yang baik itu diimajinasikan sosok pemimpin yang mampu menyulap jalan terjal menjadi jalan aspal, ladang dan tanaman jagung menjadi gedung-gedung. Padahal di era yang serba keterbukaan ini masyarakat tidak hanya membutuhkan pembangunan secara fisik, akan tetapi bagaimana agar masyarakat mampu dibangun secara peningkatan kualitas sumber daya manusia. Jika paradigma tersebut terus-terusan dilanjutkan, bukan tidak mungkin dana desa yang telah dikucurkan pemerintah hanya akan mempersempit ruang gerak pedesaan dengan segala mitos pembangunan yang ada.
Kami tidak hanya butuh pemimpin yang hanya bermental beton (aspal), akan tetapi yang kami butuhkan pemimpin yang mampu mengayomi dan mengarahkan rakyatnya untuk mencapai kesadaran. Kesadaran kegotong-royongan, kesadaran politik, serta kesadaran untuk menjadi manusia seutuhnya yang tidak hanya menghamba pada prestise gedung pencakar langit.
Kedepannya, semoga calon-calon kandidat yang sudah punya tiket di kontestasi Pilkades pada periode 2019-2024 tidak hanya menampakkan arogansinya terhadap kucuran dana desa dan anggaran dana desa yang telah disediakan. Semoga persyaratan-persyaratan baru yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten guna menyambut pesta demokrasi yang akan diselenggarakan di tingkat desa mampu menghantarkan sosok pemimpin dengan kredibilitas yang tinggi, serta kapasitas dan pemahaman yang cukup untuk membangun desa yang lebih makmur dan sejahtera. Selaras dengan cita-cita Pemerintah yang telah mengeluarkan kucuran dana miliyaran rupiah untuk disuplai pada pemerintahan ditingkat desa. Desa bukanlah milik individu atau perseorangan, melainkan milik kita bersama dan Bangsa Indonesia. Maka yang paling diperlukan ialah sinergi antara pemangku kebijakan dengan rakyatnya agar dapat menempuh keadilan dan kesejahteraan sosial sebagaimana yang telah tertuang didalam teks Pancasila.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar