Minggu, 24 November 2019

Dosa Jariyah Air Dalam Kemasan

M. Fahmi Saiyfuddin


Kredit foto: Lutviavandi.com


Praktis, ya satu kata ini sangat familiar bagi kita generasi 2000-an, satu kata yang mengandung makna mempermudah atau memotong proses tahapan agar menjadi lebih cepat. Hal tersebut tentu sangat berguna dan manfaat bagi penunjang kelangsungan hidup manusia, karena terkesan meringankan beban kehidupan seperti kebutuhuan manusia akan air yang mudah ditemukan di warung-warung atau minimarket sepanjang jalan.

Namun kendati demikian, apakah kondisi tersebut baik juga bagi kelangsungan hidup manusia ke depannya ? tentu hal tersebut masih dalam perbedebatan para ahli, namun ada sebuah hipotesis atau dugaan mengenai jawaban tersebut kawan sekalian, dan marilah kita ulas bersama.
Air, merupakan kebutuhan pokok bagi seluruh umat manusia, maka tidaklah heran pendiri bangsa kita menyebut Indonesia dengan sebutan tanah air. Karena kita tidak akan bisa hidup kecuali berada di atas tanah, dan kita tetap memerlukan air untuk menunjang segala kebutuhan domestik seperti masak, mencuci dan hal lainnya. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Sidang Umum pada 28 Juli 2010 mendeklarasikan bahwa setiap individu berhak memperoleh air. Oleh karenanya, negara memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak tersebut. Atas dasar itu pula, pemerintah harus memastikan bahwa air yang ada di dalam negeri dimanfaatkan untuk sebenar-benarnya kemakmuran rakyat, seperti yang telah dimandatkan oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasal 33 ayat 3.

Sejarah pun membuktikan bahwa peradaban-peradaban besar dunia, biasanya berada di sekitar sungai-sungai, sepeti Peradaban Sungai Niil Mesir, Peradaban Sungai Gangga India, dan lain-lain. Tapi kini kita melihat sungai-sungai sudah sangat tercemari oleh berbagai macam limbah, baik limbah industri maupun limbah-limbah kecil dari tangan tak bertanggung jawab yang seenaknya membuang sampah seperti plastik, bekas botol mineral, dan sampah-sampah lain yang menjadi pandangan menakjubkan dan memilukan, serta tak jarang meninmbulkan semerbak bau yang sungguh amat menusuk hidung.

Hal tersebut sering dijumpai di Kota-kota besar serta kawasan industrialisasi, walaupun kini sebagian wilayah perdesaan pun mulai merangsek berbagai industrialisasi. Kondisi ini mengakibatkan menurunnya kualitas air tanah karena pencemaran yang kian buruk dan berkelanjutan, sehingga menjadikan masyarakat kota mau tidak mau mengkonsumi air dalam kemasaan yang didapat dari wilayah yang memiliki air melimpah.

Tapi tahukan teman-teman sekalian, bagaimana kondisi di sekitaran pabrik air mineral dalam kemasan tersebut ?

Di beberapa area dimana sumber air mulai dikomersialiasikan, warga mulai kesulitan mendapatan air bersih. Di Kecamatan Cidahu dan Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat misalnya. Pada tahun 2009, tercatat, ada 27 perusahaan di area ini yang operasionalnya menggunakan air tanah sehingga mengganggu pemenuhan kebutuhan air rumah tangga warga sekitar.
Berdasarkan hasil penelitian Widarti (1995) yang dikutip dari Laporan Penelitian Amrta Institute mengenai pendapatan dan belanja sektor air, kebutuhan air bersih untuk setiap rumah tangga per tahunnya adalah sebesar 204.6 m³. Merujuk pada data tersebut, total kebutuhan air bersih warga Kecamatan Cidahu per tahunnya adalah 4.519.203 m3. Sementara, total volume air yang diambil oleh sekitar 27 perusahaan yang beroperasi di kecamatan tersebut selama tahun 2006 saja mencapai 5.960.671 m3. Artinya, jumlah volume air yang diambil pihak perusahaan lebih besar daripada jumlah kebutuhan air bersih untuk rumah tangga warga.

Tidak hanya itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Koalisi Rakyat untuk Hak Air (KRuHA) pada tahun 2006, muka air tanah pada sumur gali milik warga di enam desa di Kecamatan Cidahu mulai menurun rata-rata mencapai 5-8 meter. Di Desa Babakanpari misalnya – lokasi pabrik PT. Aqua Golden Mississippi –  tinggi muka air sumur sebelum pabrik beroperasi di wilayah itu biasanya mencapai 1-2 meter. Namun kini, tinggi muka air sumur milik warga hanya mencapai maksimal 15 cm. Agar tetap dapat memperoleh air, warga lalu memperdalam kembali sumurnya hingga mencapai 15-17 meter, dari yang sebelumnya 8-10 meter.

Data ini dimuat dalam film Dokumenter yang diunggah oleh Yayasan Tifa (Tifa Foundation) pada 27 Agustus 2013 dengan judul  “Air Keruh untuk Rakyat, Air Bersih untuk Industri”. Link : https://www.youtube.com/watch?v=S9zoZKNdEMU

Begitupun, setelah air tersebut dikemas, menimbulkan masalah baru yang tak kalah meresahkan, yakni Dampak Limbah Plastik.

Selain dampak buruk dari air mineral saat produksi, ada dampak buruk baru yang timbul, yakni sampah plastik. Bisa diuraikan demikian :
1 Gelas air dalam kemasan : isi 250 ml : Rp. 500
1 Botol air dalam Kemasan : isi 500 ml : Rp. 3000 – Rp. 5.000
1 Botol air dalam Kemasan : isi 1 Liter / 1000 ml : Rp. 5000 – Rp. 10.000
1 Galon air isi ulang : 19 liter : 19.000 ml : Rp. 5.000 – Rp. 15.000
Tradisi buruk dewasa ini dengan dalih ‘Praktis’ menjadikan kita terbiasa membeli atau mengunakan  air dalam kemasan Gelas, Botol Tanggung 600 ml, atau Botol 1 Liter untuk kebutuhan individu maupun kegiatan berkelompok. Jika kita kalkulasikan dengan volume air untuk 1 galon berisi 19 liter, maka akan ditemukan data demikian:
1 Galon : 19.000 ml – 1 Gelas : 250 ml : maka butuh 76 Gelas, harga : Rp. 38.000
1 Galon : 19.000 ml – 1 Botol : 500 ml : maka butuh 38 Botol, harga : RP. 114.000 – Rp. 190.000
1 Galon : 19.000 ml – 1Botol : 1 Liter/ 1000 ml : maka butuh 19 botol : Rp. 95.000 – Rp. 190.000
Jika Hasil dari ketiga tersebut di kurang harga untuk membeli 1 buah Galon, maka akan ditemukan:
Rp. 38.000 – Rp. 15.000 = Rp. 23.000
Rp. 114.000 – Rp. 15.000 = Rp. 99.000
Rp. 95.000 – Rp. 15.000 = Rp. 80.000
Jelaslah, Berapa uang yang kita keluarkan hanya untuk membeli pembungkus yang akhirnya menjadi ‘Sampah’ serta menimbulkan masalah yang berkepanjangan, walau terdapat dalih mampu untuk didaur ulang, namun realitanya menimbulkan dampak berkelanjutan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jenna R. Jambeck dari University of Georgia, pada 2010 ada 275 juta ton sampah plastik yang dihasilkan di seluruh dunia. Sekitar 4,8-12,7 juta to diantaranya terbuang dan mencemari lautan. Indonesia yang yang setiap tahunnya menghasilkan 3,22 juta ton sampah plastik yang tak terkelola dengan baik, berdampak sekitar 0,48-1,29 juta ton sampah plastik yang mencemari lautan. Bahkan data penelitian tersebut  mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara dengan jumlah pencemaran sampah plastik ke laut terbesar kedua di dunia.
Tidak berhenti sampai disitu, pencemaran akan bisa terus meningkat. Saat ini, industri-industri minuman di Indonesia merupakan sektor yang paling pesar pertumbuhannya. Pada kuartil I-2019, pertumbuhan Industri minuman mencapai 24,2% secara tahunan.

