Penulis:Dewi Indasyah
TULISAN ini bertujuan untuk memberi
perspektif atau cara pandang yang berbeda tentang apa yang
menyebabkan kenapa ada banyak orang yang tingkat penguasaan bahasa Inggris nya
sangat rendah tetapi lancar dalam berbahasa Inggris. Selain itu, artikel ini mencoba menjelaskan banyak
orang paham apa yang orang lain sampaikan dalam bahasa inggris, tetapi
cenderung kesulitan untuk menjawab ataupun merespon dengan menggunakan bahasa Inggris.
Termasuk kenapa ada orang yang nilai bahasa Inggris nya bagus atau tidak jelek-
jelek banget karena buktinya bisa lulus Ujian Akhir Nasional (UAN) yang
mencakup pelajaran bahasa Inggris, namun ketika diajak bercakap – cakap dalam
bahasa Inggris cenderung tergagap- gagap bahkan gagal dalam mengutarakan apa
yang akan dia sampaikan?
Level Bahasa Inggris Rendah Tidak Ada Hubungannya dengan
Kesulitan dalam Komunikasi.
Kalau persepsi umumnya adalah
saat seseorang paham dan hafal kosakata, struktur bahasa, pengucapan, intonasi,
dan lain sebagainya,orang tersebut akan lancar dalam berbahasa Inggris. Apabila
apa yang selama ini diyakini adalah benar, lalu mengapakah ada banyak orang
yang sangat lancar dalam berbicara bahasa Inggris padahal secara tingkat
penguasaan atau level bahasanya sangat rendah? Kalau menurut keyakinan tersebut
semestinya orang yang level bahasa Inggris nya rendah juga kesulitan dalam
menggunakan bahasa Inggris dalam berkomunikasi. Mengapa ini bisa terjadi?
Suatu hari saya menyaksikan keynote speaker yang disampaikan Marianna Pascal dalam suatu acara
yang membahas tentang mengapa anda seharusnya berbicara bahasa Inggris seperti
bermain video games. Dalam penyampaiannya, Marianna menemukan kesamaan antara
apa yang yang dialami putrinya saat berlatih memainkan piano dengan pembelajar
bahasa Inggris. Putri dari Marianna saat berlatih piano merasa ketakutan untuk
melakukan kesalahan, merasa depresi serta malas berlatih dan pergi les piano karena
anaknya menyadari bahwa levelnya sangat rendah dibanding level yang diidam -
idamkan yang itu berarti perlu proses yang panjang nan melelahkan untuk bisa
mencapai apa yang disebut “permainan piano yang bagus yang dia idealkan, anaknya
merasa takut membuat kesalahan karena menurut anggapan anaknya dan guru
pianonya, kesuksesan seseorang diukur dari seberapa sedikit dia melakukan
kesalahan dalam memainkan sebuah nada.
Ini adalah tentang self image atau
citra diri.yaitu cara pandang seseorang mengenai dirinya. Lalu Marianna menceritakan pejumpaannya dengan peserta yang ia
latih bernama Faisal, seorang supervisor di Malaysia. Faisal bisa sangat lancar
berbahasa Inggris walau dengan menggunakan kemampuan penguasaan bahasa
Inggrisnya yang rendah. Faisal sangat percaya diri, mampu menjawab pertanyaan
maupun merespon dengan baik dengan menggunakan bahasa Inggris.
Marianna juga heran pada suatu saat ketika di Malaysia, dia
bertemu dengan karyawan di apotek yang level bahasa Inggrisnya sangat tinggi
dengan menggunakan baju layaknya seorang profesional yang sedang menjawab
tentang obat yang sedang dicari Marianna. Namun sebelum menjawab apa yang
ditanyakan Marianna, sang karyawan tersebut memperlihatkan raut ekspresi
ketakutan atau grogi karena akan berbicara dengan native speaker atau pembicara asli. Kemudian sang karyawan berbicara
sangat cepat dan menjelaskan apa yang diperlukannya secara panjang lebar. Namun
Marianna merasa tidak memahami apa yang disampaikan karyawan tersebut. Akan tetapi saat dia beralih ke apotik lain
yang karyawannya mempunyai level bahasa inggris yang rendah, malah Marianna
paham apa yang disampaikan karyawan di apotek tersebut. Rupa – rupanya sang
karyawan itu tidak ada rasa takut, malah menatap Marianna dengan rasa percaya
diri dan santai, walau menggunakan kosakata seadanya.
Lalu Marianna, yang juga seorang pemenang penghargaan sebagai
pembicara dan penulis, berpikir: mengapa ini bisa terjadi? Beberapa saat
berselang, akhirnya dia mendapat jawaban secara tidak disengaja. Kemudian suatu
ketika dia pergi ke warung internet di Malaysia karena komputernya rusak dan
dia harus mengerjakan sesuatu menggunakan computer. Dia mendapati ada seorang
pemain video game yang tidak handal dalam bermain atau pemain video game yang
buruk tetapi sangat fokus pada target yang ada dalam permainannya bahkan sangat
percaya diri, bersemangat, berbahagia, dan tidak merasa minder walau ada dua
orang teman sebayanya ikut melihat permainannya.
Lalu apa hubungannya dengan kemampuan seseorang berbahasa
Inggris? Marianna menggambarkan contoh nyata bagaimana kebanyakan orang yang
berbicara bahasa Inggris hanya berfokus pada diri sendiri untuk bagaimana terlihat
seperti pembicara yang bagus, sibuk dengan menggunakan struktur bahasa dan
pengucapan bahasa Inggris yang benar, tanpa menaruh perhatian pada orang yang
diajaknya berkomunikasi dan hasil atau maksud apa yang ingin dia capai.
Apa yang diungkapkan Marianna membantu kita memahami
bagaimana sebagai seorang non – native speaker atau bukan pembicara asli dalam
berbicara dalam bahasa Inggris, bukan persoalan tentang level atau tingkat
penguasaan bahasa Inggris. Apa yang dialami putrinya Marianna adalah gambaran
nyata dari pembelajar yang ingin berbicara bahasa Inggris hari ini, yaitu
merasa takut kalau berbuat salah, merasa depresi sebab beranggapan bahwa
kemampuan dalam bahasa Inggrisnya akan dianggap baik bila dia melakukan
kesalahan yang sedikit serta kesadaran pribadi bahwa jarak level bahasa Inggris
yang dia kuasai sangat jauh dibanding dengan level bahasa Inggris yang
diinginkan atau dicita - citakan. Bahwa ternyata attitude atau prilaku dan
citra diri sangat berpengaruh dalam bagaimana seseorang berbahasa, bukan hanya
level bahasa Inggrisnya yang tinggi saja. Terbukti saat dia bertemu dengan karyawan yang berbahasa inggrisnya rendah yang
menggunakan kosakata seadanya tapi dia justru lebih memahami apa yang
disampaikan karyawan tersebut, dibanding dengan karyawan di apotek sebelah yang
tinggi dalam level penguasaan bahasa Inggrisnya. Tanda kesuksesan dalam
berkomunikasi adalah adanya pemahaman terhadap apa yang orang lain sampaikan and
mampu meresponnya dengan efektif. Lalu apakah kesulitan dalam berkomunikasi
dalam bahasa Inggris ada hubungannya dengan pembelajaran bahasa Inggris di
sekolah – sekolah? mari kita simak uraian selanjutnya.
Pembelajaran
bahasa Inggris di sekolah.
Saya teringat saat menjadi peserta didik di salah satu
sekolah menengah. Saya pernah punya pengalaman menarik terkait pelajaran bahasa
Inggris. Pada suatu ketika saya mengikuti kelas, saya diintruksikan untuk
membuat kalimat dalam bahasa Inggris dalam passive
voice atau kalimat pasif. Setelah saya mengerjakan dan memastikan bahwa apa
yang saya kerjakan adalah benar sesuai rumus kalimat pasif, lalu penulis
menyerahkannya kepada pendidik untuk dikoreksi dan dinilai. Saya merasa sangat
percaya diri dengan tugas yang sudah saya kerjakan tadi. Lalu tiba – tiba ada teman yang memberitahu bahwa saya mendapat nilai nol. Saya terheran dan
terhenyak merasa ada yang aneh. Lalu saya mencocokkan kembali tugas saya
tersebut dengan rumus yang ada. Ternyata tidak ada yang salah bila dikaitkan
dengan rumus. Mengapa saya dapat nilai nol? Teman saya yang juga heran, mencoba
bertanya pada pendidik kelas bahasa Inggris tersebut. Ternyata beliau menjawab
bahwa saya tidak menaruh tanda titik dalam semua kalimat saya. Beliau
berargumen bahwa sebuah kalimat itu bisa disebut kalimat apabila dia diakhiri
dengan tanda titik. Dan benar bahwa dari angka satu sampai sepuluh dari daftar
kalimat yang saya buat, memang tidak mencantumkan tanda titik. Ya sudah
akhirnya saya pasrah membawa nilai nol itu ke rumah.
Bisa dibayangkan ada berapa banyak peserta didik yang
sebenarnya dia paham akan maksud suatu teks tetapi gara – gara dia terlewat
satu huruf, dia dianggap salah. Sekolah menilai kemampuan bahasa Inggris seorang
anak dengan ukuran benar atau salah maupun jelas atau tidak jelas. Apa yang disampaikan Marianna pada akhir sesi
penyampaiannya juga menurut saya sangan cocok untuk menjawab mengapa nilai
bahasa Inggris seseorang bisa jadi sangat bagus namun saat berbicara bahasa
Inggris gagal dalam mengutarakan apa yang akan disampaikannya. Konsep yang
diajarkan di sekolah tentang bahasa Inggris yang dinilai berdasarkan benar atau
salah, jelas atau tidak jelas tersebut dibawa sang anak dalam kehidupan
nyatanya baik saat dia nanti bekerja maupun berinteraksi dengan orang lain.
Sekolah mengajarkan
bahasa Inggris sebagai pelajaran yang perlu dikuasai, bukan bahasa Inggris
sebagi alat komunikasi. Sebagai akibatnya, anak tersebut kesusahan untuk berkomunikasi
dalam bahasa Inggris. Penjelasannya begini: masih menurut Marianna, saat
seseorang sedang dalam keadaan tertekan karena otaknya bekerja untuk dua hal
(1)menyusun kata – kata dalam bahasa Inggris, mengingat – ingat bagaimana cara
pelafalan kosa katanya, dan aspek - aspek gramatikal lainnya;(2) menyampaikan
secara benar apa yang akan disampaikan dengan menggunakan bahasa Inggris
sehingga orang yang kita ajak bicara paham, otak akan kalau dalam bahasa
Marianna “shut down” atau berhenti
bekerja. Tanda otak yang berhenti bekerja adalah: a) kalau ada orang berbicara,
dia akan terus hanya bisa mendengarkan tanpa ada kata- kata yang bisa keluar
dari mulutnya walau dia berusaha berbicara dengan baik, (b) Karena otak sangat
sibuk berpikir bagaimana berbicara dengan susunan kata – kata yang bagus,
seseorang akan gagal dalam berfokus terhadap apa yang orang lain bicarakan
karena terlalu berfokus pada dirinya sendiri untuk bagaimana terlihat benar dalam berbicara bahasa Inggris.(c)Adalah
tidak apa- apa apabila seseorang tidak percaya diri karena tidak bisa
mengekspresikan apa yang menjadi maksudnya, namun sering kali orang memandang ketidakpercayaan
diri ini sebagai kegagalan dalam tugas seseorang terkait penampilan dalam
menyampaikan sesuatu.
Dalam kehidupan nyata, kita sebagi manusia pertama kali
belajar bahasa bukan dengan menghafal aspek gramatikalnya, tetapi langsung pada
praktek bagaimana kalimat tersebut disampaikan seperti yang ada dalam riset Fernandes Arung(2015). Anak belajar bahasa pertama kali dari orang tuanya misalnya berkata thank you dan lain sebagainya. Coba dibayangkan, pasti akan sangat sulit ketika
seorang anak belajar bahasa inggris tetapi yang dia ketahui hanya per kata, dia
akan gagal memahami ketika ada frasa atau kalimat yang ketika diartikan secara
gramatikal per kata.
Lalu untuk apa sebenarnya kita belajar bahasa Inggris? Memang
sangat penting untuk mempelajari aspek – aspek gramatikal seperti pengucapan(pronounciation), kosa kata(vocabulary), struktur kalimat (structure),dan lain sebagainya, tetapi
tanpa keberanian berkomunikasi dalam bahasa Inggris, kita dan anak – anak kita
juga tidak akan kemana – mana karena tidak bisa mengekspresikan apa yang dia
pikirkan. Padahal, dalam lini kehidupan, untuk seseorang menjadi maju salah
satu kuncinya dalah keberanian untuk berkomunikasi entah melalui lisan atau orally maupun secara tertulis atau written.
Dalam bahasa sangatlah jelas bahwa ada aspek kemampuan
aktif dan aspek kemampuan pasif seperti yang disampaikan Naushad Husein(2015). Aspek kemampuan pasif menyangkut mendengarkan
dan membaca,sedangkan aspek kemampuan aktif adalah berbicara dan menulis.
Kemampuan aktif maupun pasif ini seharusnya diajarkan secara seimbang. Memang
lebih mudah menekankan atau menilai seorang anak dari aspek hapalan sehingga
kita tinggal menilai ini benar atau salah, jelas atu tidak jelas, akan tetapi
dalam hidup ini apa gunanya kemampuan menghafal itu? Memang mengajarkan
kemampuan aktif itu butuh proses yang panjang dan melelahkan, akan tetapi
bukankah belajar sendiri adalah proses?mengapakah kita sangat terburu – buru untuk
menilai seseorang berhak mendapat nilai sempurna ataupun nilai buruk?
Saya sangat yakin
bila Faisal tadi dites dengan sistem sekolah kita, dia akan mendapatkan nilai
buruk karena penguasaan bahasanya rendah. Padahal rasa percaya diri Faisal
dalam berbicara bahasa Inggris juga tidak dipunyai banyak orang. Mungkin akan
lebih mudah bagi seorang guru ntuk mengajarkan agar tingkatan penguasaan bahasa
seorang anak meningkat saat sang anak mempunyai rasa percara diri dan tidak
takut bila melakukan kesalahan karena kesalahan kan bisa diperbaiki segera, akan
tetapi mind set atau pola pikir yang
cenderung tertanam dalam benak sang anak tentang penilaian itu berdasarkan benar
atau salah, jelas atu tidak jelas, akan sangat menghambat untuk kemampuan
berkomunikasinya ke depan dan akan lebih lama prosesnya karena butuh membentuk
pola pikir dan kepercayaan dirinya dahulu.
Terkadang orang takut ditertawakan karena aksen bahasa
Inggrisnya terpengaruh logat bahasa daerahnya. Sebenarnya ini bukan masalah.
Coba sejenak carilah video pembicara dari negara lain seperti Thailand, Jepang,
Spanyol, Korea, dan sebagainya. Saya juga jadi ingat teman saya yang ikut program pertukaran pelajar. Saat dia pulang, saya tanya, bagaimana temanmu pengucapan bahasa inggrisnya bisa ndak kamu pahami?saya bertanya begitu karena ada beberapa peserta program itu yang memang sulit dimengerti pelafalan bahasa Inggrisnya. Ternyata dia juga menjawab iya susah banget, bahkan temanku Thailand bila menyebut nama saya "anami" padahal sudah saya ajari bahwa nama saya pengucapannya Hanafi, bukan "anami". Saya ikut ketawa saja mendengarnya sambil bergurau: namamu kok jadi kayak orang Jepang begitu ya kalau dia yang mengucapakan. Alhasil, kami tertawa bersama. Mereka yang dari negara lain juga ndak bisa melafalkan aksen – aksen tertentu
dalam bahasa Inggris, tetapi mereka mendirikan bisnis,kuliah, kursus, meneliti ataupun melancong kemana
- mana. Jadi mengapakah kita tidak percaya diri?(admin/dewi)
https://www.asiaspeakers.org/members/marianna-pascal
https://www.researchgate.net/publication/274310952_Language_and_Language_Skills
https://www.researchgate.net/publication/282504466_Language_Acquisition_and_Learning_of_Children_-_A_Mini_Project_on_Second_Language_Acquisition
https://www.researchgate.net/publication/282504466_Language_Acquisition_and_Learning_of_Children_-_A_Mini_Project_on_Second_Language_Acquisition



Tidak ada komentar:
Posting Komentar