Selasa, 28 Agustus 2018

Agama dan Negara di Persimpangan Masyarakat Pluralis


Related image
Oleh:Nuzulia

 Agama dan Negara di Persimpangan Masyarakat Pluralis

Saya ingat guyonan Gus Dur tentang Tuhan orang Islam itu jauh, itulah mengapa harus dipanggil dengan toa. Maka ketika seorang perempuan dari Tanjung Balai Sumatera Utara bernama Meiliana mengeluhkan volume suara adzan yang membawanya menjadi terdakwa 18 bulan penjara seolah membenarkan guyonan Gus Dur. MUI Sumatra Utara menerbitkan fatwa menistakan agama kepada Merliana. Wakil sekretaris komisi fatwa MUI Irwansyah mengatakan bahwa adzan adalah bagian dari syariat Islam, ucapan yang disampaikan Merliana adalah termasuk perendahan, penodaan, dan penistaan terhadap syariat Islam. Kejadian berawal dari keluhan Meiliana terhadap volume pengeras suara masjid yang dinilai terlalu keras. "Kak tolong bilang sama Wak itu, kecilkan suara masjid itu Kak, sakit kupingku, ribut" ujar terdakwa pada tetangga seperti yang dibaca dalam tuntutan jaksa. Setelah pengurus masjid sempat mendatangi rumah Meiliana, persoalan semakin meruncing. Keluhan Meiliana ditanggapi masyarakat muslim Tanjung Balai dengan melempari rumah dan membakar 14 vihara umat Budha1.
Ibarat bara yang sudah menganga, disulut sedikit akan menjadi api yang besar, demikian wajah beragama di Indonesia hari ini. Diakui maupun tidak, kejadian ini tidak bisa lepas dari sentimen SARA yang dimainkan elite politik beberapa waktu lalu dalam konstelasi pilkada DKI yang berujung pada gerakan massa  besar-besaran anti Ahok turut menyemai bibit-bibit ketegangan umat. Akibatnya, bibit tersebut tumbuh subur menjalar ke berbagai daerah di Indonesia baik dalam lingkaran elite tinggi negara maupun rakyat. Artinya kekerasan oleh warga negara disponsori atau dibiarkan aparat negara. Meskipun disisi lain banyak faktor yang mempengaruhi sentimen agama semisal meluasnya pemahaman Islam transnasional, ajaran radikal yang masuk dalam dunia pendidikan, munculnya da'i YouTube yang secara terang-terangan menanam benih permusuhan antara umat beragama maupun seagama yang berbeda pandangan. Da'i-da'i ini bisa mengambil hati masyarakat dibanding ustadz di kampung, maka dengan mudah ceramah yang disampaikan sang da'i mampu mempengaruhi pemikiran masyarakat. Dapat dilihat yang terjadi hari ini persoalan intoleransi antar agama maupun internal agama berbeda aliran dan kaum minoritas menjadi sasaran yang berujung konflik. Situasi yang demikian berkelindan dengan kepentingan elite negara maupun pemuka agama. Hal ini seolah dipelihara negara maupun pihak lain yang merasa diuntungkan.
Snouck Hurgronje pernah mengemukakan bahwa Islam di Indonesia yang kelihatan statis dan tenggelam dalam kitab-kitab salaf abad pertengahan itu, sebenarnya mengalami perubahan-perubahan yang fundamental, perubahan-perubahan itu demikian perlahan, rumit dan mendalam, sehingga hanya orang yang dapat mengamatinya secara hati-hati dan teliti dapat mengetahui perubahan tersebut.
Wajah Islam Indonesia hari ini telah berubah, Islam hari ini sedang dilanda mabuk agama. Identitas beragama diwujudkan pada simbol. Kejadian diatas menampakkan bahwa toa adalah bagian dari beragama bukan lagi sebuah nilai-nilai yang diwujudkan dalam bentuk laku yang selaras terhadap Tuhan dan manusia.  Indikator keberhasilan beragama jika syi'ar Islam yang diwujudkan dalam gebyar selebrasi melalui suara-suara yang menjangkau semua tempat. Antusiasme umat dalam perayaan beragama menjadi terlena yang kemudian melupakan nilai spiritual agama. Agama telah terhegemoni dari hakikatnya. Menyambung pernyataan Snouck Hurgronje, menurut Gus Dur proses terjadinya pemahaman kembali isi ajaran-ajaran agama dapat disebabkan oleh terjadinya reaksi terhadap adanya perubahan yang terjadi diluar agama itu, tetapi juga di dalam ajaran agama itu sendiri dimungkinkan adanya proses pemahaman baru. Karena pemahaman atas isi ajaran agama dipegang oleh pemuka-pemuka agama (religious elite) yang biasanya juga menjadi kelompok pimpinan (elite classical) dalam hampir semua struktur masyarakat, maka sesuai dengan dinamika yang selalu dimiliki oleh kelompok pimpinan itu sendiri, mau tidak mau isi ajaran-ajaran agama itu akan selalu mengalami proses pembaharuan pemahamannya. Kelompok elit dimana-mana memiliki kepentingan yang besar dibandingkan dengan kelompok-kelompok lain di masyarakat, itulah sebabnya bila terjadi perubahan sosial atau diperlukan adanya perubahan dalam masyarakat, mereka berkepentingan pula untuk dapat mengendalikan perubahan-perubahan tersebut, agar kepentingan mereka sebagai pemimpin masyarakat tidak sampai direbut oleh kelompok-kelompok lain. Para pemuka agama sebagai salah satu unsur kelompok elite yang memimpin masyarakat, maka harus dapat mengendalikan dan mengarahkan peninjauan kembali ajaran-ajaran agama sehingga dapat mempertahankan kedudukan dalam bidang kepemimpinan agama2.
Sayangnya para pemuka agama justru menggerakkan masyarakat dalam arus intoleransi atas nama jihad terhadap penista agama. Julukan penista agama lebih disebabkan karena subyek adalah pemeluk agama non muslim etnis Tionghoa. Pola konflik yang demikian hampir sama di berbagai daerah di Indonesia. Sangat kontras, beberapa waktu lalu viral seorang da'i You Tube yang mengatakan bahwa nabi Muhammad pernah sesat. Tak ada respon besar dari pemuka agama maupun umat, seolah sambil lalu. Anehnya, da'i-da'i yang demikian justru diberi panggung untuk ceramah.
Kembali pada pendapat Gus Dur, pada dasarnya setiap agama memiliki watak transformatif, yaitu berusaha menanamkan nilai-nilai baru yang menggantikan nilai-nilai lama yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama. Pemahaman kembali terhadap ajaran agama sering kali mengambil tema "kembali kepada ajaran yang benar atau kembali pada ajaran yang asli"3. Yang kemudian melihat persoalan hanya pada teks tanpa melihat konteks. Seperti melarang memilih pemimpin non muslim menjadi sesuatu yang laris diperdagangkan dalam konteks pilkada maupun pilpres. Identitas menjadi penting, mengesampingkan aspek yang lebih urgen semisal kapasitas personal. Sedangkan masyarakat dalam memahami persoalan mengikuti keputusan pemuka agama3.
Transformasi beragama hari ini sangat masif dipaksakan semisal memaksa memakai jilbab di sekolah bagi pemeluk agama non muslim yang dibingkai dalam peraturan sekolah yang seolah telah disepakati bersama. Contoh lain adalah maraknya perumahan muslim yang dikhususkan bagi yang beragama Islam sehingga meminggirkan pemeluk agama lain dalam masyarakat yang plural.
Yang mengagetkan adalah kejadian di Probolinggo dalam peringatan kemerdekaan Indonesia, siswa dari sebuah sekolah Taman Kanak-kanak(TK) yang berada dalam naungan Kodim mengikuti pawai budaya mengenakan jubah dan bercadar hitam menenteng replika senjata. Hal ini sebagai bukti transformasi agama yang dahulu dekat dengan pluralitas budaya Indonesia menjadi agama konservatif seolah menampakkan wajah murninya dengan menghilangkan pluralitas budaya. Anehnya, sekolah TK ini berada dalam naungan Kodim sebagai salah satu komponen aparat negara4.
Jajang Jahroni dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta mengatakan bahwa model pemahaman keagamaan yang tekstualis bisa mendorong orang untuk melakukan kekerasan agama. Lebih tepatnya merasa paling benar dalam relasi internal agama apalagi tidak seagama.
Pertanyaannya mengapa negara justru mewadahi sentimen agama dan SARA? Mengutip pendapat Muzani elite negara itu takut terhadap umat kalau harus mengatakan pendapatnya yang bertentangan keyakinan dengan kalangan Islam politik, mereka takut dinilai merusak Islam, dan takut dimusuhi umat Islam. Dan itu berarti ancaman bagi karirnya5.
Islam dan Pluralisme
Islam secara teologis dan historis menurut Budhy Munawar Rachman tidak bisa dilepaskan dari agama-agama lain. Prinsip yang mendasari hubungan Islam dan agama-agama lain dinyatakan dalam Al Qur'an dan dicontohkan nabi Muhammad  yaitu pengakuan dan penghormatan akan keberadaan agama-agama lain dan adanya ruang kebebasan bagi para pemeluknya untuk menjalankan agama masing-masing.
Al Qur'an juga menganut prinsip: adanya realitas tentang pluralitas agama (Q.S 2:62), kebebasan beragama (Q.S 2:256), hidup berdampingan secara damai (Q.S 109:1-6), menganjurkan untuk saling berlomba-lomba dalam kebaikan (Q.S 5:48) dan bersikap positif dalam berhubungan serta kerjasama dengan pemeluk agama lain (Q.S 60:8), bersikap dan berbuat adil terhadap umat non muslim (Q.S 60:80) dan melindungi tempat ibadah semua agama (Q.S 22:40)6.
Kebenaran dalam agama-agama itu dituturkan oleh Al Qur'an " sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabi'in, siapa saja yang diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari akhir dan beramal shaleh, mereka akan mendapatkan pahala dari Tuhan mereka. Mereka tidak perlu khawatir dan bersedih". Al Qur'an secara tegas menyatakan adanya keselamatan yang dijanjikan Tuhan bagi setiap orang yang beriman kepada Nya dan hari akhir dan diiringi dengan berbuat kebajikan tanpa memandang afiliasi agama mereka. Artinya semua yang beriman kepada Allah dan hari akhir akan selamat.
Jadi, mengutip peri Gus Dur, agama tidak mengandung nilai-nilai dalam dirinya, tetapi mengandung ajaran-ajaran yang menanamkan nilai-nilai sosial yang bila nilai-nilai itu meresap dalam pikiran sebagian besar warga masyarakat (penganutnya), ajaran itu merupakan salah satu elemen yang membentuk cultural value system7.

Fanatisme Agama tinjauan Filosofis
Dalam bagian ini menurut Muhammad Al Fayyadl yang mempelajari titik dialektis penjelasan internalis dan eksternalis. Penjelasan internalis misalnya fenomenologi agama, akan melihat fanatisme sebagai fenomena pemahaman atau hermeneutis: kesalahan memahami ajaran agama, krisis pemaknaan agama, atau problem indoktrinasi agama. Di sisi lain, penjelasan eksternalis memandang fanatisme sebagai fenomena sosial akibat krisis sosio-politik, ideologisasi agama, kepentingan kelompok atas kelompok lain, atau ketidakadilan ekonomi politik. Karena fanatisme erat kaitannya dengan fenomena sosial. Pertautan dialektis ini menjelaskan hubungan aktualisasi pemahaman dalam  tindakan, iman dalam praksis, dan sebaliknya, pengaruh tindakan dan praksis dalam memformat keberagamaan. Tindakan dan praksis itu hanya dimungkinkan oleh struktur sosial yang memfasilitasinya. Misal, struktur ketimpangan akses ekonomi politik dalam suatu iklim kapitalis. Keterpengaruhan antara krisis pemahaman dan krisis kehidupan. Sehingga pada titik abu-abu fanatisme beragama merupakan fenomena filosofis, sosiologis, antropologis, sekaligus ekonomi politis.
Sedangkan Muhammad Iqbal menunjuk "mentalitas kawanan" sebagai prakondisi fanatisme beragama. Ia mengusulkan kesadaran puitik dan revolusi kesadaran, bahkan radikalisasi pemaknaan atas keimanan dan klaim-klaim keberagamaan, untuk mengatasi ketergantungan pada otoritas agama. Pemikir muslim lain seperti Muhammad Arkoun yang menyerukan kesadaran kritis dan ilmiah atas segala bentuk wacana yang dibawakan oleh otoritas agama. Ia memandang otoritas keagamaan sebagai tantangan laten bagi keimanan dan sebaliknya, ia mengajukan kekuatan ilmiah kritis sebagai koreksi atas otoritas agama dan potensinya untuk menjadi sewenang-wenang.
Kedua pemikir tersebut menggarisbawahi jalan keluar berupa pembelajaran agama secara mandiri yang bergantung pada otoritas tertentu. Mereka menawarkan individualisme dan singularitas kesadaran untuk mengembalikan iman kepada kekonkretannya, menghindari abstraksi.
Al Fayyadl mengutip Khaled Abou El Fadli seorang pemikir muslim untuk menjawabnya. Menurutnya kita harus membedakan antara "otoritas agama yang otoritatif" dan "otoritas agama yang otoriter". "Otoritas agama yang otoritatif", otoritas agama hadir dengan kewenangannya, namun ia memiliki tanggung jawab untuk menjaga agar kewenangannya tidak berubah menjadi sewenang-wenang. Otoritas ini berupa otoritas pengetahuan yang dipertanggungjawabkan secara publik. Sedangkan, "otoritas agama yang otoriter" otoritas ini digunakan untuk bertindak sewenang-wenang, menjadikan agama otoriter. Ia menyalahgunakan agama untuk tujuannya sendiri, yang bertentangan dengan tanggung jawab yang otoritatif. Dalam ungkapan lain, kata Khaled, kita harus bekerja dengan abstraksi secara moderat dan bertanggung jawab. Abstraksi tidak boleh tergelincir menjadi ideologi kultus, prasyarat dari fanatisme.
Hal ini menjadi pertanyaaan: dapatkah hari ini – di era ketika populisme agama merajalela – kita beriman tanpa otoritas agama? Lalu bagaimana fungsi pemuka agama (ulama, pendeta, bhikku, dan lain-lain) jika otoritas agama dilampaui? Suatu keimanan masa depan yang membebaskan diri dari fanatisme harus menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, di mana tarik-menarik antara individu dan komunitas, antara otonomi dan heteronomi, semakin genting terjadi ke depan.
Kesimpulannya, Al Fayyadl mengajukan solusi bahwa "kita membutuhkan kondisi dimana otoritas agama, lebih jauh, tidak menjadi otoritas tetapi melebur di dalam umat beragama. Yang mensyaratkan bahwa iman dipelajari secara kolektif, dipraktikkan secara kolektif, dan diaktualisasikan pula secara kolektif.
Yang terjadi hari ini sebaliknya, iman diajarkan secara elitis (melalui mediasi otoritas agama), namun dipraktikkan secara kolektif dan diaktualisasikan secara ambigu antara kolektif dan elitis. Kesimpangsiuran ini membuat keimanan tergoda kuat untuk menjadi fanatik, tetapi disisi lain terkadang juga menjadi lunak, bahkan kehilangan etos militansinya, jinak dihadapan ketimpangan dan ketidakadilan. "Iman kolektif yang pada gilirannya mampu melepaskan diri dari ketergantungan pada otoritas agama, karena pada gilirannya tidak relevan8.
____________
1. https://www.dw.com/id/keluhkan-volume-adzan-meiliana-didakwa-menistakan-agama/a-45074204
2. Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, Jakarta: The Wahid Institut, 2007. Hal 72-75
3. Budhy Munawar Rachman, Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta: Komunitas Epistemologi Muslim Indonesia (KEMI) bekerjasama dengan Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) dan Hivos, 2011. Hal 253-261
4. https://m.detik.com/news/berita-jawa-timur/d-4172218/viral-karnaval-tk-bercadar-dan-bersenjata-ini-penjelasan-sekolah
5. https://indoprogress.com/2011/10/agama-dan-negara-jejak-persilangan-kekerasan/
6. https://indoprogress.com/2018/05/struktur-fanatisme-beragama-dan-pelampauannya-tinjauan-sosio-filosofis/

Kamis, 23 Agustus 2018

LANCAR BERBAHASA INGGRIS WALAU NILAIMU JELEK





Penulis:Dewi Indasyah
TULISAN ini bertujuan untuk memberi perspektif atau cara pandang yang berbeda tentang apa yang menyebabkan kenapa ada banyak orang yang tingkat penguasaan bahasa Inggris nya sangat rendah tetapi lancar dalam berbahasa Inggris. Selain itu, artikel ini mencoba menjelaskan banyak orang paham apa yang orang lain sampaikan dalam bahasa inggris, tetapi cenderung kesulitan untuk menjawab ataupun merespon dengan menggunakan bahasa Inggris. Termasuk kenapa ada orang yang nilai bahasa Inggris nya bagus atau tidak jelek- jelek banget karena buktinya bisa lulus Ujian Akhir Nasional (UAN) yang mencakup pelajaran bahasa Inggris, namun ketika diajak bercakap – cakap dalam bahasa Inggris cenderung tergagap- gagap bahkan gagal dalam mengutarakan apa yang akan dia sampaikan? 

Level Bahasa Inggris Rendah Tidak Ada Hubungannya dengan Kesulitan dalam Komunikasi.
Kalau persepsi umumnya adalah saat seseorang paham dan hafal kosakata, struktur bahasa, pengucapan, intonasi, dan lain sebagainya,orang tersebut akan lancar dalam berbahasa Inggris. Apabila apa yang selama ini diyakini adalah benar, lalu mengapakah ada banyak orang yang sangat lancar dalam berbicara bahasa Inggris padahal secara tingkat penguasaan atau level bahasanya sangat rendah? Kalau menurut keyakinan tersebut semestinya orang yang level bahasa Inggris nya rendah juga kesulitan dalam menggunakan bahasa Inggris dalam berkomunikasi. Mengapa ini bisa terjadi?

Suatu hari saya menyaksikan keynote speaker yang disampaikan Marianna Pascal dalam suatu acara yang membahas tentang mengapa anda seharusnya berbicara bahasa Inggris seperti bermain video games. Dalam penyampaiannya, Marianna menemukan kesamaan antara apa yang yang dialami putrinya saat berlatih memainkan piano dengan pembelajar bahasa Inggris. Putri dari Marianna saat berlatih piano merasa ketakutan untuk melakukan kesalahan, merasa depresi serta malas berlatih dan pergi les piano karena anaknya menyadari bahwa levelnya sangat rendah dibanding level yang diidam - idamkan yang itu berarti perlu proses yang panjang nan melelahkan untuk bisa mencapai apa yang disebut “permainan piano yang bagus yang dia idealkan, anaknya merasa takut membuat kesalahan karena menurut anggapan anaknya dan guru pianonya, kesuksesan seseorang diukur dari seberapa sedikit dia melakukan kesalahan dalam memainkan sebuah nada.  Ini adalah tentang self image atau citra diri.yaitu cara pandang seseorang mengenai dirinya. Lalu Marianna menceritakan pejumpaannya dengan peserta yang ia latih bernama Faisal, seorang supervisor di Malaysia. Faisal bisa sangat lancar berbahasa Inggris walau dengan menggunakan kemampuan penguasaan bahasa Inggrisnya yang rendah. Faisal sangat percaya diri, mampu menjawab pertanyaan maupun merespon dengan baik dengan menggunakan bahasa Inggris.

Marianna juga heran pada suatu saat ketika di Malaysia, dia bertemu dengan karyawan di apotek yang level bahasa Inggrisnya sangat tinggi dengan menggunakan baju layaknya seorang profesional yang sedang menjawab tentang obat yang sedang dicari Marianna. Namun sebelum menjawab apa yang ditanyakan Marianna, sang karyawan tersebut memperlihatkan raut ekspresi ketakutan atau grogi karena akan berbicara dengan native speaker atau pembicara asli. Kemudian sang karyawan berbicara sangat cepat dan menjelaskan apa yang diperlukannya secara panjang lebar. Namun Marianna merasa tidak memahami apa yang disampaikan karyawan tersebut.  Akan tetapi saat dia beralih ke apotik lain yang karyawannya mempunyai level bahasa inggris yang rendah, malah Marianna paham apa yang disampaikan karyawan di apotek tersebut. Rupa – rupanya sang karyawan itu tidak ada rasa takut, malah menatap Marianna dengan rasa percaya diri dan santai, walau menggunakan kosakata seadanya.

Lalu Marianna, yang juga seorang pemenang penghargaan sebagai pembicara dan penulis, berpikir: mengapa ini bisa terjadi? Beberapa saat berselang, akhirnya dia mendapat jawaban secara tidak disengaja. Kemudian suatu ketika dia pergi ke warung internet di Malaysia karena komputernya rusak dan dia harus mengerjakan sesuatu menggunakan computer. Dia mendapati ada seorang pemain video game yang tidak handal dalam bermain atau pemain video game yang buruk tetapi sangat fokus pada target yang ada dalam permainannya bahkan sangat percaya diri, bersemangat, berbahagia, dan tidak merasa minder walau ada dua orang teman sebayanya ikut melihat permainannya.


Lalu apa hubungannya dengan kemampuan seseorang berbahasa Inggris? Marianna menggambarkan contoh nyata bagaimana kebanyakan orang yang berbicara bahasa Inggris hanya berfokus pada diri sendiri untuk bagaimana terlihat seperti pembicara yang bagus, sibuk dengan menggunakan struktur bahasa dan pengucapan bahasa Inggris yang benar, tanpa menaruh perhatian pada orang yang diajaknya berkomunikasi dan hasil atau maksud apa yang ingin dia capai.
Apa yang diungkapkan Marianna membantu kita memahami bagaimana sebagai seorang non – native speaker atau bukan pembicara asli dalam berbicara dalam bahasa Inggris, bukan persoalan tentang level atau tingkat penguasaan bahasa Inggris. Apa yang dialami putrinya Marianna adalah gambaran nyata dari pembelajar yang ingin berbicara bahasa Inggris hari ini, yaitu merasa takut kalau berbuat salah, merasa depresi sebab beranggapan bahwa kemampuan dalam bahasa Inggrisnya akan dianggap baik bila dia melakukan kesalahan yang sedikit serta kesadaran pribadi bahwa jarak level bahasa Inggris yang dia kuasai sangat jauh dibanding dengan level bahasa Inggris yang diinginkan atau dicita - citakan. Bahwa ternyata attitude atau prilaku dan citra diri sangat berpengaruh dalam bagaimana seseorang berbahasa, bukan hanya level bahasa Inggrisnya yang tinggi saja. Terbukti saat dia bertemu dengan  karyawan yang berbahasa inggrisnya rendah yang menggunakan kosakata seadanya tapi dia justru lebih memahami apa yang disampaikan karyawan tersebut, dibanding dengan karyawan di apotek sebelah yang tinggi dalam level penguasaan bahasa Inggrisnya. Tanda kesuksesan dalam berkomunikasi adalah adanya pemahaman terhadap apa yang orang lain sampaikan and mampu meresponnya dengan efektif. Lalu apakah kesulitan dalam berkomunikasi dalam bahasa Inggris ada hubungannya dengan pembelajaran bahasa Inggris di sekolah – sekolah? mari kita simak uraian selanjutnya.

Pembelajaran bahasa Inggris di sekolah.
Saya teringat saat menjadi peserta didik di salah satu sekolah menengah. Saya pernah punya pengalaman menarik terkait pelajaran bahasa Inggris. Pada suatu ketika saya mengikuti kelas, saya diintruksikan untuk membuat kalimat dalam bahasa Inggris dalam passive voice atau kalimat pasif. Setelah saya mengerjakan dan memastikan bahwa apa yang saya kerjakan adalah benar sesuai rumus kalimat pasif, lalu penulis menyerahkannya kepada pendidik untuk dikoreksi dan dinilai. Saya merasa sangat percaya diri dengan tugas yang sudah saya kerjakan tadi. Lalu tiba – tiba ada teman yang memberitahu bahwa saya mendapat nilai nol. Saya terheran dan terhenyak merasa ada yang aneh. Lalu saya mencocokkan kembali tugas saya tersebut dengan rumus yang ada. Ternyata tidak ada yang salah bila dikaitkan dengan rumus. Mengapa saya dapat nilai nol? Teman saya yang juga heran, mencoba bertanya pada pendidik kelas bahasa Inggris tersebut. Ternyata beliau menjawab bahwa saya tidak menaruh tanda titik dalam semua kalimat saya. Beliau berargumen bahwa sebuah kalimat itu bisa disebut kalimat apabila dia diakhiri dengan tanda titik. Dan benar bahwa dari angka satu sampai sepuluh dari daftar kalimat yang saya buat, memang tidak mencantumkan tanda titik. Ya sudah akhirnya saya pasrah membawa nilai nol itu ke rumah.

Bisa dibayangkan ada berapa banyak peserta didik yang sebenarnya dia paham akan maksud suatu teks tetapi gara – gara dia terlewat satu huruf, dia dianggap salah. Sekolah menilai kemampuan bahasa Inggris seorang anak dengan ukuran benar atau salah maupun jelas atau tidak jelas.  Apa yang disampaikan Marianna pada akhir sesi penyampaiannya juga menurut saya sangan cocok untuk menjawab mengapa nilai bahasa Inggris seseorang bisa jadi sangat bagus namun saat berbicara bahasa Inggris gagal dalam mengutarakan apa yang akan disampaikannya. Konsep yang diajarkan di sekolah tentang bahasa Inggris yang dinilai berdasarkan benar atau salah, jelas atau tidak jelas tersebut dibawa sang anak dalam kehidupan nyatanya baik saat dia nanti bekerja maupun berinteraksi dengan orang lain.

 Sekolah mengajarkan bahasa Inggris sebagai pelajaran yang perlu dikuasai, bukan bahasa Inggris sebagi alat komunikasi. Sebagai akibatnya, anak tersebut kesusahan untuk berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Penjelasannya begini: masih menurut Marianna, saat seseorang sedang dalam keadaan tertekan karena otaknya bekerja untuk dua hal (1)menyusun kata – kata dalam bahasa Inggris, mengingat – ingat bagaimana cara pelafalan kosa katanya, dan aspek - aspek gramatikal lainnya;(2) menyampaikan secara benar apa yang akan disampaikan dengan menggunakan bahasa Inggris sehingga orang yang kita ajak bicara paham, otak akan kalau dalam bahasa Marianna “shut down”  atau berhenti bekerja. Tanda otak yang berhenti bekerja adalah: a) kalau ada orang berbicara, dia akan terus hanya bisa mendengarkan tanpa ada kata- kata yang bisa keluar dari mulutnya walau dia berusaha berbicara dengan baik, (b) Karena otak sangat sibuk berpikir bagaimana berbicara dengan susunan kata – kata yang bagus, seseorang akan gagal dalam berfokus terhadap apa yang orang lain bicarakan karena terlalu berfokus pada dirinya sendiri untuk bagaimana terlihat  benar dalam berbicara bahasa Inggris.(c)Adalah tidak apa- apa apabila seseorang tidak percaya diri karena tidak bisa mengekspresikan apa yang menjadi maksudnya, namun sering kali orang memandang ketidakpercayaan diri ini sebagai kegagalan dalam tugas seseorang terkait penampilan dalam menyampaikan sesuatu.

Dalam kehidupan nyata, kita sebagi manusia pertama kali belajar bahasa bukan dengan menghafal aspek gramatikalnya, tetapi langsung pada praktek bagaimana kalimat tersebut disampaikan seperti yang ada dalam riset Fernandes Arung(2015). Anak belajar bahasa pertama kali dari orang tuanya misalnya berkata thank you dan lain sebagainya. Coba dibayangkan, pasti akan sangat sulit ketika seorang anak belajar bahasa inggris tetapi yang dia ketahui hanya per kata, dia akan gagal memahami ketika ada frasa atau kalimat yang ketika diartikan secara gramatikal per kata.

Lalu untuk apa sebenarnya kita belajar bahasa Inggris? Memang sangat penting untuk mempelajari aspek – aspek gramatikal seperti pengucapan(pronounciation), kosa kata(vocabulary), struktur kalimat (structure),dan lain sebagainya, tetapi tanpa keberanian berkomunikasi dalam bahasa Inggris, kita dan anak – anak kita juga tidak akan kemana – mana karena tidak bisa mengekspresikan apa yang dia pikirkan. Padahal, dalam lini kehidupan, untuk seseorang menjadi maju salah satu kuncinya dalah keberanian untuk berkomunikasi entah melalui lisan atau orally maupun secara tertulis atau written.

Dalam bahasa sangatlah jelas bahwa ada aspek kemampuan aktif dan aspek kemampuan pasif seperti yang disampaikan Naushad Husein(2015). Aspek kemampuan pasif menyangkut mendengarkan dan membaca,sedangkan aspek kemampuan aktif adalah berbicara dan menulis. Kemampuan aktif maupun pasif ini seharusnya diajarkan secara seimbang. Memang lebih mudah menekankan atau menilai seorang anak dari aspek hapalan sehingga kita tinggal menilai ini benar atau salah, jelas atu tidak jelas, akan tetapi dalam hidup ini apa gunanya kemampuan menghafal itu? Memang mengajarkan kemampuan aktif itu butuh proses yang panjang dan melelahkan, akan tetapi bukankah belajar sendiri adalah proses?mengapakah kita sangat terburu – buru untuk menilai seseorang berhak mendapat nilai sempurna ataupun nilai buruk?

 Saya sangat yakin bila Faisal tadi dites dengan sistem sekolah kita, dia akan mendapatkan nilai buruk karena penguasaan bahasanya rendah. Padahal rasa percaya diri Faisal dalam berbicara bahasa Inggris juga tidak dipunyai banyak orang. Mungkin akan lebih mudah bagi seorang guru ntuk mengajarkan agar tingkatan penguasaan bahasa seorang anak meningkat saat sang anak mempunyai rasa percara diri dan tidak takut bila melakukan kesalahan karena kesalahan kan bisa diperbaiki segera, akan tetapi mind set atau pola pikir yang cenderung tertanam dalam benak sang anak tentang penilaian itu berdasarkan benar atau salah, jelas atu tidak jelas, akan sangat menghambat untuk kemampuan berkomunikasinya ke depan dan akan lebih lama prosesnya karena butuh membentuk pola pikir dan kepercayaan dirinya dahulu.

Terkadang orang takut ditertawakan karena aksen bahasa Inggrisnya terpengaruh logat bahasa daerahnya. Sebenarnya ini bukan masalah. Coba sejenak carilah video pembicara dari negara lain seperti Thailand, Jepang, Spanyol, Korea, dan sebagainya. Saya juga jadi ingat teman saya yang ikut program pertukaran pelajar. Saat dia pulang, saya tanya, bagaimana temanmu pengucapan bahasa inggrisnya bisa ndak kamu pahami?saya bertanya begitu karena ada beberapa peserta program itu yang  memang sulit dimengerti pelafalan bahasa Inggrisnya. Ternyata dia juga menjawab iya susah banget, bahkan temanku Thailand bila menyebut nama  saya  "anami" padahal sudah saya ajari bahwa nama saya pengucapannya Hanafi, bukan "anami". Saya ikut ketawa saja mendengarnya sambil bergurau: namamu kok jadi kayak orang Jepang begitu ya kalau dia yang mengucapakan. Alhasil, kami tertawa bersama. Mereka yang dari negara lain juga ndak bisa melafalkan aksen – aksen tertentu dalam bahasa Inggris, tetapi mereka mendirikan bisnis,kuliah, kursus, meneliti ataupun melancong kemana - mana. Jadi mengapakah kita tidak percaya diri?(admin/dewi)


 Referensi:
https://www.youtube.com/watch?v=Ge7c7otG2mk
https://www.asiaspeakers.org/members/marianna-pascal
https://www.researchgate.net/publication/274310952_Language_and_Language_Skills
https://www.researchgate.net/publication/282504466_Language_Acquisition_and_Learning_of_Children_-_A_Mini_Project_on_Second_Language_Acquisition



Selasa, 14 Agustus 2018

Persepektif Agraria Kritis Sebuah Review Book Bagian 2



Oleh :Dewi Indasyah

Deskripsi buku :
Judul Buku       : Persepektif Agraria Kritis, Teori Kebijakan dan Kajian Empiris
Penulis              : Mohammad Shohibudin
Tahun               : 2018
Penerbit            : STPN Pres
ISBN               : 602-7894-36-9
Halaman           : ixiv+233, 15x23 cm


Persepektif agraria kritis dalam buku ini ditinjau dari segi konsep, teori dan penerapannya pada beberapa kasus, pembahasan mencakup tiga fokus kebijakan yaitu : reforma agraria dan tata pengurusan agraria, pembaruan desa, serta kasus perubahan sosial daerah yang menyoroti dinamika konflik dan perdamain di aceh, termasuk bagaimana kasuc wacana keagamaan yang mengambil contoh dari ijtihad agraria Nahdlatul Ulama.
Persepektif agraria kritis merupakan pendekatan interdisipliner dan komparatif mengenai sumber-sumber agraria, hubungan teknis dan sosial yang berkaitan dengannya, termasuk tata pengurusan (governance) yang bisa berupa isu kebijakan dan dinamika sosial. Pendekatan persepektif agraria kritis melibatkan kepedulian kuat dan keberlanjutan pada prinsip kedilan sosial, kesetaraan ekonomi dan keberlanjutkan ekologi.
Definisi di atas dapat dilihat dari segi ontologis yaitu persepektif agraria kritis berfokus pada sumber-sumber agraria (SSA) relasi-relasi teknis dan hubungan sosial pihak-pihak terkait, serta tata pengurusan seputar SSA tersebut. Dilihat dari sisi epistimologisnya persepektif agraria kritis melibatkan studi yang bercirikan inter-disipliner dan komparatif. Sedangkan dari aspek metodologis dalam penggalian data dan informasi, selain berfokus pad kebijakan juga menaruh perhatian terhadap dinamika perubahan sosial dalam arti luas dan tidak terbatas, serta perubahan sosial dalam pengimplementasian kebijakan. Sudut aksiologis “persepektif agraria kritis” dalam melakukan kajian, peduli dengan prinsip-prinsip keadilan sosial, kesetaraan ekonomi, dan keberlanjutan ekologi.
Ciri riset persepektif agraria kritis bersifat terlibat yang artinya menantang secara akademis relevan secara sosial dan memihak pada si miskin. Persepektif agraria kritis menyadari bahwasanya hubungan-hubungan sosial menyangkut agraria bersifat kompetitif. Oleh sebab itu hubungan-hubungan tersebut dipastikan ada unsur ketimpangan, pemerasan dan ketidakberlanjutan ekologi di dalamnya. Persepektif agraria kritis tidak memandang bahwa unsur-unsur ketimpangan, pemerasan dan ketidakberlanjutan ini sebagai suatu hal yang alamiah terjadi namun justru ditelaah secara kritis dengan kerangka keberpihakan kepada kelompok miskin. Tujuan dari adanya persepektif agraria kritis yaitu mewujudkan struktur agraria yang adil, relasi produksi dan distribusi surplus yang setara, disertai dengan lestarinya ekosistem.
Corak persepektif agraria kritis yang bersifat interdisipliner dapat memakai titik penekanan pada disiplin tertentu sebagai fokus pengembangannya.  Persepektif agraria kritis juga melibatkan konsep, teori, jenis analisa dari disiplin-isiplin dari ilmu yang beragam. Sebagai contoh dalam kontekstualisasi persoalan agraria, dalam analisis aspek teknis menggunakan disiplin ilmu agronomi, ekologi dan bio ekologi, dalam analisi aspek sosio agraria menggunakan kajian agraria dan sosio ekonomi sedangkan analisis aspek kewilayahan menggunakan agro geografi dan studi lingkungan kritis. Kemudian dalam analisis rezim regulasi dan kebijakan memakai disiplin ilmu ekologi politik.
Pesepektif agraria kritis memiliki tujuh pokok bahasan konseptual atau teoritis, yaitu : (1). Lingkup dan cakupan sumber-sember agraria. (2) Relasi agraria dan sebyek agraria. (3). Proses dalam relasi sosial agraria. (4). Konstruksi persoalan agraria. (5). Kontekstualisasi persoalan agraria. (6). Tata pengurusan agraria. (7). Pertarungan sosial yang berwujud tantangan akses dan ancaman eksklusif dan keharusan perjuangan sosial yang kontnu guna meresponnya.

Sumber-Sumber Agraria
Dalam pasal satu (1) ayat dua (2) Undang-Undang Pokok Agraria menyebutkan bahwa : Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Pasal tersebut diatas dapat dimaknai sebagai sumber-sumber agraria lalu dalam ayat (4), (5), dan (6) diperjelas lagi : dalam pengertian bumu, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi dibawahnya serta yang berada di bawah air. Dalam pengertian air, termasuk baik perairan pedalaman maupun laut. Yang dimaksud dengan ruang angkasa ialah runag di atas bumi dan air.
Dalam buku ini penulis menggunakan istilah sumber-sumber agraria hal itu berbeda dengan ketetapan TAP MPR No IX/MPR/2001 yang menggunakan istilah sumber daya agraria, seakan hanya persoalan ekonomi, padahal agraria tidak hanya berurusan dengan ekonomi, namun melibatkan aspek sosial, budaya, politik, keamanan, dan spiritual. Dalam UUPA menyebutkan bahwa sumber-sumber agraria yang berada di wilayah Republik Indonesia adalah “Karunia Tuhan Yang Maha Esa” dan merupakan kekayaan nasional. Dari kutipan diatas jelaslah bahwa sumber-sumber agraria bukan hanya urusan ekonomi semata tetapi mengandung religiusitas dan rasa nasionalisme.
Pasal 1 ayat (3) UUPA juga menjabarkan bahwa sumber-sumber agraria yang multi aspek ini hubungannya bersifat abadi selama rakyat indonesia masih bersatu sebagai bangsa indonesia dan selama masih ada bumi air dan runga angkasa indonosia.

Relasi Agraria dan Subjek Agraria
Persepektif agraria kritis tidak berfokus pada sumber-sumber agraria atau objek agraria secara fisik seperti taksonomi, fungsi kandungan dan sebagainya. Hal-hal bersifat fisik juga turut jadi pertimbangan, tetapi fokus ppersepektif agraria kritis adalah dari segi teknis yang berhubungan dengan aktifis kerja manusia terhadap objek agraria. Aktifitas kerja manusia pada objek agraria inilah yang disebut relasi teknis agraria sedangkan relasi sosial agraria atau relasi sosio agraria yaitu hubungan yang menyangkut manusia dan sesamanya (baik perorangan maupun lembaga) terkait aktifitas kerja mereka terhadap sunber-sumber agraria. Relasi agraria in bukan hanya berlangsung di masyarakat tetapi juga menyangkut relasi dengan pemerintah. Ada
Terdapat empat poin dalam relasi sosio agraria yaitu : (1) Penguasaan dan pemilikan sumber-sumber agraria. (2) penggunaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria. (3) pembagian kerja dan relasi produksi yang berlangsung di dalamnya. (4) penciptaan surplus dari ketiga proses diatas sekaligus dinamika akumulasi ekspansi dan distribusinya.
Relasi sosial agraria berkaitan dengan lima pertanyaan berikut : . Pertama mengenai relasi sosial agraria yang berhubungan denga penguasaan dan dan pemilikan sumber-sumber agraria. Pertanyaan kedua adalah tenyang pembagian kerja secara sosial antara pihak-pihak terkait dalam proses produksi. Pertanyaan ketiga menyangkut penggunaan dan pemanfaatan sumber agraria tertentu dan juga bagaimana kerja serat hubungan produksi yang terjadi didalamnya. Pertanyaan keempat yaitu jenis pemanfaatan hasil kerja diantara pihak-pihak yang terlibat dalam proses produksi. Sedangkan pertanyaan kelima mengenai politik agraria lingkungan dari pihak-pihak yang berkepentingan termasuk juga pihak yang tidak terlibat dalam proses produksi.

Dari kelima pertanyaan-pertanyaan diatas sebagai asumsi dasar persepektif agraria kritis tidak lepas dari kontestasi dan dominasi yang pada ujungnya muncul ketimpangan dan ketidak adilan.

Sabtu, 11 Agustus 2018

Teknologi: Menjadi Ahistoris dan Hilangnya Relasi Kehidupan



Oleh:Nuzullia
 Vrilio dalam artikelnya "The Last Vehicle", eksistensi manusia di dalam wadah ruang mengalami perubahan mendasar dari sebentuk tubuh yang bergerak di dalam ruang, menjadi sebentuk tubuh yang diam di tempat sebagai satu kutub inersia. Sebagai titik dimana subyek menampung, menahan, menyerap setiap zat dan gerakan yang datang (informasi, tontonan, gaya) lewat simulasi elektronik.
Dunia dalam satu genggaman, mulai dari belanja, bayar listrik, cicilan motor, baca berita, baca buku, nonton film,  pengajian, permainan, belajar ngaji, sampai tutorial jilbab dan make up. Lebih lanjut penjelasan Vrilio tentang adanya energi sinematik sebagai energi ketiga yang dapat ditambahkan. Dalam dunia hari ini manusia berpindah waktu dari ekstensif-historis menjadi waktu intensif-keseketikaan yang ahistoris. Sebab, waktu adalah sejarah maka pergerakan dan kecepatan sinematik adalah halusinasi sejarah, membongkar kronologi, ekspansi, dan eksistensi.
Misal belanja kebutuhan hari raya keluarga, sebelum berangkat ke pasar atau pusat perbelanjaan mengajak serta keluarga atau teman. Sebelum berangkat mengatur janji, menyiapkan kendaraan. Di tengah perjalanan sampai di tempat bertemu dengan banyak orang seperti tetangga, orang-orang baru (penjual, pembeli, tukang parkir, dll) kadang tak sengaja bertemu kawan lama. Adanya tawar menawar dengan penjual manjadikan adanya interaksi. Berbicara dengan banyak pedagang satu dan lainnya, memilih barang, berganti dari satu toko ke toko lain. Selanjutnya, barang-barang yang dibeli untuk sampai rumah memakai transportasi umum.
Satu pekerjaan belanja telah demikian panjang menjadi historis, karena tak lepas dari ruang dan waktu. Tak akan ada cerita yang demikian panjang jika berbelanja di toko online, tak ada interaksi nyata penjual-pembeli, tanpa perbincangan, tanpa ribet bawa barang pulang. Cukup klik tombol pesan barang dikirim sampai rumah, tak perlu meminta bantuan keluarga atau teman. Mencari barang murah tak perlu tawar menawar, cari model baju tak perlu muter satu pasar,semua dalam satu genggaman, gadget,  tanpa ribet.
Teknologi Mengubah Pengalaman dan Persepsi Manusia
Hubungan manusia dan teknologi menurut Ihde akan menghindari dua posisi ekstrim tentang teknologi. Di satu sisi adalah reifikasi teknologi, yakni teknologi mempunyai hidup sendiri yang mengontrol manusia semisal artificial intelligence. Sisi lainnya ialah netralitas teknologi yakni teknologi dilihat pada dirinya sendiri sebagai objek atau artefak (hasil buatan manusia yang tidak tersedia di alam). Contoh, senapan pada dirinya sendiri tidak berbahaya. Senapan menjadi berbahaya ketika digunakan manusia.
Persepsi manusia terhadap dunia kehidupan berubah apabila teknologi dijadikan mediator antara manusia dan dunia kehidupan. Bahkan menurut Ihde, bukan hanya persepsi yang berubah lebih jauh persepsi yang diwujudkan melalui instrumen pun tidak setara (incommensurate) dengan observasi langsung tanpa alat betapa kecil pun tingkat perbedaannya melainkan praksis juga berubah. Cara manusia menggunakan alat teknologi otomatis mengubah relasinya dengan dunia kehidupan dibandingkan dengan ketika tidak menggunakan alat teknologi.
Ada dua jenis persepsi, pertama, mikropersepsi adalah persepsi manusia yang langsung melalui tubuh dan semua indera. Dunia kehidupan dialami secara langsung melalui tubuh dan semua indera, Don Ihde menyebutnya body one. Kedua, makropersepsi adalah persepsi manusia yang diperoleh melalui struktur atau budaya manusia berada, seperti cara berpikir, kerangka pemikiran yang sudah ada dalam diri manusia, kebiasaan dan lain-lain. Artinya, kita merupakan tubuh dilihat dari sisi masyarakat dan sosial, Don Ihde menyebutnya body two.
Antara body one dan body two terletak dimensi ketiga, yaitu dimensi teknologi. Pengalaman yang paling lazim adalah hubungan kebertubuhan (embodiment relation): manusia mengalami dunia kehidupan melalui alat atau instrumen. Teknologi mengubah pengalaman manusia menjadikan teknologi tidak netral. Tidak netralnya teknologi merujuk pada perubahan pengalaman manusia yang terjadi akibat penggunaan teknologi yang selanjutnya mengubah persepsi waktu, ruang, dan bahasa.
Apa yang sebenarnya jauh sekarang dilihat sebagai dekat dan tubuh manusia menyesuaikan kedudukannya untuk melihatnya sebagai dekat. Begitulah teknologi mempengaruhi persepsi ruang. Demikian juga waktu, Heidegger mengatakan waktu bersifat eksistensial karena waktu dilihat dalam kaitannya dengan apa yang dialami manusia dalam dunia. Pada zaman kuno manusia mematok hidupnya berdasarkan alam. Manusia membaca alam dengan melihat bintang dan sebagainya untuk mengetahui waktu. Sekarang kebalikannya, manusia mengukur alam berdasarkan konsep jam.
Saya mengambil contoh bagaimana teknologi bisa mengubah dua persepsi diatas. Saya mempunyai saudara tinggal cukup lama di Jakarta, jarang pulang ke kampung halaman. Bahkan pernah sampai lima kali puasa tak  pulang ke kampung. Hampir setiap hari melakukan komunikasi melalui telepon dengan keluarga di kampung bisa berjam-jam bahkan sehari sampai tiga kali. Banyak hal yang dibicarakan mulai gosip tetangga sekitar rumah, cerita sekolah anak masing-masing, tanaman di sawah sampai meningkatnya jumlah janda di kampung. Maka ketika pulang ke kampung halaman berbagai persoalan dan cerita kampung telah diketahui.
Pernah saya bertanya kepada saudara tersebut mengapa jarang pulang kampung, ia beralasan bahwa meskipun jarang pulang kampung setiap hari telepon keluarga toh sama saja yang penting saling tahu baik-baik saja. Sangat jelas sebagaimana dikatakan Don Ihde antara mikropersepsi dan makropersepsi ada dimensi teknologi. Dunia kehidupan dialami secara langsung melalui tubuh dan semua indera menjadi cukup terwakili melalui indera pendengaran terpisah ruang sudah mewakili. Demikian juga dari segi makropersepsi, budaya silaturahmi pada keluarga khususnya orang tua menjadi terkikis, apalagi maraknya ponsel pintar bisa melakukan video call dapat saling bertatap muka. Hubungan emosional manusia yang melekat pada kebertubuhan dianggap tidak penting.
Maka hal inilah yang menyebabkan teknologi menjadi tidak netral, padahal di dalam hubungan kebertubuhan alat digunakan sebagai perpanjangan dari tubuh manusia. Alat juga menjadi sebagian dari tubuh manusia dalam relasinya dengan dunia dan sekitarnya. Dengan kata lain manusia menubuh dengan alat. Dalam konteks penggunaannya, teknologi dilibatkan untuk melihat sesuatu dalam cara tertentu yang mengakibatkan perubahan persepsi dan rasa tubuh.
Saya mengambil contoh sehari-hari banyak hal seolah berubah akibat teknologi. Dahulu ketika saya masih kecil seringkali bersama kawan-kawan janjian belajar kelompok, atau bermain ke rumah salah satu teman. Waktu itu tak ada telepon apalagi android dengan berbagai pilihan komunikasi namun kami selalu datang tepat waktu, jika salah satu kawan tak ikut selalu ada pemberitahuan misal ada keluarga yang memberitahu atau dirinya sendiri. Artinya tak ada yang menyalahi kesepakatan. Lain hari ini, dengan segala kemudahan komunikasi orang begitu mudah membatalkan janji atau kesepakatan cukup di share di grup whats app tanpa memikirkan orang lain yang menjalankan kesepakatan.
Teknologi merubah persepsi dan rasa tubuh, kemampuan inderawi dan rasa manusia perlahan hilang. Mulai dari tidur tak bisa lepas dari alarm, kemampuan mengingat lemah mengandalkan segala hal pada google. Sebelum adanya google map, orang yang berpergian akan berusaha mengingat setiap hal yang dilewati sebagai petunjuk jalan, ataupun bertanya kepada orang. Disinilah yang dimaksud perubahan persepsi dan rasa tubuh. Maka ketika ponsel pintar yang sejatinya digunakan sebagai alat perpanjangan tubuh manusia menjadi mengendalikan manusia. Contoh ketika ponsel ini mati di tengah perjalanan sedangkan segala hal sudah tergantung pada benda ini, tak ada satu nomor telepon pun yang diingat, demikian juga jalan menuju arah rumah tak diketahui. Maka benarlah kata : "Manusia tidak dapat mengendalikan teknologi sehingga justru dikuasai olehnya".

___________________
1. Yasraf Amir Piliang. 2004. Dunia yang Dilipat, Tamasya melalui Batas-batas Kebudayaan. Yogyakarta: Jalatsutra.
2. Francis Lim. 2008. Filsafat Teknologi: Don Ihde tentang Dunia, Manusia, dan Alat. Yogyakarta: Kanisius.