Pertumbuhan industri minuman yang sangat pesat tentu saja akan menghasilkan pertumbuhan jumlah sampah plastik yang semakin banyak. Terlebih saat ini kapasitas pengelolaan limbah plastik masih terbilang minim. Hal ini merupakan ancaman keberlanjutan terhadap kehidupan umat manusia.

Ada satu hal menarik pendapat seorang teman, bahwa mereka yang membuang sampah sembarang akan mendapat dosa jariyah. Loh kok bisa ? Contoh kamu buang satu botol plastik sembarang sudah dosa, kemudian plastik itu hanyut ke kali/sungai maka dosa lagi, lalu membuat kali tercemar maka dosa lagi, kemdian membuat kali tersendat maka dosa kali, hingga air kali keruh dan bau maka dosa lagi, lantas menimbulkan banyak penyakit maka dosa lagi. Oh Tuhan Ampuni seluruh hambamu ini atas dosa jariyah tersebut.

Satu hal lagi kawan, aku berfikir setelah kita tahu bahwa proses pembuatan air mineral dalam kemasan menimbulkan dampak buruk bagi warga sekitar pabrik. Maka aku ragu saat ada air mineral dalam kemasan yang kemudian didoa’kan, apakah doa’ tersebut terqobulkan atau tidak ? karena air tersebut tersebut mengandung doa’ orang-orang yang terzdolimi karena sumber air dicuri oleh perusahaan. Wa Allahu A’lam !.

Rabu, 13 November 2019

Pilkades dan Spirit Dana Desa



Kredit foto: radar mojoMojok



Penulis: Iswan Taufik

Seperti biasanya, selama 1 periode dalam jangka waktu 5 tahun terakhir akan digelar lagi tradisi pemilihan pemimpin di tingkat desa atau biasa kita sebut "Pilkades" (Pemilihan kepala desa).

Namun didalam kontestasi kali ini, tampaknya telah terjadi perubahan yang lebih signifikan, karena perekrutan calon kandidat terlihat lebih ketat dengan segala peraturan-peraturan dan perolehan skor yang telah di keluarkan oleh Perbup/Pemda (Pemerintah kabupaten atau Pemerintah Daerah) aturan tersebut diantaranya :
1.Pengalaman di Lembaga Pemerintahan
2.Jenjang Pendidikan
3.Kategori Usia
4.Penduduk Intern desa/ekstern desa

Peraturan tersebut dikeluarkan dalam rangka pendisiplinan calon kandidat serta menjadi sarana agar calon pemimpin yang termasuk kedalam penjaringan kepanitiaan pilkades tidak bersifat kontradiktif antara kemauan memimpin dan kapasitas untuk menjadi seorang Pemimpin. Sehingga, syarat-syarat yang telah diupayakan tersebut dipandang perlu untuk diberlakukan, terlepas dari kelebihan serta kekurangannya.

Pada masa kepemimpinan Soekarno tepatnya pada pasca kemerdekaan Republik indonesia. Sebagaimana kita ketahui, catatan sejarah mengatakan Indonesia belum menempuh kedaulatan seutuhnya. Demi mengemban amanat kemerdekaan, mau tidak mau Soekarno harus menyembuhkan luka yang diderita oleh bangsa Indonesia  khususnya pengentasan kemiskinan mulai dari sektor terkecil. Misalkan yang melatar belakangi terjadinya penjajahan yaitu alat produksi (tanah) yang terbentang luas mulai dari sabang sampai merauke. Didalam buku hasil riset tokoh revolusioner D. N. Aidit yang berjudul "Mengganjang tujuh setan desa" terdapat catatan bahwasannya kepala desa pada masa itu khususnya di wilayah jawa barat, nyaris semua mempunyai jatah atas tanah yang bersifat eigendom (tanah peninggalan sisa belanda) . Studi kasus yang dapat diambil misalkan, penduduk desa yang berjumlah 3.000 penduduk maka Kepala desa mendapatkan tanah 40% dari jumlah tanah yang dimiliki warga di desa setempat. Padahal, Pemerintan kala itu sudah mengeluarkan UUPA (undang-undang pokok agraria)  dan UUPBH (undang-undang pokok bagi hasil) dalam rangka terwujudnya pendistribusian ulang lahan pertanian atas prakasarsa atau dukungan pemerintah atau yang biasa disebut "Reforma Agraria".Walaupun agenda Reforma Agraria tersebut sudah tersebar luas, akan tetapi banyak sekali yang masih melanggar secara diam-diam atau bahkan menentang kebijakan yang ada. Utamanya kelompok borjuis atau tuan tanah yang telah menjalin hubungan gelap dengan kapitalis birokrat dan pemerintah desa. Kepala desa, borjuasi serta kapitalis birokrat yang menentang kebijakan itu, didalam benaknya tentu tidak lain hanyalah untuk melindungi harta kekayaaan mereka atas akumulasi tanah yang telah ada.

Pasca kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2014 terjadi perombakan kebijakan dari tingkat nasional sampai pedesaan khususnya dana desa dan anggaran dana desa. Di era  pemerintahan SBY untuk dana desa mempunyai dianggarkan 60 juta pertahun, akan tetapi di garis estafet kepemimpinan Presiden Jokowi menjadi 1,8 M pertahun. Secara kuantitatif, terobosan dana yang telah dikucurkan kedesa itu bukanlah hal yang sedikit sehingga memerlukan pengawasan yang cukup jeli untuk dana tersebut agar bisa dipergunakan secara produktif oleh Pengelolanya yakni Kepala Desa. Selain itu, watak kebijakan pembangunan Soeharto yang berdampak luas serta berlangsung sampai hari ini.  Persoalan dana desa pun masih menganut watak orde baru yaitu bagaimana  Pembangunan infrastruktur dan pembangunan sumber daya manusia bisa seimbang. Tentu hal ini bukanlah hal yang mudah, apalagi paradigma masyarakat juga masih terkesan  stagnan tentang  idealnya sosok pemimpin yang di idamkan. Faktanya tidak jarang penilaian masyarakat tentang pemimpin yang baik itu diimajinasikan sosok pemimpin yang mampu menyulap jalan terjal menjadi jalan aspal, ladang dan tanaman jagung menjadi gedung-gedung. Padahal di era yang serba keterbukaan ini masyarakat tidak hanya membutuhkan pembangunan secara fisik, akan tetapi bagaimana agar masyarakat mampu dibangun secara peningkatan kualitas sumber daya manusia. Jika paradigma tersebut terus-terusan dilanjutkan, bukan tidak mungkin dana desa yang telah dikucurkan pemerintah hanya akan mempersempit ruang gerak pedesaan dengan segala mitos pembangunan yang ada.

Kami tidak hanya butuh pemimpin yang hanya bermental beton (aspal), akan tetapi yang kami butuhkan pemimpin yang mampu mengayomi dan mengarahkan rakyatnya untuk mencapai kesadaran. Kesadaran kegotong-royongan, kesadaran politik, serta kesadaran untuk menjadi manusia seutuhnya yang tidak hanya menghamba pada prestise gedung pencakar langit.

Kedepannya, semoga calon-calon kandidat yang sudah punya tiket di kontestasi Pilkades pada periode 2019-2024 tidak hanya menampakkan arogansinya terhadap kucuran dana desa dan anggaran dana desa  yang telah disediakan. Semoga persyaratan-persyaratan baru yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten guna menyambut pesta demokrasi yang akan diselenggarakan di tingkat desa mampu menghantarkan sosok pemimpin dengan kredibilitas yang tinggi, serta kapasitas dan pemahaman yang cukup untuk membangun desa yang lebih makmur dan sejahtera. Selaras dengan cita-cita Pemerintah yang  telah mengeluarkan kucuran dana miliyaran rupiah untuk disuplai pada pemerintahan ditingkat desa. Desa bukanlah milik individu atau perseorangan, melainkan milik kita bersama dan Bangsa Indonesia. Maka yang paling diperlukan ialah sinergi antara pemangku kebijakan dengan rakyatnya agar dapat menempuh keadilan dan kesejahteraan sosial sebagaimana yang telah tertuang didalam teks Pancasila.

Senin, 04 November 2019

"Fikih Pembebasan: Membebaskan Manusia Dari Masalah Sosial Hukumnya Fardhu Ain"




Seri diskusi #2 Islam progresif yang diadakan oleh Rumah Pengetahuan Daulat Hijau kali ini mengambil tema Fikih Pembebasan pada Jum'at 25 Oktober 2019 mulai pukul 13.30. Fasilitator diskusi M. Fahmi Sayfuddin alumni pesantren Darul Musthofa Jakarta.

"Fikih adalah suatu sangkaan kuat terhadap hukum syariat dengan dalil-dalil yang terperinci" jelas Fahmi membuka diskusinya. Fikih sendiri lahir setelah wafatnya nabi. Ada proses historis yang sangat diperlukan untuk menelisik lahirnya fikih bahkan lahirnya agama.

Dalam menjelaskan tentang 'pembebasan', Fahmi menarasikan sejarah lahirnya Islam melalui perjalanan hidup Muhammad sebagai pembawa risalah ketauhidan. Namun Muhammad pun menaruh perhatian lebih terhadap problem sosial umat. Muhammad hidup di tengah jalur strategis perdagangan yakni Mekkah. Namun ditengah ramainya jalur perdagangan berbanding terbalik dengan dinamika problem sosial yakni ketimpangan, penindasan yang merajalela.

Muhammad melakukan dua misi pembebasan yakni dari jerat tidak menyembah Allah dan dari jerat problem sosial. Kelahiran Islam di  tengah orang-orang  miskin, marjinal, atau orang-  orang yang dipinggiran. Fahmi memberikan contoh tentang seorang budak berkulit hitam yang masuk Islam yang ditentang oleh majikannya. Dikisahkan, Bilal mendapatkan berbagai penyiksaan. "Apa kemudian respon nabi?" tanya Fahmi. "Apa bilang pada Bilal suruh sabar, ini cobaan, semua itu dari Allah, nanti masuk surga, amin?" Lanjutnya. Yang dilakukan nabi adalah mengumpulkan harta untuk menebus Bilal, melakukan negosiasi dengan majikannya, dan berupaya membebaskan Bilal. Hal ini sekaligus menjadi bentuk contoh pembebasan Muhammad terhadap rasisme. Oleh kafir Quraisy, ajaran Ubudiyah tidak sepenuhnya ditolak, melainkan muamalahnya seperti lanjutan ayat "dirikan lah sholat" selalu diiringi ayat " tunaikan zakat", hal ini sebagai representasi Ubudiyah harus berjalan beriringan dengan ibadah sosial. Islam pun membatasi kepemilikan pribadi.

Muhammad adalah tokoh pembebasan dunia dan akhirat. Seringkali kita fokus pada persoalan akhirat mengabaikan persoalan dunia. Sedangkan fikih yurisprudensial itu memuat hukum-hukum yang nyata. Misal, apakah orang bisa khusyu'  ketika sholat dalam keadaan lapar?. Contoh lain, latar belakang terjadinya perang badar lantaran pasokan makan umat muslim dicekal oleh Abu Sufyan. Muhammad melakukan perlawanan jika sudah mengancam keberlangsungan hidup umat Islam. Dengan tegas Fahmi mengatakan, "Jadi, konteks Islam rahmatan lil aalamiin bukan Yo wes terima wae, sabar, syukur, ridho, terus melbu Surgo, yang penting di akhirat dunia sementara".

Pemateri kemudian menjelaskan relevansi dengan hukum masa kini. Masa kini tentu berbeda dengan masanya Muhammad. Masa kini telah berada pada era kapitalisme. Kapitalisme adalah sistem ekonomi politik yang menyebabkan terjadinya revolusi industri, kolonialisme Belanda, developmentalisme orde baru, MP3EI ala presiden SBY, dan juga maraknya investasi pada hari ini adalah wujud perpanjangtanganan kapitalisme. Menurutnya, kita sedang menghadapi konsep ekonomi neoliberal, yakni penjajahan gaya baru.

Dengan mengutip pendapat David Harvey, ia menegaskan bahwa neoliberalisme merupakan sebuah teori tentang praktek ekonomi politik, dimana kesadaran manusia bisa dicapai melalui kebebasan-kebebasan kewirausahaan individu dalam kerangka institusional yang disokong oleh hak kepemilikan privat, pasar bebas, dan perdagangan bebas. Negara selaku pemangku kebijakan menjadi panitia dari para penanam modal baik asing maupun domestik. "Negara menjadi panitia dari penyelenggaraan pasar bebas" jelasnya.

Maka jika dikorelasikan dengan Islam progresif terkait fikih pembebasan dengan terlebih dahulu melihat problem  material yakni persoalan sosial. Dalam perspektif Muhammad Al Fayyadl,   penggerak kehidupan sosial adalah ekonomi politik yang hubungan produksi antar kelas-kelas sosial yang ada terus bertarung merebut dominasinya diantara pihak lain baik melalui penguasaan ekonomi maupun kekuasaan politik. Kehidupan umat Islam akan baik dan harmonis jika melakukan rutinitas ibadah dengan baik, persepsi demikian yang sering diamini. Ini adalah cara pandang terbalik.

Oleh karena itu dibutuhkan produk hukum fikih yang didasarkan pada problem sosial, kemudian dicari dalilnya melalui kaidah fikih dan Ushul fikih untuk digunakan landasan hukum agar lepas dari belenggu masalah sosial, seperti penindasan, penghisapan, ketimpangan, dan ketidakadilan sebagai realisasi dari Islam rahmatan lil aalamiin.

Islam melarang kepemilikan berlebih, sebagaimana dalam surat al takatsur, al humazah, atau hadits nabi. Salah satunya berbunyi "tidak dikatakan beriman seseorang yang dirinya kenyang sedangkan tetangganya kelaparan". Lebih jauh lagi, dengan mengambil contoh tentang kafarat (denda). Dalam kajian fikih jika seorang melakukan  kesalahan  besar adalah membebaskan budak. Berikutnya, memberikan makan 40 fakir miskin. Contoh-contoh demikian menunjukkan Islam sebagai agama pembebasan. Berdasarkan ayat-ayat Al Qur'an, hadist nabi baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan, ijma, dan qiyas jelas menunjukkan Islam melarang kepemilikan berlebih dan menumpuk harta, sebuah kebalikan dari kapitalisme. Amat jelas jika kapitalisme menimbulkan mafsadah.

Menjelang akhir diskusi, Fahmi mengatakan bahwa membebaskan manusia dari masalah-masalah sosial adalah fardhu ain. Bahkan ia menyetujui pendapat Asghar Ali Engineer mukmin adalah orang yang berjuang menegakkan keadilan dan berjuang melawan kezaliman. Dengan kata lain seorang yang mengaku muslim namun tidak menegakkan keadilan dan berjuang melawan kezaliman, maka ia telah kafir. Admin