Kamis, 23 Agustus 2018

LANCAR BERBAHASA INGGRIS WALAU NILAIMU JELEK





Penulis:Dewi Indasyah
TULISAN ini bertujuan untuk memberi perspektif atau cara pandang yang berbeda tentang apa yang menyebabkan kenapa ada banyak orang yang tingkat penguasaan bahasa Inggris nya sangat rendah tetapi lancar dalam berbahasa Inggris. Selain itu, artikel ini mencoba menjelaskan banyak orang paham apa yang orang lain sampaikan dalam bahasa inggris, tetapi cenderung kesulitan untuk menjawab ataupun merespon dengan menggunakan bahasa Inggris. Termasuk kenapa ada orang yang nilai bahasa Inggris nya bagus atau tidak jelek- jelek banget karena buktinya bisa lulus Ujian Akhir Nasional (UAN) yang mencakup pelajaran bahasa Inggris, namun ketika diajak bercakap – cakap dalam bahasa Inggris cenderung tergagap- gagap bahkan gagal dalam mengutarakan apa yang akan dia sampaikan? 

Level Bahasa Inggris Rendah Tidak Ada Hubungannya dengan Kesulitan dalam Komunikasi.
Kalau persepsi umumnya adalah saat seseorang paham dan hafal kosakata, struktur bahasa, pengucapan, intonasi, dan lain sebagainya,orang tersebut akan lancar dalam berbahasa Inggris. Apabila apa yang selama ini diyakini adalah benar, lalu mengapakah ada banyak orang yang sangat lancar dalam berbicara bahasa Inggris padahal secara tingkat penguasaan atau level bahasanya sangat rendah? Kalau menurut keyakinan tersebut semestinya orang yang level bahasa Inggris nya rendah juga kesulitan dalam menggunakan bahasa Inggris dalam berkomunikasi. Mengapa ini bisa terjadi?

Suatu hari saya menyaksikan keynote speaker yang disampaikan Marianna Pascal dalam suatu acara yang membahas tentang mengapa anda seharusnya berbicara bahasa Inggris seperti bermain video games. Dalam penyampaiannya, Marianna menemukan kesamaan antara apa yang yang dialami putrinya saat berlatih memainkan piano dengan pembelajar bahasa Inggris. Putri dari Marianna saat berlatih piano merasa ketakutan untuk melakukan kesalahan, merasa depresi serta malas berlatih dan pergi les piano karena anaknya menyadari bahwa levelnya sangat rendah dibanding level yang diidam - idamkan yang itu berarti perlu proses yang panjang nan melelahkan untuk bisa mencapai apa yang disebut “permainan piano yang bagus yang dia idealkan, anaknya merasa takut membuat kesalahan karena menurut anggapan anaknya dan guru pianonya, kesuksesan seseorang diukur dari seberapa sedikit dia melakukan kesalahan dalam memainkan sebuah nada.  Ini adalah tentang self image atau citra diri.yaitu cara pandang seseorang mengenai dirinya. Lalu Marianna menceritakan pejumpaannya dengan peserta yang ia latih bernama Faisal, seorang supervisor di Malaysia. Faisal bisa sangat lancar berbahasa Inggris walau dengan menggunakan kemampuan penguasaan bahasa Inggrisnya yang rendah. Faisal sangat percaya diri, mampu menjawab pertanyaan maupun merespon dengan baik dengan menggunakan bahasa Inggris.

Marianna juga heran pada suatu saat ketika di Malaysia, dia bertemu dengan karyawan di apotek yang level bahasa Inggrisnya sangat tinggi dengan menggunakan baju layaknya seorang profesional yang sedang menjawab tentang obat yang sedang dicari Marianna. Namun sebelum menjawab apa yang ditanyakan Marianna, sang karyawan tersebut memperlihatkan raut ekspresi ketakutan atau grogi karena akan berbicara dengan native speaker atau pembicara asli. Kemudian sang karyawan berbicara sangat cepat dan menjelaskan apa yang diperlukannya secara panjang lebar. Namun Marianna merasa tidak memahami apa yang disampaikan karyawan tersebut.  Akan tetapi saat dia beralih ke apotik lain yang karyawannya mempunyai level bahasa inggris yang rendah, malah Marianna paham apa yang disampaikan karyawan di apotek tersebut. Rupa – rupanya sang karyawan itu tidak ada rasa takut, malah menatap Marianna dengan rasa percaya diri dan santai, walau menggunakan kosakata seadanya.

Lalu Marianna, yang juga seorang pemenang penghargaan sebagai pembicara dan penulis, berpikir: mengapa ini bisa terjadi? Beberapa saat berselang, akhirnya dia mendapat jawaban secara tidak disengaja. Kemudian suatu ketika dia pergi ke warung internet di Malaysia karena komputernya rusak dan dia harus mengerjakan sesuatu menggunakan computer. Dia mendapati ada seorang pemain video game yang tidak handal dalam bermain atau pemain video game yang buruk tetapi sangat fokus pada target yang ada dalam permainannya bahkan sangat percaya diri, bersemangat, berbahagia, dan tidak merasa minder walau ada dua orang teman sebayanya ikut melihat permainannya.


Lalu apa hubungannya dengan kemampuan seseorang berbahasa Inggris? Marianna menggambarkan contoh nyata bagaimana kebanyakan orang yang berbicara bahasa Inggris hanya berfokus pada diri sendiri untuk bagaimana terlihat seperti pembicara yang bagus, sibuk dengan menggunakan struktur bahasa dan pengucapan bahasa Inggris yang benar, tanpa menaruh perhatian pada orang yang diajaknya berkomunikasi dan hasil atau maksud apa yang ingin dia capai.
Apa yang diungkapkan Marianna membantu kita memahami bagaimana sebagai seorang non – native speaker atau bukan pembicara asli dalam berbicara dalam bahasa Inggris, bukan persoalan tentang level atau tingkat penguasaan bahasa Inggris. Apa yang dialami putrinya Marianna adalah gambaran nyata dari pembelajar yang ingin berbicara bahasa Inggris hari ini, yaitu merasa takut kalau berbuat salah, merasa depresi sebab beranggapan bahwa kemampuan dalam bahasa Inggrisnya akan dianggap baik bila dia melakukan kesalahan yang sedikit serta kesadaran pribadi bahwa jarak level bahasa Inggris yang dia kuasai sangat jauh dibanding dengan level bahasa Inggris yang diinginkan atau dicita - citakan. Bahwa ternyata attitude atau prilaku dan citra diri sangat berpengaruh dalam bagaimana seseorang berbahasa, bukan hanya level bahasa Inggrisnya yang tinggi saja. Terbukti saat dia bertemu dengan  karyawan yang berbahasa inggrisnya rendah yang menggunakan kosakata seadanya tapi dia justru lebih memahami apa yang disampaikan karyawan tersebut, dibanding dengan karyawan di apotek sebelah yang tinggi dalam level penguasaan bahasa Inggrisnya. Tanda kesuksesan dalam berkomunikasi adalah adanya pemahaman terhadap apa yang orang lain sampaikan and mampu meresponnya dengan efektif. Lalu apakah kesulitan dalam berkomunikasi dalam bahasa Inggris ada hubungannya dengan pembelajaran bahasa Inggris di sekolah – sekolah? mari kita simak uraian selanjutnya.

Pembelajaran bahasa Inggris di sekolah.
Saya teringat saat menjadi peserta didik di salah satu sekolah menengah. Saya pernah punya pengalaman menarik terkait pelajaran bahasa Inggris. Pada suatu ketika saya mengikuti kelas, saya diintruksikan untuk membuat kalimat dalam bahasa Inggris dalam passive voice atau kalimat pasif. Setelah saya mengerjakan dan memastikan bahwa apa yang saya kerjakan adalah benar sesuai rumus kalimat pasif, lalu penulis menyerahkannya kepada pendidik untuk dikoreksi dan dinilai. Saya merasa sangat percaya diri dengan tugas yang sudah saya kerjakan tadi. Lalu tiba – tiba ada teman yang memberitahu bahwa saya mendapat nilai nol. Saya terheran dan terhenyak merasa ada yang aneh. Lalu saya mencocokkan kembali tugas saya tersebut dengan rumus yang ada. Ternyata tidak ada yang salah bila dikaitkan dengan rumus. Mengapa saya dapat nilai nol? Teman saya yang juga heran, mencoba bertanya pada pendidik kelas bahasa Inggris tersebut. Ternyata beliau menjawab bahwa saya tidak menaruh tanda titik dalam semua kalimat saya. Beliau berargumen bahwa sebuah kalimat itu bisa disebut kalimat apabila dia diakhiri dengan tanda titik. Dan benar bahwa dari angka satu sampai sepuluh dari daftar kalimat yang saya buat, memang tidak mencantumkan tanda titik. Ya sudah akhirnya saya pasrah membawa nilai nol itu ke rumah.

Bisa dibayangkan ada berapa banyak peserta didik yang sebenarnya dia paham akan maksud suatu teks tetapi gara – gara dia terlewat satu huruf, dia dianggap salah. Sekolah menilai kemampuan bahasa Inggris seorang anak dengan ukuran benar atau salah maupun jelas atau tidak jelas.  Apa yang disampaikan Marianna pada akhir sesi penyampaiannya juga menurut saya sangan cocok untuk menjawab mengapa nilai bahasa Inggris seseorang bisa jadi sangat bagus namun saat berbicara bahasa Inggris gagal dalam mengutarakan apa yang akan disampaikannya. Konsep yang diajarkan di sekolah tentang bahasa Inggris yang dinilai berdasarkan benar atau salah, jelas atau tidak jelas tersebut dibawa sang anak dalam kehidupan nyatanya baik saat dia nanti bekerja maupun berinteraksi dengan orang lain.

 Sekolah mengajarkan bahasa Inggris sebagai pelajaran yang perlu dikuasai, bukan bahasa Inggris sebagi alat komunikasi. Sebagai akibatnya, anak tersebut kesusahan untuk berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Penjelasannya begini: masih menurut Marianna, saat seseorang sedang dalam keadaan tertekan karena otaknya bekerja untuk dua hal (1)menyusun kata – kata dalam bahasa Inggris, mengingat – ingat bagaimana cara pelafalan kosa katanya, dan aspek - aspek gramatikal lainnya;(2) menyampaikan secara benar apa yang akan disampaikan dengan menggunakan bahasa Inggris sehingga orang yang kita ajak bicara paham, otak akan kalau dalam bahasa Marianna “shut down”  atau berhenti bekerja. Tanda otak yang berhenti bekerja adalah: a) kalau ada orang berbicara, dia akan terus hanya bisa mendengarkan tanpa ada kata- kata yang bisa keluar dari mulutnya walau dia berusaha berbicara dengan baik, (b) Karena otak sangat sibuk berpikir bagaimana berbicara dengan susunan kata – kata yang bagus, seseorang akan gagal dalam berfokus terhadap apa yang orang lain bicarakan karena terlalu berfokus pada dirinya sendiri untuk bagaimana terlihat  benar dalam berbicara bahasa Inggris.(c)Adalah tidak apa- apa apabila seseorang tidak percaya diri karena tidak bisa mengekspresikan apa yang menjadi maksudnya, namun sering kali orang memandang ketidakpercayaan diri ini sebagai kegagalan dalam tugas seseorang terkait penampilan dalam menyampaikan sesuatu.

Dalam kehidupan nyata, kita sebagi manusia pertama kali belajar bahasa bukan dengan menghafal aspek gramatikalnya, tetapi langsung pada praktek bagaimana kalimat tersebut disampaikan seperti yang ada dalam riset Fernandes Arung(2015). Anak belajar bahasa pertama kali dari orang tuanya misalnya berkata thank you dan lain sebagainya. Coba dibayangkan, pasti akan sangat sulit ketika seorang anak belajar bahasa inggris tetapi yang dia ketahui hanya per kata, dia akan gagal memahami ketika ada frasa atau kalimat yang ketika diartikan secara gramatikal per kata.

Lalu untuk apa sebenarnya kita belajar bahasa Inggris? Memang sangat penting untuk mempelajari aspek – aspek gramatikal seperti pengucapan(pronounciation), kosa kata(vocabulary), struktur kalimat (structure),dan lain sebagainya, tetapi tanpa keberanian berkomunikasi dalam bahasa Inggris, kita dan anak – anak kita juga tidak akan kemana – mana karena tidak bisa mengekspresikan apa yang dia pikirkan. Padahal, dalam lini kehidupan, untuk seseorang menjadi maju salah satu kuncinya dalah keberanian untuk berkomunikasi entah melalui lisan atau orally maupun secara tertulis atau written.

Dalam bahasa sangatlah jelas bahwa ada aspek kemampuan aktif dan aspek kemampuan pasif seperti yang disampaikan Naushad Husein(2015). Aspek kemampuan pasif menyangkut mendengarkan dan membaca,sedangkan aspek kemampuan aktif adalah berbicara dan menulis. Kemampuan aktif maupun pasif ini seharusnya diajarkan secara seimbang. Memang lebih mudah menekankan atau menilai seorang anak dari aspek hapalan sehingga kita tinggal menilai ini benar atau salah, jelas atu tidak jelas, akan tetapi dalam hidup ini apa gunanya kemampuan menghafal itu? Memang mengajarkan kemampuan aktif itu butuh proses yang panjang dan melelahkan, akan tetapi bukankah belajar sendiri adalah proses?mengapakah kita sangat terburu – buru untuk menilai seseorang berhak mendapat nilai sempurna ataupun nilai buruk?

 Saya sangat yakin bila Faisal tadi dites dengan sistem sekolah kita, dia akan mendapatkan nilai buruk karena penguasaan bahasanya rendah. Padahal rasa percaya diri Faisal dalam berbicara bahasa Inggris juga tidak dipunyai banyak orang. Mungkin akan lebih mudah bagi seorang guru ntuk mengajarkan agar tingkatan penguasaan bahasa seorang anak meningkat saat sang anak mempunyai rasa percara diri dan tidak takut bila melakukan kesalahan karena kesalahan kan bisa diperbaiki segera, akan tetapi mind set atau pola pikir yang cenderung tertanam dalam benak sang anak tentang penilaian itu berdasarkan benar atau salah, jelas atu tidak jelas, akan sangat menghambat untuk kemampuan berkomunikasinya ke depan dan akan lebih lama prosesnya karena butuh membentuk pola pikir dan kepercayaan dirinya dahulu.

Terkadang orang takut ditertawakan karena aksen bahasa Inggrisnya terpengaruh logat bahasa daerahnya. Sebenarnya ini bukan masalah. Coba sejenak carilah video pembicara dari negara lain seperti Thailand, Jepang, Spanyol, Korea, dan sebagainya. Saya juga jadi ingat teman saya yang ikut program pertukaran pelajar. Saat dia pulang, saya tanya, bagaimana temanmu pengucapan bahasa inggrisnya bisa ndak kamu pahami?saya bertanya begitu karena ada beberapa peserta program itu yang  memang sulit dimengerti pelafalan bahasa Inggrisnya. Ternyata dia juga menjawab iya susah banget, bahkan temanku Thailand bila menyebut nama  saya  "anami" padahal sudah saya ajari bahwa nama saya pengucapannya Hanafi, bukan "anami". Saya ikut ketawa saja mendengarnya sambil bergurau: namamu kok jadi kayak orang Jepang begitu ya kalau dia yang mengucapakan. Alhasil, kami tertawa bersama. Mereka yang dari negara lain juga ndak bisa melafalkan aksen – aksen tertentu dalam bahasa Inggris, tetapi mereka mendirikan bisnis,kuliah, kursus, meneliti ataupun melancong kemana - mana. Jadi mengapakah kita tidak percaya diri?(admin/dewi)


 Referensi:
https://www.youtube.com/watch?v=Ge7c7otG2mk
https://www.asiaspeakers.org/members/marianna-pascal
https://www.researchgate.net/publication/274310952_Language_and_Language_Skills
https://www.researchgate.net/publication/282504466_Language_Acquisition_and_Learning_of_Children_-_A_Mini_Project_on_Second_Language_Acquisition



Tidak ada komentar:

Posting Komentar