Senin, 21 Oktober 2019

Resolusi Jihad Adalah Gerakan Santri Revolusioner






Menjelang peringatan hari santri Rumah Pengetahuan Daulat Hijau, FNKSDA Jombang, IPNU, dan For Mujeres menggelar diskusi dengan tema "Merakit Kembali Resolusi Jihad: Masa Depan Gerakan Santri Dihadapan Kuasa Modal" pada Selasa 8 Oktober 2019 di Warkop Rudeka Jombang.
Dua pemantik diskusi berasal dari lingkungan pesantren yakni Hasan Malawi Ketua Bidang Organisasi PP IPNU sekaligus secara garis nasab keluarga besar Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon, sedangkan Ayu Nuzul aktivis Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA).
Dalam diskusi ini, Ayu Nuzul menyampaikan tentang sejarah resolusi jihad yang dikobarkan oleh kyai Hasyim Asy'ari. Pada tanggal 21 dan 22 Oktober 1945 delegasi ulama NU se Jawa dan Madura mengadakan pertemuan di Surabaya untuk merespon kondisi bangsa Indonesia atas pendudukan sekutu di beberapa kota di Jawa. Waktu itu Mbah Hasyim sebagai pimpinan pertemuan, beliau menyatakan perjuangan kemerdekaan sebagai Jihad. Artinya Mbah Hasyim telah mengobarkan perlawanan terhadap penjajahan, kolonialisme di Indonesia.
Selanjutnya Ayu Nuzul mengajukan sebuah pertanyaan "Apakah penjajahan hari ini telah selesai?". Menurutnya penjajahan hari ini belum selesai. Kolonialisme menjelma dengan wajah baru, seperti pembangunan, proyek infrastruktur, industrialisasi. Proyek pembangunan jalan tol yang dibanggakan dibangun dari air mata petani yang kehilangan tanahnya. Bandara di Kulonprogo dibangun dengan mengusir rakyat. Tidak perlu menduduki wilayah membawa senjata cukup menguasai sumber daya alamnya. Lantas, apa hubungannya perayaan resolusi jihad hari ini atau hari santri dengan sejarahnya?. Peringatan hari santri hanya menjadi semacam selebrasi, keluar dari konteks sejarahnya. Santri bersama rakyat, ada buruh, ada petani telah bersama-sama mengusir kolonialisme atas gaung resolusi jihad dari Mbah Hasyim pada pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Tapi, kini peringatan resolusi jihad telah direduksi, jauh dari sejarahnya. Dirayakan secara besar-besaran, namun tanpa makna.
Bahkan kalo boleh mengajukan otokritik, santri dan pesantren justru terseret pada arus kapitalisme. Contohnya, pesantren justru menjadi tempat sosialisasi pendirian pabrik yang menggusur sawah milik warga di sekitar pesantren dengan janji lapangan pekerjaan. Yang kemudian terjadi,  justru santri akan terseret menjadi pekerja upahan. Ada juga korporasi besar yang merusak hutan, melakukan perampasan tanah rakyat, disaat bersamaan memberikan 10.000 bibit pohon untuk ditanam di pesantren. Maka sekarang lah saatnya untuk merakit kembali resolusi untuk melawan segala bentuk kolonialisme penjajahan. Santri tak boleh jauh dari problem sosial. Bahkan, hendaknya pendidikan ekonomi politik harus diberikan di pesantren sejak dini. Melihat  kapitalisme global telah bekerja sedemikian rupa. Sedangkan santri sendiri pada akhirnya akan kembali hidup ke masyarakat di luar pesantren.
Hasan Malawi dalam pemaparannya seolah pesimis dengan gerakan santri hari ini, "sebenarnya tema ini cukup menarik kalo kita ngomong soal masa depan gerakan muda sajalah, karena kalo ngomong gerakan santri ini terlalu jauh karena mau tidak mau hari ini pesantren, santri, dan entitas lainnya seolah-olah berada di ruang kekuasaan yang satu sisi kita menjadi bagian warga Indonesia dengan akidah yang cukup luas tetapi menutup diri diberbagai macam korban terhadap perampasan lahan".
Ia memberikan catatan menarik yang menjadi semacam otokritik bagi santri maupun pesantren dengan mengajukan pertanyaan," kenapa esensi soal resolusi jihad  tidak lagi muncul sebagai suatu semangat berlawan?. Apakah kemudian kita mengalami suatu glorifikasi yang cukup luar biasa sehingga yang berjuang cukup orang-orang tua kita saja sehingga cukup kita saja yang menikmati?. Atau, kita hanya menjadikan resolusi jihad sebagai "momentum" untuk diperingati sebagai sejarah, namun penyelewengan sejarah?".
Menurutnya, inti dari resolusi jihad adalah melawan imperialisme dan kapitalisme. Lantas hari ini semangat keberpihakan di pesantren tak lagi muncul sebagai suatu semangat berlawan. Padahal sejarah pesantren sendiri adalah sejarah perlawanan. Ia mencontohkan perlawanan pesantren dalam perang kedondong di Cirebon.
Mengutip sebuah hadits, "sebaik-baiknya jihad ialah pernyataan yang benar, dihadapan penguasa yang buruk". Pemaknaan ini kadang tidak muncul di dalam pesantren. Kita lahir di tengah neoliberalisme, seolah-olah teraleniasi sehingga tidak muncul keberpihakan pada mereka yang ditindas, dijarah, dan rampas tanahnya, yang semua warga NU. Resolusi jihad adalah gerakan revolusioner. Suatu bentuk perlawanan paling konkret yang tidak cukup dirayakan saja. Suatu gerakan revolusioner tidak mungkin ada tanpa gerakan revolusi.
Namun fakta di sekeliling sangat kontradiktif, "di kalangan Nahdliyyin telah tersandera pada kuasa oligarki" jelasnya. Banyak kalangan yang berbondong-bondong menjadi Nahdliyyin hanya untuk suara pilkada, pilpres, dan lain sebagainya.
Dalam menutup penjelasannya, Gus Hasan mengatakan: " Menurutku harus dipikirkan kembali, memperjuangkan resolusi jihad paling konkret adalah beriringan dengan warga Nahdliyin yang hari ini dirampas ruang hidupnya di Urutsewu, Surokonto dan banyak tempat lainnya".