Sabtu, 11 Agustus 2018

Teknologi: Menjadi Ahistoris dan Hilangnya Relasi Kehidupan



Oleh:Nuzullia
 Vrilio dalam artikelnya "The Last Vehicle", eksistensi manusia di dalam wadah ruang mengalami perubahan mendasar dari sebentuk tubuh yang bergerak di dalam ruang, menjadi sebentuk tubuh yang diam di tempat sebagai satu kutub inersia. Sebagai titik dimana subyek menampung, menahan, menyerap setiap zat dan gerakan yang datang (informasi, tontonan, gaya) lewat simulasi elektronik.
Dunia dalam satu genggaman, mulai dari belanja, bayar listrik, cicilan motor, baca berita, baca buku, nonton film,  pengajian, permainan, belajar ngaji, sampai tutorial jilbab dan make up. Lebih lanjut penjelasan Vrilio tentang adanya energi sinematik sebagai energi ketiga yang dapat ditambahkan. Dalam dunia hari ini manusia berpindah waktu dari ekstensif-historis menjadi waktu intensif-keseketikaan yang ahistoris. Sebab, waktu adalah sejarah maka pergerakan dan kecepatan sinematik adalah halusinasi sejarah, membongkar kronologi, ekspansi, dan eksistensi.
Misal belanja kebutuhan hari raya keluarga, sebelum berangkat ke pasar atau pusat perbelanjaan mengajak serta keluarga atau teman. Sebelum berangkat mengatur janji, menyiapkan kendaraan. Di tengah perjalanan sampai di tempat bertemu dengan banyak orang seperti tetangga, orang-orang baru (penjual, pembeli, tukang parkir, dll) kadang tak sengaja bertemu kawan lama. Adanya tawar menawar dengan penjual manjadikan adanya interaksi. Berbicara dengan banyak pedagang satu dan lainnya, memilih barang, berganti dari satu toko ke toko lain. Selanjutnya, barang-barang yang dibeli untuk sampai rumah memakai transportasi umum.
Satu pekerjaan belanja telah demikian panjang menjadi historis, karena tak lepas dari ruang dan waktu. Tak akan ada cerita yang demikian panjang jika berbelanja di toko online, tak ada interaksi nyata penjual-pembeli, tanpa perbincangan, tanpa ribet bawa barang pulang. Cukup klik tombol pesan barang dikirim sampai rumah, tak perlu meminta bantuan keluarga atau teman. Mencari barang murah tak perlu tawar menawar, cari model baju tak perlu muter satu pasar,semua dalam satu genggaman, gadget,  tanpa ribet.
Teknologi Mengubah Pengalaman dan Persepsi Manusia
Hubungan manusia dan teknologi menurut Ihde akan menghindari dua posisi ekstrim tentang teknologi. Di satu sisi adalah reifikasi teknologi, yakni teknologi mempunyai hidup sendiri yang mengontrol manusia semisal artificial intelligence. Sisi lainnya ialah netralitas teknologi yakni teknologi dilihat pada dirinya sendiri sebagai objek atau artefak (hasil buatan manusia yang tidak tersedia di alam). Contoh, senapan pada dirinya sendiri tidak berbahaya. Senapan menjadi berbahaya ketika digunakan manusia.
Persepsi manusia terhadap dunia kehidupan berubah apabila teknologi dijadikan mediator antara manusia dan dunia kehidupan. Bahkan menurut Ihde, bukan hanya persepsi yang berubah lebih jauh persepsi yang diwujudkan melalui instrumen pun tidak setara (incommensurate) dengan observasi langsung tanpa alat betapa kecil pun tingkat perbedaannya melainkan praksis juga berubah. Cara manusia menggunakan alat teknologi otomatis mengubah relasinya dengan dunia kehidupan dibandingkan dengan ketika tidak menggunakan alat teknologi.
Ada dua jenis persepsi, pertama, mikropersepsi adalah persepsi manusia yang langsung melalui tubuh dan semua indera. Dunia kehidupan dialami secara langsung melalui tubuh dan semua indera, Don Ihde menyebutnya body one. Kedua, makropersepsi adalah persepsi manusia yang diperoleh melalui struktur atau budaya manusia berada, seperti cara berpikir, kerangka pemikiran yang sudah ada dalam diri manusia, kebiasaan dan lain-lain. Artinya, kita merupakan tubuh dilihat dari sisi masyarakat dan sosial, Don Ihde menyebutnya body two.
Antara body one dan body two terletak dimensi ketiga, yaitu dimensi teknologi. Pengalaman yang paling lazim adalah hubungan kebertubuhan (embodiment relation): manusia mengalami dunia kehidupan melalui alat atau instrumen. Teknologi mengubah pengalaman manusia menjadikan teknologi tidak netral. Tidak netralnya teknologi merujuk pada perubahan pengalaman manusia yang terjadi akibat penggunaan teknologi yang selanjutnya mengubah persepsi waktu, ruang, dan bahasa.
Apa yang sebenarnya jauh sekarang dilihat sebagai dekat dan tubuh manusia menyesuaikan kedudukannya untuk melihatnya sebagai dekat. Begitulah teknologi mempengaruhi persepsi ruang. Demikian juga waktu, Heidegger mengatakan waktu bersifat eksistensial karena waktu dilihat dalam kaitannya dengan apa yang dialami manusia dalam dunia. Pada zaman kuno manusia mematok hidupnya berdasarkan alam. Manusia membaca alam dengan melihat bintang dan sebagainya untuk mengetahui waktu. Sekarang kebalikannya, manusia mengukur alam berdasarkan konsep jam.
Saya mengambil contoh bagaimana teknologi bisa mengubah dua persepsi diatas. Saya mempunyai saudara tinggal cukup lama di Jakarta, jarang pulang ke kampung halaman. Bahkan pernah sampai lima kali puasa tak  pulang ke kampung. Hampir setiap hari melakukan komunikasi melalui telepon dengan keluarga di kampung bisa berjam-jam bahkan sehari sampai tiga kali. Banyak hal yang dibicarakan mulai gosip tetangga sekitar rumah, cerita sekolah anak masing-masing, tanaman di sawah sampai meningkatnya jumlah janda di kampung. Maka ketika pulang ke kampung halaman berbagai persoalan dan cerita kampung telah diketahui.
Pernah saya bertanya kepada saudara tersebut mengapa jarang pulang kampung, ia beralasan bahwa meskipun jarang pulang kampung setiap hari telepon keluarga toh sama saja yang penting saling tahu baik-baik saja. Sangat jelas sebagaimana dikatakan Don Ihde antara mikropersepsi dan makropersepsi ada dimensi teknologi. Dunia kehidupan dialami secara langsung melalui tubuh dan semua indera menjadi cukup terwakili melalui indera pendengaran terpisah ruang sudah mewakili. Demikian juga dari segi makropersepsi, budaya silaturahmi pada keluarga khususnya orang tua menjadi terkikis, apalagi maraknya ponsel pintar bisa melakukan video call dapat saling bertatap muka. Hubungan emosional manusia yang melekat pada kebertubuhan dianggap tidak penting.
Maka hal inilah yang menyebabkan teknologi menjadi tidak netral, padahal di dalam hubungan kebertubuhan alat digunakan sebagai perpanjangan dari tubuh manusia. Alat juga menjadi sebagian dari tubuh manusia dalam relasinya dengan dunia dan sekitarnya. Dengan kata lain manusia menubuh dengan alat. Dalam konteks penggunaannya, teknologi dilibatkan untuk melihat sesuatu dalam cara tertentu yang mengakibatkan perubahan persepsi dan rasa tubuh.
Saya mengambil contoh sehari-hari banyak hal seolah berubah akibat teknologi. Dahulu ketika saya masih kecil seringkali bersama kawan-kawan janjian belajar kelompok, atau bermain ke rumah salah satu teman. Waktu itu tak ada telepon apalagi android dengan berbagai pilihan komunikasi namun kami selalu datang tepat waktu, jika salah satu kawan tak ikut selalu ada pemberitahuan misal ada keluarga yang memberitahu atau dirinya sendiri. Artinya tak ada yang menyalahi kesepakatan. Lain hari ini, dengan segala kemudahan komunikasi orang begitu mudah membatalkan janji atau kesepakatan cukup di share di grup whats app tanpa memikirkan orang lain yang menjalankan kesepakatan.
Teknologi merubah persepsi dan rasa tubuh, kemampuan inderawi dan rasa manusia perlahan hilang. Mulai dari tidur tak bisa lepas dari alarm, kemampuan mengingat lemah mengandalkan segala hal pada google. Sebelum adanya google map, orang yang berpergian akan berusaha mengingat setiap hal yang dilewati sebagai petunjuk jalan, ataupun bertanya kepada orang. Disinilah yang dimaksud perubahan persepsi dan rasa tubuh. Maka ketika ponsel pintar yang sejatinya digunakan sebagai alat perpanjangan tubuh manusia menjadi mengendalikan manusia. Contoh ketika ponsel ini mati di tengah perjalanan sedangkan segala hal sudah tergantung pada benda ini, tak ada satu nomor telepon pun yang diingat, demikian juga jalan menuju arah rumah tak diketahui. Maka benarlah kata : "Manusia tidak dapat mengendalikan teknologi sehingga justru dikuasai olehnya".

___________________
1. Yasraf Amir Piliang. 2004. Dunia yang Dilipat, Tamasya melalui Batas-batas Kebudayaan. Yogyakarta: Jalatsutra.
2. Francis Lim. 2008. Filsafat Teknologi: Don Ihde tentang Dunia, Manusia, dan Alat. Yogyakarta: Kanisius.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar