Kamis, 22 Maret 2018

Mengapa Si Kaya di Jakarta Mendapatkan Akses Air yang Lebih Baik, Ternyata Bukan Karena Persoalan Jaringan Pipa

sumber:google.com




JAKARTA Di Jakarta orang kaya lebih banyak punya akses untuk air bersih dibanding orang miskin. Penduduk yang tinggal di daerah pusat bisnis perkotaan atau lingkungan kelas atas mendapat akses yang lebih disbanding mereka yang tinggal di daerah kantong- kantong kemiskinan.
Ketimpangan dalam hal mengakses air antara si Kaya dan si Miskin memperdalam jarak ketimpangan sosial di masyarakat. Akses penduduk pada air berpengaruh pada kesehatan, pendidikan, dan pendapatan. Pengurangan ketimpangan dalam berbagai kelompok sosial yang berbeda, kini menjadi perhatian the Global Sustainable Development Goals.

Lalu, apa penyebab dari ketidaksamarataan akses air di Jakarta?
Guna menjawab persoalan ini para ahli, jurnalis, dan aktivis sering menjadikan sentralisasi saluran pipa air  sebagai penyebab dari ketimpangan akses air ini.
Para ahli menyebut bahwa saluran pipa adalah gambaran fisik hubungan kelas sosial dalam struktur akses kekuasaan. Mereka berpendapat bahwa infrastructure pipa “memecah” atau “fragment” kota, dan melestarikan ketimpangan yang renggang.

Tetapi bila hal itu benar bahwa penduduk miskin kota tidak terhubung dengan pipa, artinya penduduk kaya juga tidak terhubung juga. Pasalnya, berdasarkan data organisasi yang mengatur persoalan air di Jakarta, penduduk yang berpendapatan tingkat menengah dan tingkat menengah bawah merupakan kelompok konsumen terbesar dari dua operator air di Jakarta yaitu Palyia dan Aetra.
Lebih dari 60% penduduk Jakarta mengandalkan air tanah. Angka tersebut menggambarkan dua per tiga konsumsi air kota Jakarta atau sekitar 630 juta meter kubik dari 1milyar meter kubik air per tahun.Air pipa tidak pernah menyediakan kebutuhan mayoritas air untuk sebagian besar warga Jakarta.  Warga Jakarta menggunakan air tanah dan juga air botolan.

Penelitian mengenai peran dari jaringan pipa yang terpusat sebagai penyebab dari adanya ketimpangan akses air warga kota telah menjadi pertanyaan yang dominan dalam analisa yang berfokus pada ketimpangan sosial di kota. Tapi landasan teori yang digunakan untuk menjawab pertanyaan mengenai air, urbanisasai, dan ketimpangan selalu diambil dari pengalaman atau kasus di Eropa dimana jaringan pipa terpusat digunakan secara dominan pada umumnya, bukan hanya persediaan air di kota.

Untuk menjawab ketidaksamarataan akses air di Jakarta, meneliti aliran air bawah tanah, air buangan, dan pipa air jauh lebih bisa menjawab persoalan tersebut dibanding hanya melihat fragmentasi jaringan air pipa.

Dalam penelitian penulis, penulis dan peneliti lain menyelidiki hubungan antara variasi aliran air dan penggunaan air dengan dampak yang ditimbulkannya pada kelompok sosial masyarakat yang berbeda. Kami menemukan bahwa ada hubungan antara perbedaan yang mencolok dari penggambilan air bawah tanah yang dalam pada lingkungan si Kaya dan salinasi air bawah tanah yang dangkal pada lingkungan si Miskin.

Pompa air bertenaga besar yang dipergunakan pada lingkungan si Kaya menyedot jumlah air yang sangat besar dari air bawah tanah. Ini mengakibatkan penurunan tanah. Saat tanah tenggelam, resiko banjir akan meningkat. Saat terjadi banjir, air banjir dan air buangan mencemari pipa air dan persediaan air bawah tanah di area yang ketinggian tanahnya rendah.
Akibatnya penduduk miskin kota hidup di tanah yang terpinggirkan mengalami kecenderungan yang tinggi terdampak banjir dan kualitas air yang rendah. Mereka tak mempunyai banyak uang untuk membeli teknologi yang dapat memperbaiki kualitas air untuk keperluan rumah tangganya atau membeli air dalam kemasan.

Sementara itu, rumah tangga kaya dan para pebisnis kaya selalu memutuskan untuk berhenti menggunakan air pipa dan beralih pada air bawah tanah yang mereka sedot menggunakan pompa berkekuatan besar untuk menyediakan air bagi kebutuhan rumah tangga mereka.
Kemampuan rumah tangga kaya dan pebisnis kaya untuk memilih keluar dari penyediaan air terpusat, membatasi kemungkinan adanya subsidi silang dari konsumsi air dan koneksi air untuk rumah tangga miskin serta warga yang berpendapatan rendah.

Pengalaman Jakarta menggambarkan bahwa ketimpangan akses air jauh dari hanya sekedar disebabkan oleh persoalan jaringan pipa.
 Untuk mendapatkan penjelasan yang memadai tentang jangkauan kota yang lebih luas, harusnya tidak menggunakan pengalaman atau kasus di kota – kota di Eropa sebagai teori pusat.

Dalam melihat kasus ini, penulis dan para peneliti lain bergabung dalam pergerakan dunia sains yang menggunakan teori “to world” yang artinya menantang kebenaran asumsi keuniversalan teori yang diambil dari pengalaman atau kasus di Eropa.

Intervensi dari teori penulis dan peneliti lain bersifat akademik, tetapi mereka tidak terlibat atas konsekuensi dan perhatian yang diambil dari analisa mereka. Penulis dan para peneliti lain menemukan bahwa orang miskin lebih banyak terdampak resiko kerusakan lingkungan kota yang ditimbulkan oleh absennya pertimbangan aspek air dan alam dalam proyek infrastruktur.

Artinya, untuk mengurangi ketimpangan akses air, seharusnya menyelidiki aspek lainnya, bukan hanya berfokus pada jaringan air pipa, sehingga dari penelitian tersebut mampu mengembangkan respon kebijakan yang bermakna. (dewi/ RPDH).
Sumber:thejakartapost/19 maret 2018 oleh Michelle Kooy, rector kepala bidang politik air kawasan perkotaan, IHE Delft.





Nangka Bisa Selamatkan dunia dari Kelaparan


sumber:google.com

Bagaimana bisa buah yang dianggap sebagai “buah orang miskin” ini ternyata bisa menyelamatkan dunia dari kelaparan?
“Ada rasa stigma inferior pada buah nangka. Setiap petani lebih memilih membawa apel impor sebagai bawaannya dibanding nangka,” kata Shree Parde, petani buah nangka dari Karnataka, India.

Nangka yang kerapkali dijadikan kudapan entah sebagai buah, dimasak sebagai lauk maupun olahan lainnya ternyata mempunyai banyak manfaat yang mungkin bagi kita sebagai orang Indonesia tidak menyadarinya. Bahkan media internasional seperti The Guardian dan The Independent menyebut nagka sebagai buah “ajaib”.Peneliti bioteknologi dar Universitas Ilmu pertanian di Bagalore, India, mengungkapkan bahwa buah ini kaya manfaat. Buahnya yang mengandung ratusan lobus berwarna kuning ini kaya akan vitamin C. Bijinya mengandung protin, potassium, kalsium serta zat besi ayng dibutuhkan oleh tubuh manusia. 100gram nangka mengandung 95 kalori.  Jika kita memakan 10 sampai 12 lobus buah nangka, kita tak perlu makan untuk setengah hari.

Di negara asal pohon nangka yaitu India, pohon ini pun dipandang sebelah mata, sebagi “buah orang miskin”, oleh karena itu 75 % produksi nangka di India terbuang karena dikonsumsi hanya sebagai buah segar.

Buah yang Memiliki Ketahanan terhadap Perubahan Iklim
Pasar global dianggap mampu menyerap hasil produksi buah nangka karena buah ini dipandang punya ketahanan dari perubahan iklim global yang mengancam ketersediaan pangan. Danielle Nierenberg, presiden lembaga pertanian berkelanjutan menyebut bahwa pohon nangka sangat mudah tumbuh, tahan hama penyakit, dan tahan kekeringan. Keunggulan ini dapat diandalkan saat terjadi banyak tantangan akibat perubahan iklim global.
Jim Yong Kim dari Bank Dunia menyebut bahwa minimnya produksi pangan bisa memicu peperangan lima sampai sepuluh tahun mendatang. Tingginya minat akan bahan pokok utama terlalu tinggi membuat kita tak punya pilihan selain mencari bahan makanan alternatif.

Beberapa tahun terakhir pemerintah india mempromosikan hasil panen buah nangkanya dan memperluas produksinya dalam bentuk makanan kaleng maupun olahan. Data dari Perhimpunan buruh Internasional mencatat harga produksi 1 ton nangka setara dengan separuh pendapatan rata- rata pekerja india yaitu 295 Dolar As atau 3,9 juta rupiah.
Srilanka, Bangladesh, dan Vietnam sudah mendirikan industry pabrik pengolahan nangka olahan seperti tepung, es krim, dan mie kualitas ekspor. Perkebunan nangka Vietnam dalam 15 tahun terakhir sekitar 50.000 hektar dan menjadikannya salaha satu negara yang memimpin pasar global. Sedangkan Indonesia memproduksi hanya 640.000 ton dari 56.000 hektar lahan hingga tahun 2014. (dew/RPDH)
Sumber: dw Indonesia 2017


Selasa, 20 Maret 2018

Komersialisasi Ujung Rambut Hingga Kaki

sumber:google.com

penulis: Nuzul
Apa sih yang tidak dikomersilkan? Kita mandi pakai sabun, keramas pakai shampo, sikat gigi pakai odol, cuci muka pakai scrub, cuci baju pakai deterjen, mau tidur pakai losion, datang bulan butuh pembalut. Kenapa tubuh ini konsumtif sekali! Apa ini kebutuhan ataukah sekedar gaya hidup? Andai dirinci matematis berapa rupiah kebutuhan tubuh ini selain makan? Bagaimana jika dalam keseharian tanpa memakai produk-produk tersebut? Bagaimana mengenal produk-produk tersebut sehingga menjadi bagian kehidupan?
Nenek saya pernah bercerita jika orang dahulu mencuci baju memakai klerak yakni sejenis tanaman, saya juga belum pernah melihat tanaman itu. Keramas cukup dengan merang atau sekarang lebih dikenal dengan nama urang-aring, untuk pelembab rambut cukup pakai minyak kelapa dibikin sendiri. Orang dulu terbiasa nginang (makan sirih), walau usia tua gigi tetap utuh barangkali jarang juga gosok gigi. Untuk masalah datang bulan cukup pakai kain bekas, dicuci, dipakai kembali, jadi tidak ada sampah, tanpa biaya.
Sekarang semua serba beli dengan alasan praktis dan efisien lagi pula jika memakai bahan seperti yang disebutkan di atas sulit didapatkan, dahulu bahan-bahan dari alam bisa diperoleh dipekarangan rumah. Bagaimana bisa hilang bahan-bahan tersebut padahal menjadi kebutuhan utama? Jika dahulu semua kebutuhan cukup dari alam kenapa beralih memilih mengeluarkan biaya?
Kehidupan sekarang semua serba modern segala sesuatu terlihat menarik dari luar, praktis, dan efisien. Tersedia dimana saja, gampang didapat, berbagai macam produk ditawarkan mulai dari atas kepala sampai menyentuh tanah. Seolah-olah menjadi solusi praktis, padahal membelenggu menjadi ketergantungan. Lantas siapa yang diuntungkan? Kita sebagai konsumen atau produsen.
Persoalan tersebut baru satu ruang kehidupan, bagaimana dengan makanan sehari-hari sebagai kebutuhan primer? Selanjutnya sekunder? Apa juga berubah?
Sebagai perenungan lagi-lagi saya mengambil cerita nenek, orang dulu kalo makan seadanya. Panen jagung sebagian dijual sebagian untuk makan, begitupun dengan padi cukup makan sampai panen berikutnya. Makanan alternatif seperti ketela pohon atau rambat, umbi-umbian lain banyak di pekarangan rumah atau kebun.Sebagai lauk di kebun semua tersedia lengkap, cabe, pepaya, kelapa, daun-daunan, tumbuh liar di kebun. Belanja cukup beli ikan asin, terasi, garam. Jika ingin menu lain seperti telur bisa ambil di kandang, kata nenek walaupun  ayamnya tidak banyak. Masakan nenek  jarang digoreng, ikan asin cukup dibakar, ketela direbus. Beli kecap saja kalau akan masak buat selamatan.
Nenek saya petani tulen, katanya petani jarang punya uang tapi punya barang. Jadi kalo masalah makan cukup yang dipunyai yang penting tidak punya hutang.
Selanjutnya, bagaimana dengan kebutuhan sekunder?. Kira-kira dalam setahun kita beli baju berapa kali? Sudah berapa banyak uang yang dikeluarkan untuk pulsa? Perabot rumah tangga apa yang belum punya? Apakah kesemuanya jadi sesuatu yang urgen?
Menjadi Manusia Konsumtif
Menurut pakar neurosains Sam Haris mengatakan manusia modern dibuat terobsesi oleh sebuah produk. Baru-baru ini muncul iklan provider dengan sebuah jargon unik "kebelet online", dimunculkan remaja rela naik ke atas pagar mencari sinyal  agar bisa online. Pesan iklan tersebut mengisyaratkan online adalah kebutuhan. Iklan serupa, sebuah smartphone, jargon iklannya "muka masa kini hp masa gitu!", Iklan tersebut berpesan remaja saat ini sudah tidak cocok dengan hp yang cuma bisa menelpon dan kirim pesan. Untuk menjadi remaja masa kini mesti smartphone.
Iklan menjadi ideologi, tanpa sadar memaksa, tanpa sadar mengobsesi pikiran, mencuci otak, membayangi, membuat penasaran, dan pada akhirnya masuk jebakan dengan membelinya.
Sebuah riset UCLA pada 2012 terhadap 32 keluarga di Los Angeles terkait kepemilikan benda-benda. Hasilnya menunjukkan bahwa semakin banyak benda yang dimiliki keluarga semakin mahal biaya hidup dan perawatan yang harus dikeluarkan1.
Pada 2013, Kadence International-Indonesia merilis hasil riset Share of Wallet, hasilnya 28 persen masyarakat Indonesia berada dalam kategori "Broke", atau kelompok yang pengeluarannya lebih besar ketimbang pendapatannya, sehingga mengalami defisit sekitar 35 persen. Pengeluaran ini dilakukan untuk hidup mewah di luar penghasilannya2. Perilaku konsumtif demi memburu benda yang menjadi obsesi dapat dilihat penuhnya pusat perbelanjaan menggelar diskon produk jenama semisal Nike, pembeli rela berdesakan dan antri berjam-jam3.
Jika merujuk apa yang dikatakan David Harvey time space compression adalah kata kunci untuk menunjukkan kondisi keberadaan manusia atas ruang dan waktu. Time space compression merupakan sebuah perspektif tertentu manusia masa kini yang erat dengan kemajuan material menyentuh hampir segala aspek kehidupan. Kemajuan material menyangkut kemajuan teknologi yang bertambah canggih. Hal demikian tidak lepas dari modus produksi kapitalis. David Harvey memberikan tiga gambaran modus produksi kapitalis, pertama, kapitalisme selalu berorientasi pada pertumbuhan, kedua, pertumbuhan yang maksimal mengandaikan adanya eksploitasi terhadap virus buruh, dan ketiga, kapitalisme membutuhkan suatu kondisi dinamis dan inovatif secara teknologi organisatoris.
Dalam dua atau tiga dekade terakhir David Harvey menunjukkan adanya pergeseran ranah kehidupan sosial manusia. Dalam ranah ekonomi-politik disebut pergeseran dari sistem fordisme4 ke sistem akumulasi fleksibel. Sistem akumulasi baru ini  berdasarkan fleksibel atau kelenturan respek pada proses kerja, proses produksi, dan pola konsumsi. Untuk mempercepat waktu perputaran konsumsi, umur barang produksi semakin diperpendek sehingga orang membeli barang baru lagi. Dibawah sistem fordisme umur produk bisa mencapai lima sampai tujuh tahun, tetapi dibawah sistem akumulasi fleksibel umur produk diperpendek hingga separuhnya. Bahkan perangkat lunak (software) hanya dalam hitungan bulan5.
Dalam bidang produksi muncul produk instan (cepat saji) dan cepat buang. Namun yang dibuang tak hanya barang, tetapi juga nilai-nilai, gaya hidup, relasi-relasi mapan serta ikatan-ikatan pada tempat dan orang.
Produk instan tak hanya berupa makanan, produk lain seperti sabun cuci yang dahulu memakai klerak melalui proses direbus dahulu. Minyak rambut dari kelapa melalui proses panjang;diparut, diambil santannya kemudian dimasak sampai keluar minyaknya. Cuci piring cukup pakai abu gosok diambil dari  tungku tak perlu beli.Keramas dengan urang-aring dibakar, direndam air kemudian diambil beningnya. Kesemua proses itu dianggap memakan waktu lama, kuno, dan ribet. Demikian juga tisu, popok bayi, gelas atau botol minum semuanya sekali pakai-buang.Memakai produk jadi dianggap efisien, yang tentunya diperoleh dengan beli. Melalui sirkulasi produksi kebutuhan manusia dibentuk agar dapat mengkonsumsi apapun yang diproduksi.Polanyi menyatakan bahwa kelembagaan pasar tak dapat hidup lama tanpa melenyapkan hakikat alamiah dan kemanusiaan dari masyarakat, ia akan secara fisik merusak6.
Lebih lanjut aktivitas produksi membutuhkan manipulasi rasa dan opini melalui iklan yang tidak hanya sekedar menginformasikan atau mempromosikan tetapi meningkatkan menjadi usaha memanipulasi hasrat dan rasa melalui imaji-imaji yang tidak berhubungan dengan produk yang ditawarkan. Bahkan imaji-imaji sendiri menjadi komoditas.
Visualisasi iklan seolah hidup dan nyata. John Cook (Dalam Bragg & Kehily, 2014) mengidentifikasi hal tersebut dalam iklan yang ditargetkan kepada khalayak muda:7
“...wacana periklanan kini semakin kerap menekankan agensi dan otonomi konsumen muda. Alih-alih dirancang secara artifisial oleh pasar, hasrat para konsumen muda ditampilkan sebagai hal yang otentik dan berasal dari diri mereka sendiri.”
Menurut Heiddegger perkembangan teknologi informasi memungkinkan manusia hidup dalam ruang dimana anggapan mitos "ada" menjadi dunia citraan media massa. Misal produk kecantikan Wadah, divisualisasikan perempuan berhijab, cantik, dan sukses. Pesan iklan ini mencitrakan bahwa ini produk halal bersertifikat MUI artinya tidak ada babi-babian jadi tak perlu takut tercampur sesuatu yang haram plus aman karena halaalan bersanding dengan thoyyiban. Produk ini dipakai para perempuan sukses kelas atas sehingga mampu meyakinkan orang untuk berbondong-bondong menyerbu supermarket membeli produk ini dengan bayangan mendadak berganti rupa secantik Dewi Sandra. Labelisasi halal pada gilirannya menjadi tren komersil produk lain seperti jilbab, deterjen, shamphoo, parfum, body loshion dan sederet produk lain yang belum muncul.Sebagaimana diungkapkan oleh aliran Marxisme Frankfurt bahwa kesadaran palsu berdasarkan pada penguraian penciptaan ide yang palsu tentang berbagai nilai serta makna yang ada didalamnya  serta hubungan sosial di dalam lingkungan masyarakat dibentuk oleh kuasa media8.
***
Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air yang diadakan Sayogjo Institut di pesantren al Thariq Garut pada Jawa Barat 14-16 Juli 2017 diikuti oleh 165 peserta laki-laki dan perempuan patut diapresiasi ide revolusi meja makan dengan kembali kepada yang natural 9. Pengaruh makanan modern terhadap kondisi tubuh karena tidak diketahui asal-usulnya yang kesemuanya didapat dengan membeli di swalayan atau pesan melalui aplikasi telepon pintar. Komposisi makanan maupun proses tanamnya mengandung kimia berbahaya  yang berakibat buruk bagi tubuh dan juga alam. Minyak goreng sawit yang tumbuhnya ditopang pestisida kimia demikian juga beras, bahkan sayuran. Kemasan styrofoam atau plastik butuh 100 tahun terurai dengan tanah menjadi racun. Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air, diskusi ini menjadi suatu perlawanan kecil bahwa kita harus kembali ke alam, memanfaatkan apa yang diberikan alam di mulai dari meja makan berlanjut kebutuhan-kebutuhan lain dari atas kepala sampai ujung kaki. Ditengah gempuran berbagai produk makanan maupun selainnya kita dapat belajar pada pesantren Al Thariq kebutuhan pangan diperoleh dengan menanam sendiri secara organik termasuk juga non pangan semisal deterjen, shampoo berbahan dari alam. Demikian juga penghayat sedulur sikep yang sampai detik ini mempertahankan keberlangsungan alam demi masa depan generasi selanjutnya. Pantang menyerah, tak tergoyah dengan gedung yang tinggi, pabrik, dan segala yang modern. Ingat alam juga punya hidup, memberikan kehidupan pada manusia.
Sumber:
1. https://tirto.id/cukup-dan-bahagia-brvY
2. https://tirto.id/biar-utang-yang-penting-gaya-bq8a
3.https://tirto.id/kehebohan-nike-bazaar-dan-alasan-manusia-gila-diskon-cveZ
4. Dibawah sistem fordisme umur barang produksi dapat mencapai lima sampai tujuh tahun
5.https://www.scribd.com/mobile/document/237167823/David-Harvey
6. Noer Fauzi Rachman, Menyegarkan Pemahaman mengenai Kapitalisme Indonesia, makalah disampaikan pada diskusi pra rapat kerja LSAM. (https://lama.elsam.or.id/mobileweb/article.php?id=1653&lang=in)
7.http://www.remotivi.or.id/amatan/407/Konsumsi:-Antara-Melawan-Klise-dan-Perlawanan-Yang-Klise
8.http://www.esaunggul.ac.id/article/pengaruh-iklan-televisi-dalam-pencitraan-gaya-hidup/
9. http://www.konde.co/2017/07/rahim-dan-revolusi-meja-makan-1.html?m=1