Oleh:Nuzullia
Vrilio dalam
artikelnya "The Last Vehicle", eksistensi manusia di dalam
wadah ruang mengalami perubahan mendasar dari sebentuk tubuh yang bergerak di
dalam ruang, menjadi sebentuk tubuh yang diam di tempat sebagai satu kutub
inersia. Sebagai titik dimana subyek menampung, menahan, menyerap setiap zat
dan gerakan yang datang (informasi, tontonan, gaya) lewat simulasi elektronik.
Dunia dalam satu genggaman, mulai dari belanja, bayar
listrik, cicilan motor, baca berita, baca buku, nonton film, pengajian, permainan, belajar ngaji, sampai
tutorial jilbab dan make up. Lebih lanjut penjelasan Vrilio tentang adanya
energi sinematik sebagai energi ketiga yang dapat ditambahkan. Dalam dunia hari
ini manusia berpindah waktu dari ekstensif-historis menjadi waktu
intensif-keseketikaan yang ahistoris. Sebab, waktu adalah sejarah maka
pergerakan dan kecepatan sinematik adalah halusinasi sejarah, membongkar
kronologi, ekspansi, dan eksistensi.
Misal belanja kebutuhan hari raya keluarga, sebelum berangkat
ke pasar atau pusat perbelanjaan mengajak serta keluarga atau teman. Sebelum
berangkat mengatur janji, menyiapkan kendaraan. Di tengah perjalanan sampai di
tempat bertemu dengan banyak orang seperti tetangga, orang-orang baru (penjual,
pembeli, tukang parkir, dll) kadang tak sengaja bertemu kawan lama. Adanya
tawar menawar dengan penjual manjadikan adanya interaksi. Berbicara dengan
banyak pedagang satu dan lainnya, memilih barang, berganti dari satu toko ke
toko lain. Selanjutnya, barang-barang yang dibeli untuk sampai rumah memakai
transportasi umum.
Satu pekerjaan belanja telah demikian panjang menjadi
historis, karena tak lepas dari ruang dan waktu. Tak akan ada cerita yang
demikian panjang jika berbelanja di toko online, tak ada interaksi nyata
penjual-pembeli, tanpa perbincangan, tanpa ribet bawa barang pulang. Cukup klik
tombol pesan barang dikirim sampai rumah, tak perlu meminta bantuan keluarga
atau teman. Mencari barang murah tak perlu tawar menawar, cari model baju tak
perlu muter satu pasar,semua dalam satu genggaman, gadget, tanpa ribet.
Teknologi Mengubah Pengalaman dan Persepsi Manusia
Hubungan manusia dan teknologi menurut Ihde akan menghindari
dua posisi ekstrim tentang teknologi. Di satu sisi adalah reifikasi teknologi,
yakni teknologi mempunyai hidup sendiri yang mengontrol manusia semisal artificial
intelligence. Sisi lainnya ialah netralitas teknologi yakni teknologi
dilihat pada dirinya sendiri sebagai objek atau artefak (hasil buatan manusia
yang tidak tersedia di alam). Contoh, senapan pada dirinya sendiri tidak
berbahaya. Senapan menjadi berbahaya ketika digunakan manusia.
Persepsi manusia terhadap dunia kehidupan berubah apabila
teknologi dijadikan mediator antara manusia dan dunia kehidupan. Bahkan menurut
Ihde, bukan hanya persepsi yang berubah lebih jauh persepsi yang diwujudkan
melalui instrumen pun tidak setara (incommensurate) dengan observasi
langsung tanpa alat betapa kecil pun tingkat perbedaannya melainkan praksis
juga berubah. Cara manusia menggunakan alat teknologi otomatis mengubah
relasinya dengan dunia kehidupan dibandingkan dengan ketika tidak menggunakan
alat teknologi.
Ada dua jenis persepsi, pertama, mikropersepsi adalah
persepsi manusia yang langsung melalui tubuh dan semua indera. Dunia kehidupan
dialami secara langsung melalui tubuh dan semua indera, Don Ihde menyebutnya
body one. Kedua, makropersepsi adalah persepsi manusia yang
diperoleh melalui struktur atau budaya manusia berada, seperti cara berpikir,
kerangka pemikiran yang sudah ada dalam diri manusia, kebiasaan dan lain-lain.
Artinya, kita merupakan tubuh dilihat dari sisi masyarakat dan sosial, Don Ihde
menyebutnya body two.
Antara body one dan body two terletak dimensi
ketiga, yaitu dimensi teknologi. Pengalaman yang paling lazim adalah hubungan
kebertubuhan (embodiment relation): manusia mengalami dunia kehidupan
melalui alat atau instrumen. Teknologi mengubah pengalaman manusia menjadikan
teknologi tidak netral. Tidak netralnya teknologi merujuk pada perubahan
pengalaman manusia yang terjadi akibat penggunaan teknologi yang selanjutnya
mengubah persepsi waktu, ruang, dan bahasa.
Apa yang sebenarnya jauh sekarang dilihat sebagai dekat dan
tubuh manusia menyesuaikan kedudukannya untuk melihatnya sebagai dekat.
Begitulah teknologi mempengaruhi persepsi ruang. Demikian juga waktu, Heidegger
mengatakan waktu bersifat eksistensial karena waktu dilihat dalam kaitannya
dengan apa yang dialami manusia dalam dunia. Pada zaman kuno manusia mematok
hidupnya berdasarkan alam. Manusia membaca alam dengan melihat bintang dan
sebagainya untuk mengetahui waktu. Sekarang kebalikannya, manusia mengukur alam
berdasarkan konsep jam.
Saya mengambil contoh bagaimana teknologi bisa mengubah dua
persepsi diatas. Saya mempunyai saudara tinggal cukup lama di Jakarta, jarang
pulang ke kampung halaman. Bahkan pernah sampai lima kali puasa tak pulang ke kampung. Hampir setiap hari
melakukan komunikasi melalui telepon dengan keluarga di kampung bisa berjam-jam
bahkan sehari sampai tiga kali. Banyak hal yang dibicarakan mulai gosip
tetangga sekitar rumah, cerita sekolah anak masing-masing, tanaman di sawah
sampai meningkatnya jumlah janda di kampung. Maka ketika pulang ke kampung
halaman berbagai persoalan dan cerita kampung telah diketahui.
Pernah saya bertanya kepada saudara tersebut mengapa jarang
pulang kampung, ia beralasan bahwa meskipun jarang pulang kampung setiap hari
telepon keluarga toh sama saja yang penting saling tahu baik-baik saja. Sangat
jelas sebagaimana dikatakan Don Ihde antara mikropersepsi dan makropersepsi
ada dimensi teknologi. Dunia kehidupan dialami secara langsung melalui
tubuh dan semua indera menjadi cukup terwakili melalui indera pendengaran
terpisah ruang sudah mewakili. Demikian juga dari segi makropersepsi,
budaya silaturahmi pada keluarga khususnya orang tua menjadi terkikis, apalagi
maraknya ponsel pintar bisa melakukan video call dapat saling bertatap
muka. Hubungan emosional manusia yang melekat pada kebertubuhan dianggap tidak
penting.
Maka hal inilah yang menyebabkan teknologi menjadi tidak
netral, padahal di dalam hubungan kebertubuhan alat digunakan sebagai
perpanjangan dari tubuh manusia. Alat juga menjadi sebagian dari tubuh manusia
dalam relasinya dengan dunia dan sekitarnya. Dengan kata lain manusia menubuh
dengan alat. Dalam konteks penggunaannya, teknologi dilibatkan untuk melihat
sesuatu dalam cara tertentu yang mengakibatkan perubahan persepsi dan rasa
tubuh.
Saya mengambil contoh sehari-hari banyak hal seolah berubah
akibat teknologi. Dahulu ketika saya masih kecil seringkali bersama kawan-kawan
janjian belajar kelompok, atau bermain ke rumah salah satu teman. Waktu itu tak
ada telepon apalagi android dengan berbagai pilihan komunikasi namun kami
selalu datang tepat waktu, jika salah satu kawan tak ikut selalu ada
pemberitahuan misal ada keluarga yang memberitahu atau dirinya sendiri. Artinya
tak ada yang menyalahi kesepakatan. Lain hari ini, dengan segala kemudahan
komunikasi orang begitu mudah membatalkan janji atau kesepakatan cukup di share
di grup whats app tanpa memikirkan orang lain yang menjalankan kesepakatan.
Teknologi merubah persepsi dan rasa tubuh, kemampuan inderawi
dan rasa manusia perlahan hilang. Mulai dari tidur tak bisa lepas dari
alarm, kemampuan mengingat lemah mengandalkan segala hal pada google.
Sebelum adanya google map, orang yang berpergian akan berusaha mengingat
setiap hal yang dilewati sebagai petunjuk jalan, ataupun bertanya kepada orang.
Disinilah yang dimaksud perubahan persepsi dan rasa tubuh. Maka ketika ponsel
pintar yang sejatinya digunakan sebagai alat perpanjangan tubuh manusia menjadi
mengendalikan manusia. Contoh ketika ponsel ini mati di tengah perjalanan
sedangkan segala hal sudah tergantung pada benda ini, tak ada satu nomor
telepon pun yang diingat, demikian juga jalan menuju arah rumah tak diketahui.
Maka benarlah kata : "Manusia tidak dapat mengendalikan teknologi
sehingga justru dikuasai olehnya".
___________________
1. Yasraf Amir Piliang. 2004. Dunia yang Dilipat, Tamasya
melalui Batas-batas Kebudayaan. Yogyakarta: Jalatsutra.
2. Francis Lim. 2008. Filsafat Teknologi: Don Ihde tentang
Dunia, Manusia, dan Alat. Yogyakarta: Kanisius.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar