Selasa, 11 September 2018

Membaca HAM ditengah Perdebatan








Sabtu 1 September 2018 bertempat di Rumah Pengetahuan Daulat Hijau dibukanya Sekolah Hukum Rakyat di Jombang. Acara yang diadakan oleh Center Human Rights Law Studies Faculty of Law (HRLS) Universitas Airlangga dan Center for Anti-Corruption and Criminal Policy (CACCP) Fakultas Hukum Universitas Airlangga  bekerja sama dengan Rumah Pengetahuan Daulat Hijau, FNKSDA Jombang, dan Kontras Surabaya Biro Bantuan Hukum Jombang.
Peserta yang mengikuti sekolah hukum rakyat mayoritas berasal dari luar Jombang, seperti Surabaya, Bojonegoro, Gresik, dan Malang rata-rata adalah mahasiswa.
Dalam membuka acara, ketua panitia Ayu Nuzul menyampaikan bahwa kegiatan ini direncanakan sejak lama, "Alhamdulillah akhirnya bisa terlaksana.Pak Haidar dan Pak Iqbal ingin melakukan sesuatu untuk kota kelahirannya Jombang sebagai sebuah pengabdian, setelah beberapa kali pertemuan dengan kami dari Rumah Pengetahuan Daulat Hijau akhirnya hari ini bisa dimulai. Semoga kegiatan ini menjadi sebuah langkah awal sebuah gerakan pemuda di Jombang dan Rumah Pengetahuan Daulat Hijau bisa memulai kegiatan-kegiatan progresif di Jombang", jelasnya.
Materi pertama sekolah hukum rakyat adalah hak asasi/hak konstitusional dengan pemateri Haidar Adam peneliti di HRLS sekaligus pengajar di Fakultas Hukum Unair. Sebelum menyampaikan materi, lebih dulu beliau menyampaikan latar belakang menggagas sekolah hukum rakyat antara lain realitas ketidakadilan terjadi di sekitar kita, negara kita adalah negara hukum, rakyat Indonesia mengalami keterbelahan menyikapi permasalahan elit politik, dan rakyat Indonesia (para pemuda) memiliki potensi yang sangat besar untuk terlibat menjadi penggerak perubahan sosial.
Lebih lanjut, pemateri juga menyampaikan   tujuan sekolah hukum rakyat, antara lain pertama, memberikan pembekalan hukum dasar kepada peserta terkait isu-isu strategis baik di tingkat desa maupun nasional. Kedua, isu-isu strategis meliputi (namun tak terbatas pada: kelestarian lingkungan, pendidikan kritis, korupsi, pemerintahan desa, toleransi, keadilan gender). Ketiga, memperkuat jaringan dan solidaritas antar warga masyarakat dalam merespon isu-isu strategis.
Sebelum memasuki materi dalam beberapa slide powerpoint menampilkan beberapa gambar, antara lain, Bu Wagirah, salah satu warga Kulonprogo yang menolak pembangunan bandara. "Karena menolak, maka oleh korporasi ia secara paksa dipindahkan. Tergambar betapa korporasi bekerjasama dengan negara, ada polisi dan tentara harus berhadapan dengan warga negara", tuturnya.
Selanjutnya adalah gambar toa, yang menjadi trending topik tentang seorang perempuan warga negara Indonesia dari Tanjung Balai, keturunan Tionghoa yang komplain terhadap suara adzan. Komplain tersebut membawanya pada vonis 1,5 tahun penjara. Tidak hanya itu, komplain Meiliana memicu pada perusakan tempat ibadah.
Slide selanjutnya adalah pengungsi Syiah Sampang yang kemudian harus terusir dari tempat tinggalnya, sampai hari ada beberapa yang tinggal di dalam rusun di Sidoarjo selama 5 tahun. Bekerja juga tidak sesuai dengan kompetensi mereka sebagai petani. Akhirnya tingkat kesejahteraan juga memprihatinkan demikian juga kesehatan.
"Gambar tadi setidaknya memberikan pemahaman, pengetahuan, atau informasi bagi kita bahwa telah terjadi ketimpangan. Jadi, harapan ideal yang seharusnya terwujud ternyata dalam realitasnya tak menemui harapan itu", jelasnya.
Dosen Fakultas Hukum Unair ini melanjutkan penjelasannya, bahwa dalam kasus Bu Wagirah yang mempunyai harapan bisa hidup bertani dimana kesejahteraan hidup bisa terangkat, tetapi kenyataannya negara malah mengambil (lahan, penulis) melalui aparatnya. Disisi lain ada harapan dalam warga Sampang yang kebetulan dominasi alirannya adalah Syiah untuk bisa mengekspresikan, memanifestasikan keyakinan yang dimiliki, tetapi kemudian realitas tak bersahabat dengan mereka. Dan mereka harus terusir dari kampung halamannya. Gambaran seperti ini menunjukkan betapa ketidakadilan itu hadir di sekitar kita.
Terkait dengan HAM ada beberapa perdebatan, antara lain: HAM adalah produk dari barat, HAM tak sesuai dengan nilai-nilai ketimuran, HAM merupakan musuh dari NKRI, dan HAM bertentangan dengan Islam.
Untuk mengetahui kebenaran tesis diatas,maka harus lebih dahulu mengetahui genologinya. Melalui sebuah pertanyaan, Kapan seseorang dianggap sebagai manusia?. Haidar Adam menerangkan ada dua pendekatan. Pertama, konsepsi manusia setelah lahir, kedua, konsepsi manusia sebelum dilahirkan. Dan hal ini mempengaruhi bagaimana sebuah negara mampu memproteksi manusia. Bagi negara yang menganggap bahwa manusia sudah terbentuk sejak di dalam rahim, maka perlindungan itu menyangkut apa yang di dalam rahim. Terkait dengan kebijakan aborsi. Dan jika konsep tentang manusia setelah lahir, maka kebijakan tersebut (aborsi) belum bisa diproteksi.
Lantas bagaimana jika seseorang hidup tidak bisa melakukan hal apapun. Dalam konsep kedokteran yang menganggap mati itu tidak hanya fisiknya tetapi juga otaknya. Ketika otak sudah tidak bekerja, itu bisa dianggap sebagai mati. Hal ini juga menimbulkan perdebatan, karena kemudian berujung pada permintaan mematikan diri menjadi  diperkenankan atau euthanasia.
"HAM jangan dipandang terminologinya saja, tetapi gagasan dibalik HAM juga harus ditampakkan. HAM adalah seperangkat ide untuk menghormati manusia", terangnya.
Apa yang ada didalam HAM adalah gagasan untuk menghormati manusia, inilah yang disebut Budi Hardiman sebagai intensi dasar dari HAM. Budi Hardiman mengklasifikasikan HAM dalam intensinya juga dalam prakteknya. Dalam prakteknya bisa saja HAM dipakai sebagai alat instrumentalisasi. HAM bisa digunakan untuk menggebuk orang lain, instrumentalisasi HAM bisa digunakan untuk menekan negara lain. Artinya yang perlu dipermasalahkan adalah intensi dasar dari HAM. Dibalik HAM itu tersembunyi gagasan untuk menghormati dan memuliakan manusia.
Makna HAM yang selanjutnya adalah perlindungan manusia dari kekuasaan. Pada bagian ini dikatakan bahwa sejarah HAM menunjukkan adanya perjuangan dan gerakan-gerakan untuk membatasi kekuasaan. Mengutip sejarawan dari Inggris Lord Acton yang terkenal dengan adagiumnya "power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely" yang berarti bahwa kekuasaan itu kecenderungan korup, kekuasaan yang absolut sudah pasti korup, kekuasaan yang ada pada satu tangan pasti ada kesewenang-wenangan. Maka dari itu, untuk mencounter harus ada pembatasan kekuasaan. Kekuasaan yang ada pada satu tangan akan berimbas pada kesewenang-wenangan. Gagasan untuk tidak membuat kekuasaan pada satu tangan dinyatakan John Locke dan Montesque yang dikenal dengan Trias Politica, yakni pemisahan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Makna HAM selanjutnya adalah standar universal untuk melindungi manusia, berlaku untuk semua orang, semua wilayah, dan berlaku untuk semua peristiwa.
Gerakan Pemuliaan Manusia dalam agama telah ada dalam agama-agama. Melalui sebuah pernyataan "Apa itu agama?. Dikatakan tentang agama bahwa sampai hari ini agama tidak terdefinisikan secara konklusif, artinya para ahli tidak memiliki definisi yang disepakati oleh semua orang sehingga definisi agama tidak secara umum.
Durkheim mengartikan agama sebagai perangkat keyakinan, praktek yang itu terkait hal-hal yang sifatnya suci. Sedangkan Sigmund Freud mengatakan bahwa agama adalah simbol kekanak-kanakan di dalam memandang realitas. Agama menjadi semacam pelarian. Orang yang meyakini agama tidak mampu berfikir secara rasional.
Dalam ajaran Hindu ada sumber Gerakan Pemuliaan Manusia yakni Karma, Dharma, dan Sadecare. Bahwa semua ajaran dari Hindu merefleksikan bahwa betapa manusia harus dihormati. Karma adalah perbuatan yang akan mewujudkan konsekuensi-konsekuensi. Dharma adalah bentuk kewajiban, yakni selalu berbuat baik pada manusia. Sedangkan Sadecare berarti semua perbuatan diarahkan pada kebaikan.
Dalam ajaran Buddha yang lahir setelah Hindu, dimana keberadaannya adalah bentuk kritik terhadap praktek masyarakat Hindu yang hidup menderita. Namun poin penting ajarannya bahwa realitas hidup ini adalah sengsara, agar tidak menderita harus berbuat baik untuk menuju nirwana yang merupakan kondisi tanpa kesedihan.
"Kehidupan sosial semestinya berdasarkan cinta, perhatian, dan kebaikan" adalah pokok ajaran Confunianism. Ajaran lainnya yaitu, "perlakukan lah orang lain sama seperti kita ingin diperlakukan".
Bagaimana Gerakan Pemuliaan Martabat Manusia dalam Islam? Salah satunya dijelaskan dalam Al Qur'an QS. Al An'am:5 berisi larangan untuk membunuh. Dalam sejarah dikenal juga Madinah Charter atau Piagam Madinah, salah satunya berisi tentang kebebasan berkeyakinan. Namun yang menjadi perdebatan adalah, agama selain dijadikan sumber-sumber memuliakan manusia, agama juga digunakan untuk menindas atas nama kebenaran agama.
Berbicara HAM dalam perspektif barat, bahwa masalah barat adalah ide yang sangat kompleks, tidak cukup diasumsikan untuk menunjukkan letak geografis tertentu. Hal ini tidak bisa lepas dari tradisi Romawi-Yunani, kekristenan, dan enlightment. Bahkan dalam sejarah, pemikiran gereja akan sangat menentukan corak masyarakat Eropa. Bahkan raja pun taat pada otoritas gereja.
Yang penting untuk ditekankan tentang ide HAM meskipun secara geanologis sebagian berasal dari tradisi Barat tetapi hal itu tidak mengurangi esensi dari HAM itu sendiri karena  bersanding dengan perjuangan untuk memuliakan manusia. Dalam realitas sejarah, hal itu diambil tidak secara gratis tetapi melalui revolusi berdarah-darah.
Di bagian akhir adalah tentang Gerakan Pemuliaan Martabat Manusia kedudukannya didalam konstitusi, susunan hukum membentuk struktur piramida. Dikatakan bahwa aturan itu saling beririsan antara satu dengan yang lain. Irisan-irisan itu akan membentuk struktur piramida yang sifatnya hierarki, ada yang paling atas dan ada yang paling bawah. Undang-undang dasar mendapat posisi paling atas, karena ia terkualifikasi didalam norma dasar, ini menjadi acuan didalam norma-norma dibawahnya. Konsekuensi konten dari tiap-tiap peraturan perundang-undangan yang didalamnya tidak boleh bertentangan dengan UUD. Jadi, UUD menjadi rujukan utama, jika dilevel ini ada peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan UUD maka bisa dibatalkan. Salah satu kewenangan yang dimiliki mahkamah konstitusi adalah bisa membatalkan UU yang dianggap bertentangan dengan UUD.
Nuzul

Senin, 03 September 2018

Pendidikan : Idealisme dan Realitas




Oleh:Nur Sahid
"Ya Alloh ya tuhan kami, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari keluh kesah dan duka cita, aku berlindung kepadamu dari lemah kemauan dan malas, aku berlindung kepadamu dari sifat pengecut dan kikir, aku berlindung kepadamu dari tekanan hutang dan kezaliman manusia (Muhammad SAW).
"Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali ". (Tan Malaka)

Kata-kata diatas mungkin sudah pernah kalian baca meski sebenarnya aku tak tahu mengapa menulis kata-kata itu di awal tulisan ini. Tapi setidaknya yang membaca tulisan ini telah berdo’a. dan mungkin sedikit banyak mendapat gambaran bahwa pendidikan tidak seharusnya memisahkan seorang peserta didik dari realitas masyarakat dan lingkungannya.

  Dua minggu lalu aku dan teman-teman memulai sebuah diskusi, sebenarnya diskusi ini sudah direncanakan sejak lama, kami mendiskusikan buku Mazhab Pendidikan Kritis, sebuah buku yang ditulis oleh Dr. M Agus Nuryatno, beliau merupakan staf pengajar di Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kami akan mendiskusikan buku itu dalam lima kali pertemuan dimana pada dua minggu lalu kami mendiskusikan bab pertama, “Pendidikan Kritis : Konsep-Konsep Dasar”. Waktu itu aku di daulat sebagai pemateri.

Sebagai sebuah gagasan, mazhab pendidikan kritis tidak merepresentasikan gagasan yang tunggal dan homogen, namun para pendukung mazhab ini disatukan dalam satu tujuan yang sama, yaitu memberdayakan kaum tertindas dan mentransformasi ketidakadilan sosial yang terjadi di masyarakat melalui media pendidikan. Kalimat itu aku ambil dari halaman satu dan dua buku Mazhab Pendidikan Kritis, nampak sekali bahwa bagi mazhab pendidikan kritis, tujuan pendidikan adalah memberdayakan kaum tertindas, artinya pendidikan mesti menjadi bagian dari perjuangan kaum tertindas dalam memperjuangkan hidup dan kehidupannya untuk mencapai emansipasi manusia. Ini bermakna juga bahwa pendidikan tidak boleh menjadi bagian dari media untuk melanggengkan penindasan.

Namun sayangnya dalam dunia pendidikan kita, kuasa politik menempatkan pendidikan sebagai pencetak orang-orang terindas baru, menciptakan buruh-buruh untuk memenuhi kepentingan industri dan kapital. Seperti tercermin dalam pidato Mentri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir pada saat hari Pendidikan Nasional 2017, beliau menekankan bahwa tema pendidikan tahun ini sebagai meningkatkan relevansi pendidikan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, Nasir juga mengusulkan bahwa esensi dari pendidikan tinggi adalah untuk menghasilkan lulusan  dan penelitian yang bermanfaat bagi industri Indonesia.

Mentrasformasi ketidakadilan sosial, disini pendidikan punya tugas melahirkan peserta didik yang kritis dan peka akan keadaan masyarakat, peka akan banyaknya masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, misalkan kemiskinan, pengangguran, dan masalah lainnya, serta kritis membaca apa-apa yang ada di balik masalah masalah sosial itu. Untuk mencapai kurikulum, peraturan-peraturan dan kebijakan pendidikan harus mengacu dan memperhatikan masalah-masalah ketidakadilan sosial, dan menjadikan masalah-masalah tersebut sebagai isu yang dibicarakan dalam dunia pendidikan.

Selain itu, proses pendidikan harus berjalan dialogis, partisipatoris dan demokratis, dialogis artinya dalam prosese pendidikan guru tidak otoriter dan merasa dirinya tau dan murid tidak tau. Partisipatoris berarti bahwa pendidikan tidak hanya sekolah dan murid, tapi lebih dari itu pendidikan harus melibatkan masyarakat luas, dan lingkungan. Demokratis, ini berarti penentuan materi, kurikulum, waktu, dan lain-lain harus memberikan ruang selebar-lebarnya  pada semua komponen pedidikan untuk memusyawarahkannya.

Tetapi sejak setelah peristiwa tahun 1965 pada gilirannya dikeluarkannya Tap MPR tentang pelarangan marxisme, segala sesuatu yang berbau kritis (baca:kiri) dianggap sebagai sesuatu yang menjijikan, pendidikan berubah menjadi tidak lebih dari corong penguasa dan media propaganda untuk melanggengkan kekuasaaan dan legitimasi penguasa. Proses pendidikan menjadikan guru sebagai pusat segala pengetahuan, jika ada murid yang tidak setuju dan atau membantah pendapat guru sering kali dia dianggap sebagai murid pembangkang, tidak patuh bahkan dianggap durhaka. Cara-cara militer juga diterapkan pada pendidikan. Pengalaman saya dulu di bangku MA, beberapa kali datang telat ke sekolah, karna itu aku dan beberapa teman lain dihukum berlari mengelilingi lapangan sampai 15 kali, bahkan ada yang lebih dari 20 kali.

Pendidikan kita dalam membuat materi ajar atau kurikulum, seringkali mengabaikan peserta didik dan komponen-komponen lain. Kurikulum dibuat oleh para ahli, yang hidup nyaman di kota dimana mereka tak pernah mengalami kehidupan di pelosok-pelosok desa, di pedalaman. Namun kurikulum itu dipaksakan untuk dipakai di seluruh Indonesia. Sehingga sering kali teks yang dipelajari murid anti realitas yang selanjutnya membawa murid terasing dari lingkungan dia hidup, anak petani di desa-desa tak pernah lagi mau mencangkul, bahkan malu terhadap teman-temannya saat orang tua mereka hadir di sekolah untuk mengambil rapot.

Di halaman yang lain ada kalimat menarik: "Dalam pendidikan kritis, pembelajaran menekankan pada bagaimana memahami, mengkritik, memproduksi dan menggunakan ilmu pengetahuan  sebagai alat untuk memahami realitas hidup dan mengubahnya. Untuk itu pembelajaran diawali dengan mempertanyakan realitas keadaan yang akan dirubah, kemudian mempermasalahkannya dan menganalisisnya  yang selanjutnya hasil analisis itu bisa dijadikan pertimbangan dalam pemecahan masalah sehingga pengetahuan yang dihasilkan dari proses pembelajaran itu adalah pengetahuan yang membumi,  tidak membuka gap antara pengetahuan dan realitas". Di sekolah murid seharusnya diajari berbagai hal yang ada di lingkungan kehidupan mereka, tidak malah diberi mata pelajaran yang  banyak, sebagian besar tidak ada sangkutpautnya dengan kehidupan sehari-hari, misal sebagai negeri agraris maka seyogyanya pertanian menjadi kurikulum utama yang di ajarkan pada murid.

Salah satu tema penting dalam pedidikan kritis adalah tentang kapitalisme, ia mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan modern. Dengan ciri utama akumulasi kapitalnya, kapitalisme berjasa besar dalam membangun budaya konsumtif dan hedonis, hingga secara sadar atau tidak ilmu pengetahuan yang diajarkan adalah ilmu yang dirancang untuk mengejar profit. Bahkan seringkali sekolah yang seharusnya menjadi tempat membangun budaya kejujuran, integritas dan kemanusiaan, berubah menjadi ladang bisnis, iklan sekolah terpampang dimana-mana, koran, media online, banner pinggir jalan dan lain sebagainya mirip-mirip iklan produk kecantikan. Biaya pendaftaran dan bulanannya tak terjangkau, bahkan seringkali sekolah mengkhianati nilai-nilai yang dijadikan slogannya. Ketika ada akreditasi misalkan, sekolah dengan tanpa malu mengatur, memoles, mempercantik sekolah dengan berbagai hal yang sebenarnya tidak ada dalam pembelajaran sehari-hari, yang kalau boleh saya katakan itu adalah kebohongan.
Bisnis bimbingan belajar juga tumbuh subur di mana-mana, selain mengajar di sekolah, tidak sedikit guru membuka bimbingan belajar dirumahnya, secara sederhana ini menunjukan bahwa sekolah telah gagal mengajari muridnya. Murid berprestasi bukan karna pengajaran sekolah tapi karna bimbingan belajar yang diikutinya.  


Oke, sudah lupakan saja apa yang barusan kalian baca, kita kembali pada doa nabi Muhammad SAW dan kata-kata Tan Malaka. Dalam mata kuliah hadits tarbawi aku tidak menemukan hadits yang aku tulis itu, namun menurutku hadits itu merupakan sebuah contoh ideal tentang bagaiman seharusnya pendidikan. Saya memaknai hadits itu begini, bahwa yang pertama dibangun adalah pribadi-pribadi yang tangguh, serta punya kepedulian sosial untuk selanjutnya dijadkan sebagai modal melawan kedzaliman dan kesewenang-wenangan. Dengannya seorang murid tidak akan tercerabut dari masyarakatnya, mereka akan melebur bersama rakyat tertindas dan memperjuangkan emansipasi manusia.(adm/dew)