![]() |
| sumber:google.com |
JAKARTA
Di Jakarta orang kaya lebih banyak punya akses untuk
air bersih dibanding orang miskin. Penduduk yang tinggal di daerah pusat bisnis
perkotaan atau lingkungan kelas atas mendapat akses yang lebih disbanding
mereka yang tinggal di daerah kantong- kantong kemiskinan.
Ketimpangan
dalam hal mengakses air antara si Kaya dan si Miskin memperdalam jarak
ketimpangan sosial di masyarakat. Akses penduduk pada air berpengaruh pada
kesehatan, pendidikan, dan pendapatan. Pengurangan ketimpangan dalam berbagai
kelompok sosial yang berbeda, kini menjadi perhatian the Global Sustainable
Development Goals.
Lalu,
apa penyebab dari ketidaksamarataan akses air di Jakarta?
Guna
menjawab persoalan ini para ahli, jurnalis, dan aktivis sering menjadikan
sentralisasi saluran pipa air sebagai penyebab
dari ketimpangan akses air ini.
Para
ahli menyebut bahwa saluran pipa adalah gambaran fisik hubungan kelas sosial
dalam struktur akses kekuasaan. Mereka berpendapat bahwa infrastructure pipa
“memecah” atau “fragment” kota, dan melestarikan ketimpangan yang renggang.
Tetapi
bila hal itu benar bahwa penduduk miskin kota tidak terhubung dengan pipa,
artinya penduduk kaya juga tidak terhubung juga. Pasalnya, berdasarkan data organisasi
yang mengatur persoalan air di Jakarta, penduduk yang berpendapatan tingkat
menengah dan tingkat menengah bawah merupakan kelompok konsumen terbesar dari
dua operator air di Jakarta yaitu Palyia dan Aetra.
Lebih
dari 60% penduduk Jakarta mengandalkan air tanah. Angka tersebut menggambarkan dua
per tiga konsumsi air kota Jakarta atau sekitar 630 juta meter kubik dari 1milyar
meter kubik air per tahun.Air
pipa tidak pernah menyediakan kebutuhan mayoritas air untuk sebagian besar warga
Jakarta. Warga Jakarta menggunakan air
tanah dan juga air botolan.
Penelitian
mengenai peran dari jaringan pipa yang terpusat sebagai penyebab dari adanya
ketimpangan akses air warga kota telah menjadi pertanyaan yang dominan dalam
analisa yang berfokus pada ketimpangan sosial di kota. Tapi landasan teori yang
digunakan untuk menjawab pertanyaan mengenai air, urbanisasai, dan ketimpangan selalu
diambil dari pengalaman atau kasus di Eropa dimana jaringan pipa terpusat
digunakan secara dominan pada umumnya, bukan hanya persediaan air di kota.
Untuk
menjawab ketidaksamarataan akses air di Jakarta, meneliti aliran air bawah
tanah, air buangan, dan pipa air jauh lebih bisa menjawab persoalan tersebut dibanding
hanya melihat fragmentasi jaringan air pipa.
Dalam
penelitian penulis, penulis dan peneliti lain menyelidiki hubungan antara variasi
aliran air dan penggunaan air dengan dampak yang ditimbulkannya pada kelompok
sosial masyarakat yang berbeda. Kami menemukan bahwa ada hubungan antara perbedaan
yang mencolok dari penggambilan air bawah tanah yang dalam pada lingkungan si
Kaya dan salinasi air bawah tanah yang dangkal pada lingkungan si Miskin.
Pompa
air bertenaga besar yang dipergunakan pada lingkungan si Kaya menyedot jumlah
air yang sangat besar dari air bawah tanah. Ini mengakibatkan penurunan tanah.
Saat tanah tenggelam, resiko banjir akan meningkat. Saat terjadi banjir, air
banjir dan air buangan mencemari pipa air dan persediaan air bawah tanah di
area yang ketinggian tanahnya rendah.
Akibatnya
penduduk miskin kota hidup di tanah yang terpinggirkan mengalami kecenderungan
yang tinggi terdampak banjir dan kualitas air yang rendah. Mereka tak mempunyai
banyak uang untuk membeli teknologi yang dapat memperbaiki kualitas air untuk
keperluan rumah tangganya atau membeli air dalam kemasan.
Sementara
itu, rumah tangga kaya dan para pebisnis kaya selalu memutuskan untuk berhenti
menggunakan air pipa dan beralih pada air bawah tanah yang mereka sedot
menggunakan pompa berkekuatan besar untuk menyediakan air bagi kebutuhan rumah
tangga mereka.
Kemampuan
rumah tangga kaya dan pebisnis kaya untuk memilih keluar dari penyediaan air
terpusat, membatasi kemungkinan adanya subsidi silang dari konsumsi air dan koneksi
air untuk rumah tangga miskin serta warga yang berpendapatan rendah.
Pengalaman
Jakarta menggambarkan bahwa ketimpangan akses air jauh dari hanya sekedar
disebabkan oleh persoalan jaringan pipa.
Untuk mendapatkan penjelasan yang memadai tentang
jangkauan kota yang lebih luas, harusnya tidak menggunakan pengalaman atau
kasus di kota – kota di Eropa sebagai teori pusat.
Dalam
melihat kasus ini, penulis dan para peneliti lain bergabung dalam pergerakan
dunia sains yang menggunakan teori “to world” yang artinya menantang kebenaran
asumsi keuniversalan teori yang diambil dari pengalaman atau kasus di Eropa.
Intervensi
dari teori penulis dan peneliti lain bersifat akademik, tetapi mereka tidak
terlibat atas konsekuensi dan perhatian yang diambil dari analisa mereka. Penulis
dan para peneliti lain menemukan bahwa orang miskin lebih banyak terdampak
resiko kerusakan lingkungan kota yang ditimbulkan oleh absennya pertimbangan
aspek air dan alam dalam proyek infrastruktur.
Artinya,
untuk mengurangi ketimpangan akses air, seharusnya menyelidiki aspek lainnya,
bukan hanya berfokus pada jaringan air pipa, sehingga dari penelitian tersebut
mampu mengembangkan respon kebijakan yang bermakna. (dewi/ RPDH).
Sumber:thejakartapost/19
maret 2018 oleh Michelle Kooy, rector kepala bidang politik air kawasan
perkotaan, IHE Delft.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar