Seri diskusi #2 Islam progresif yang diadakan oleh Rumah Pengetahuan Daulat Hijau kali ini mengambil tema Fikih Pembebasan pada Jum'at 25 Oktober 2019 mulai pukul 13.30. Fasilitator diskusi M. Fahmi Sayfuddin alumni pesantren Darul Musthofa Jakarta.
"Fikih adalah suatu sangkaan kuat terhadap hukum syariat dengan dalil-dalil yang terperinci" jelas Fahmi membuka diskusinya. Fikih sendiri lahir setelah wafatnya nabi. Ada proses historis yang sangat diperlukan untuk menelisik lahirnya fikih bahkan lahirnya agama.
Dalam menjelaskan tentang 'pembebasan', Fahmi menarasikan sejarah lahirnya Islam melalui perjalanan hidup Muhammad sebagai pembawa risalah ketauhidan. Namun Muhammad pun menaruh perhatian lebih terhadap problem sosial umat. Muhammad hidup di tengah jalur strategis perdagangan yakni Mekkah. Namun ditengah ramainya jalur perdagangan berbanding terbalik dengan dinamika problem sosial yakni ketimpangan, penindasan yang merajalela.
Muhammad melakukan dua misi pembebasan yakni dari jerat tidak menyembah Allah dan dari jerat problem sosial. Kelahiran Islam di tengah orang-orang miskin, marjinal, atau orang- orang yang dipinggiran. Fahmi memberikan contoh tentang seorang budak berkulit hitam yang masuk Islam yang ditentang oleh majikannya. Dikisahkan, Bilal mendapatkan berbagai penyiksaan. "Apa kemudian respon nabi?" tanya Fahmi. "Apa bilang pada Bilal suruh sabar, ini cobaan, semua itu dari Allah, nanti masuk surga, amin?" Lanjutnya. Yang dilakukan nabi adalah mengumpulkan harta untuk menebus Bilal, melakukan negosiasi dengan majikannya, dan berupaya membebaskan Bilal. Hal ini sekaligus menjadi bentuk contoh pembebasan Muhammad terhadap rasisme. Oleh kafir Quraisy, ajaran Ubudiyah tidak sepenuhnya ditolak, melainkan muamalahnya seperti lanjutan ayat "dirikan lah sholat" selalu diiringi ayat " tunaikan zakat", hal ini sebagai representasi Ubudiyah harus berjalan beriringan dengan ibadah sosial. Islam pun membatasi kepemilikan pribadi.
Muhammad adalah tokoh pembebasan dunia dan akhirat. Seringkali kita fokus pada persoalan akhirat mengabaikan persoalan dunia. Sedangkan fikih yurisprudensial itu memuat hukum-hukum yang nyata. Misal, apakah orang bisa khusyu' ketika sholat dalam keadaan lapar?. Contoh lain, latar belakang terjadinya perang badar lantaran pasokan makan umat muslim dicekal oleh Abu Sufyan. Muhammad melakukan perlawanan jika sudah mengancam keberlangsungan hidup umat Islam. Dengan tegas Fahmi mengatakan, "Jadi, konteks Islam rahmatan lil aalamiin bukan Yo wes terima wae, sabar, syukur, ridho, terus melbu Surgo, yang penting di akhirat dunia sementara".
Pemateri kemudian menjelaskan relevansi dengan hukum masa kini. Masa kini tentu berbeda dengan masanya Muhammad. Masa kini telah berada pada era kapitalisme. Kapitalisme adalah sistem ekonomi politik yang menyebabkan terjadinya revolusi industri, kolonialisme Belanda, developmentalisme orde baru, MP3EI ala presiden SBY, dan juga maraknya investasi pada hari ini adalah wujud perpanjangtanganan kapitalisme. Menurutnya, kita sedang menghadapi konsep ekonomi neoliberal, yakni penjajahan gaya baru.
Dengan mengutip pendapat David Harvey, ia menegaskan bahwa neoliberalisme merupakan sebuah teori tentang praktek ekonomi politik, dimana kesadaran manusia bisa dicapai melalui kebebasan-kebebasan kewirausahaan individu dalam kerangka institusional yang disokong oleh hak kepemilikan privat, pasar bebas, dan perdagangan bebas. Negara selaku pemangku kebijakan menjadi panitia dari para penanam modal baik asing maupun domestik. "Negara menjadi panitia dari penyelenggaraan pasar bebas" jelasnya.
Maka jika dikorelasikan dengan Islam progresif terkait fikih pembebasan dengan terlebih dahulu melihat problem material yakni persoalan sosial. Dalam perspektif Muhammad Al Fayyadl, penggerak kehidupan sosial adalah ekonomi politik yang hubungan produksi antar kelas-kelas sosial yang ada terus bertarung merebut dominasinya diantara pihak lain baik melalui penguasaan ekonomi maupun kekuasaan politik. Kehidupan umat Islam akan baik dan harmonis jika melakukan rutinitas ibadah dengan baik, persepsi demikian yang sering diamini. Ini adalah cara pandang terbalik.
Oleh karena itu dibutuhkan produk hukum fikih yang didasarkan pada problem sosial, kemudian dicari dalilnya melalui kaidah fikih dan Ushul fikih untuk digunakan landasan hukum agar lepas dari belenggu masalah sosial, seperti penindasan, penghisapan, ketimpangan, dan ketidakadilan sebagai realisasi dari Islam rahmatan lil aalamiin.
Islam melarang kepemilikan berlebih, sebagaimana dalam surat al takatsur, al humazah, atau hadits nabi. Salah satunya berbunyi "tidak dikatakan beriman seseorang yang dirinya kenyang sedangkan tetangganya kelaparan". Lebih jauh lagi, dengan mengambil contoh tentang kafarat (denda). Dalam kajian fikih jika seorang melakukan kesalahan besar adalah membebaskan budak. Berikutnya, memberikan makan 40 fakir miskin. Contoh-contoh demikian menunjukkan Islam sebagai agama pembebasan. Berdasarkan ayat-ayat Al Qur'an, hadist nabi baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan, ijma, dan qiyas jelas menunjukkan Islam melarang kepemilikan berlebih dan menumpuk harta, sebuah kebalikan dari kapitalisme. Amat jelas jika kapitalisme menimbulkan mafsadah.
Menjelang akhir diskusi, Fahmi mengatakan bahwa membebaskan manusia dari masalah-masalah sosial adalah fardhu ain. Bahkan ia menyetujui pendapat Asghar Ali Engineer mukmin adalah orang yang berjuang menegakkan keadilan dan berjuang melawan kezaliman. Dengan kata lain seorang yang mengaku muslim namun tidak menegakkan keadilan dan berjuang melawan kezaliman, maka ia telah kafir. Admin

Tidak ada komentar:
Posting Komentar