WAKTU sahur kurang 15 menit setelah ku buka ponselku, dengan
tergagap aku keluar dari kamar, ternyata istri pak Rohim juga baru bangun pada Jum'at
25 Mei 2018."Saya ga tau kalo ada tamu saya kira anak saya yang pulang"
begitu tukasnya memulai percakapan kami. Selanjutnya ibu tiga anak itu sibuk mengejar
waktu menyiapkan makanan sahur dengan mulai menyalakan kompor. Setelah dari
kamar mandi saya kembali ke kamar membangunkan dua temanku. Kami pasrah untuk
tidak sahur setelah mendengar ceritaku, istri pak Rohim yang baru bangun mungkin
akan sibuk menyiapkan sahur untuk suami dan anak-anaknya.
Aku tawarkan sisa makanan ringan yang aku bawa dari rumah,
kami bertiga menikmatinya. Suara istri pak Rohim memanggil kami dari luar, tiga
gelas sereal di nampan diberikan kepada kami disusul satu piring nasi dan satu piring
mie instan. Ini adalah sahur kilat. Karena tak lama suara adzan dari salon
kecil berkumandang dari luar rumah, persis di depan pintu kamar tempat kami
menginap. Musholla sederhana dengan lantai papan kayu, tiang penyangga bambu,
tanpa dinding, hanya pembatas seperti pagar yang terbuat dari bambu, bergantung
lampu minyak di bawah genteng, dan beralaskan tikar, lebih mirip seperti
angkringan rumah makan, atapnya rendah, dan luasnya berukuran sekitar
4><5 m. Menurut pak Rohim, moshola ini sebelumnya adalah sanggar. Ramadhan
tahun lalu dibuat jadi moshola dengan pertimbangan akses musholla ataupun
masjid lumayan jauh.
Dalih ganti rugi yang diberikan pemerintah hanya dihitung aset pribadi warga
korban lumpur, aset sosial seperti sekolah, TPQ, Pesantren, panti asuhan,
masjid dan musholla tak masuk hitungan. Agar bisa beribadah, pendirian tempat
ibadah diusahakan warga sendiri. "Dan kalo musholla dekat rumah selesai dibangun
akan kembali menjadi sanggar", kata pak Rohim.
Malam ini kami bertiga menginap di rumah pak Rohim salah
satu korban lumpur Lapindo Porong Sidoarjo. Kini ia tinggal di Panggreh pasca
terendam lumpur yang sebelumnya secara turun temurun di desa Besuki. Rumah pak Rohim
bukanlah daerah ring 1 ganti rugi bukan ditanggung perusahaan Bakrie tetapi negara.
Setelah sebelumnya lumpur Lapindo yang menenggelamkan 13 desa ditetapkan
sebagai bencana alam.
###
Matahari belum tampak, pagi masih gelap meski waktu shubuh
telah berlalu. Suara adzan, pujian, maupun iqomah tak terdengar lagi diberbagai
penjuru desa, hanya beberapa suara dari musholla yang terdengar tadarus Al
Qur'an, suasana Ramadhan yang sangat kentara. Istri pak Rohim sedang mencuci
piring, membereskan sisa sahur. "Mbak nanti saya tidak ada di rumah, pak Rohim
juga kerja, ada anak saya Vika" tutur istri pak Rohim. Istri pak Rohim
sehari-harinya bekerja mengasuh anak tetangga sebelah rumahnya dahulu ketika masih tinggal di Besuki. Meski kini mereka
tinggal berjauhan, kohesi sosial masih erat, istri pak Rohim masih dipercaya mengasuh
anak-anaknya. Ia mengasuh sejak anak yang pertama masih bayi hingga sekarang
duduk di bangku kelas satu sekolah dasar, kini berlanjut mengasuh anak yang
ke-dua yang belum genap dua tahun.
Nampak kedekatan kekerabatan tak terpisah walau lumpur
menenggelamkan, meski jarak rumah sekarang cukup jauh satu sama lain. Vika
bercerita, "saat itu saya masih kelas dua MI, sekolah saya berpindah-pindah,
kadang numpang di sekolah lain". Dengan berkaca-kaca ia melanjutkan cerita,
"saya kehilangan teman masa kecil yang sekarang tak tahu kemana, kehilangan
tempat bermain". Di belakang rumahnya dulu di Besuki adalah sawah,
sehari-hari ia kerap bermain dengan teman-temannya. Sawah juga menjadi mata
pencaharian bapaknya, buruh tani. Seluruh sawah di desanya tenggelam otomatis
kehilangan pekerjaan, untuk menyambung hidup pak Rohim bekerja serabutan.
Desa Besuki adalah desa yang belakangan tenggelam oleh
lumpur Lapindo, pusat semburan berada di desa Reno Kenongo. Semua wilayah
diluar ring 1 ganti rugi menjadi tanggung jawab pemerintah termasuk Besuki.
Maka pak Rohim banyak belajar dari daerah ring 1 dalam hal kesepakatan ganti rugi
tanah dan bangunan. Daerah ring 1 ganti rugi ditanggung PT Lapindo Brantas Inc,
namun dibayar dengan dicicil sehingga banyak korban yang tak bisa mendirikan rumah
habis untuk kebutuhan sehari-hari. Maka pak Rohim mencari tempat tinggal baru
agar dapat berdampingan dengan saudara dan tetangga Besuki, meski tak semua.
Kata Vika, meski sudah tinggal bertahun-tahun di Panggreh dengan tetangga baru
ataupun kawan sebaya tetap tak bisa dekat dengan lingkungan sosial seperti di
Besuki, ia tak pernah keluar sekedar main ke tetangga, kecuali kanan kiri rumah
adalah saudara.
Kami berbicara di teras rumah, duduk santai di lantai keramik,
pagi itu cuaca sedang cerah. Rumah pak Rohim menghadap ke utara, halaman depan rumah
pak Rohim sebelah barat adalah musholla, sedangkan sebelah timur adalah kolam
yang dibagi menjadi dua bagian, yang pertama adalah ikan lele ukurannya masih sebesar kecebong. Kolam satunya
berisi ikan koi ukurannya cukup besar ukurannya
sekitar 6-10 cm. Gemericik air yang keluar dari pipa kecil seperti air mancur,
air ke atas kemudian turun ke bawah berfungsi sebagai sirkulasi udara untuk
ikan koi.
Percakapan kami berlanjut, Vika mengatakan bahwa ganti rugi Lapindo sudah
untung bisa berdiri rumah karena tanahnya saja juga mahal. Lantai keramik dan
renovasi lainnya bukan dari uang ganti rugi melainkan dari putri pertama Pak
Rohim yang kemudian bekerja di pabrik farmasi.
"Bakrie bisa seenaknya ngebor disini, dia bisa tinggal
dimana aja tanpa memikirkan akibatnya, warga sini yang merasakan" ucapnya menahan
emosi. Wajahnya meninggalkan trauma begitu dalam. "Tak semua bisa dinilai
dengan uang" tukasnya berkaca-kaca. Menurutnya trauma masa kecil tak bisa
diganti dengan uang, kala itu setiap hari diliputi rasa was-was, menunggu
giliran rumah keluarganya terendam lumpur artinya mau tidak mau harus pindah. Sekolah
tak tenang karena tempat bergantian, belajar cuma sekedar.
Tragedi lumpur lumpur Lapindo meninggalkan luka amat
mendalam. Menurut catatan Walhi 2016, lumpur Lapindo yang menenggelamkan 13
desa dari tiga kecamatan lebih dari 75.000 jiwa terusir dari kampung halamannya.
Luasan 13 desa yang tenggelam adalah lebih dari 800 ha. Semburan lumpur Lapindo
29 Mei 2006 menghilangkan tata kehidupan warga secara sosial, budaya, ekonomi, ekologi,
kesehatan,dan politik. Akibat yang ditimbulkannya tidak berhenti sampai hari
ini, karena semburan lumpur diramalkan akan berhenti 20 tahun ke depan berdasarkan
potensi di dalam bumi.
Dampak sosial
Dalam kelas belajar perempuan yang diadakan Walhi pada 25-27
Mei 2018 dua puluhan lebih perempuan korban Lapindo bercerita pengalaman buruk
akibat lumpur Lapindo. Ibu-ibu dari desa Gedang mengaku kehilangan 4 RT, banyak
tetangga dan saudara yang pindah menjadikan kegiatan keagamaan seperti yasinan
kini anggotanya sedikit dan perpecahan
dalam keluarga karena berebut uang ganti rugi antar saudara. Melihat pengalaman
buruk tetangga warga Gedang yang masih bertahan tak ingin pindah meski setiap
hari menghirup bau lumpur yang tajam, sumber air sumur yang dipakaii
sehari-hari keruh kecoklatan. Mereka sadar jika lingkungannya tidak sehat, namun
pindah tempat tinggal bukanlah solusi alih-alih menimbulkan persoalan baru.
Harwati penyintas korban lumpur Lapindo yang dulu tinggal di
desa Siring kemudian pindah ke Candi Pari bercerita tentang almarhum
ibunya yang menderita trauma mendalam. Pernah suatu ketika ibunya sakit,
katanya rindu suasana berkumpul dengan tetangga. Akhirnya Harwati mengantarkan
ibunya ke rumah tetangga satu persatu di tempat tinggal yang baru. Namun pulang
dari rumah tetangga ibunya masih juga bersedih, "kenapa tidak sama ketika
masih di Siring ya" begitu kata Harwati.
Dampak Ekonomi
Dalam kelas belajar ini juga saya mendapati cerita seorang
ibu yang sehari-hari menjadi penjahit. Rumah dan seluruh isinya tenggelam,
selama di pengungsian korban mendapat jatah hidup Rp. 300.000,00 per bulan
dipakai untuk mengganti kain ke satu persatu pelanggan karena semua kain turut
tenggelam. Kini di tempat yang baru jasa menjahit tak seramai dulu, menurutnya
karena sudah terpisah dengan lingkungan, banyak yang tidak mengetahui
domisilinya sekarang.
Daerah yang tenggelam oleh lumpur Lapindo banyak berdiri
pabrik seperti pabrik kerupuk, jam, minuman, rokok, dan sepatu. Rata-rata
perempuan di daerah ini bekerja di sana, kini banyak yang menganggur atau
beberapa menjadi tukang ojek di tanggul.
Dampak Ekologi
Ida Rahmahayati sebelumnya adalah warga desa Gedang kini
tinggal di desa Kebon agung. Bermula ketika punya hajat masak nasi dalam jumlah
besar, air yang digunakan untuk mencuci beras dan memasak adalah air sumur
meski sudah terlihat kecoklatan. Tak disangka nasi yang dimasak berubah warna
menjadi kehitaman. Dari situ Ida dan keluarga memutuskan pindah.
Menurut Ida sebelum semburan lumpur Lapindo, mata air sumur
di rumahnya jernih demikian juga udara tak ada bau menyengat. Air sumur dipakai
mandi badan sering gatal-gatal dan ketika untuk mencuci peralatan masak menjadi
karatan. Air sebagai sumber kehidupan tak bisa lagi dikonsumsi dan udara untuk
pernapasan telah tercemar.
Dampak Kesehatan
Ada beberapa ibu-ibu dalam kelas belajar kemaren yang merasa
pusing salah satunya kemudian muntah. Bau lumpur siang 26 Mei 2018 begitu
menyengat, posisi Taman Dwakarakerta Porong sebagai tempat belajar memang tak
jauh dari lokasi tanggul, berada di seberang jalan.
Hasil penelitian Walhi Jawa Timur 2006-2008 menunjukkan
luapan lumpur mengandung senyawa Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH).
Senyawa PAH berasal dari pembakaran tidak sempurna minyak mentah, kayu, batu
bara atau sampah dan juga ditemukan dalam unsur seperti aspal cair dan cairan pengawet
kayu. PAH ditemukan di lingkungan air, udara maupun padatan di dalam sedimen
atau lahan. PAH yang terkandung dalam lumpur Lapindo 8.000 kali lipat dari
ambang batas normal.
Lumpur Lapindo setidaknya mengandung dua jenis PAH, yaitu
chrysene dan benz (a) antracene . Senyawa kimia ini jika masuk ke dalam tubuh
akan langsung mempengaruhi sistem metabolisme, yang akan menimbulkan berbagai
penyakit. Selama ini korban Lapindo bersentuhan langsung dengan PAH dalam
kategori terpapar lama dalam 24 jam berturut-turut. PAH dalam kadar yang
terendah saja sangat mudah masuk ke tubuh melalui pori-pori kulit.
Senyawa kimia ini sangat mudah larut dalam tubuh, sehingga
jika orang terpapar lama dalam waktu lima hingga sepuluh tahun, orang tersebut
langsung akan terkena tumor dan kanker. Karena kadarnya 8.000 kali lipat,
risiko terkena tumor dan kanker dipastikan lebih cepat.
Selain itu ditemukan logam berat lainnya seperti kadmium,
kromium, tembaga, dan timbal. Semua logam berat tersebut kandungan berada
diatasnya kewajaran1.
Akankah Jombang yang Ditenggelamkan Lapindo Selanjutnya?
Saya jadi ingat kata-kata Marx "sejarah selalu berulang
dua kali pertama menjadi tragedi ke dua menjadi lelucon". Lumpur Lapindo
di Sidoarjo menjadi tragedi terencana dan selanjutnya akan menjadi lelucon jika
Jombang menjadi sasaran yang sama untuk di eksploitasi. Negara memberikan jalan
mulus melalui UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi sebagai akses
perusahaan-perusahaan swasta untuk mengeruk sumber daya alam dengan jaminan hak
milik yang lebih kuat. Artinya semburan lumpur negara turut serta berperan menenggelamkan
rakyat2.
PT Lapindo Brantas Inc selaku pemegang konsesi pertambangan blok
metro di Jombang yang kini mengantongi kelengkapan dokumen UKL, UPL dan izin
lingkungan kepada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Jombang saat ini pada
tahap eksplorasi. Meski beberapa waktu lalu mendapat protes dari warga dengan
mendatangi kantor pemerintah kabupaten Jombang pada 9 Mei 2018 menuntut
dicabutnya surat izin tersebut. Pasalnya eksplorasi tambang dilakukan tanpa
sepengetahuan warga. Pihak perusahaan tidak pernah secara terbuka melakukan
sosialisasi3. Model semacam ini telah diterapkan lebih dahulu di
Porong, masyarakat dikelabui bahwa izin pendirian perusahaan adalah usaha
peternakan. Di Jombang perusahaan Bakrie menggunakan strategi yang sama yakni
warga tak mengetahui jika desanya akan dijadikan areal pertambangan gas alam
yang kemudian berbagai dokumen perizinan telah disetujui pemerintah daerah.
Mengutip pernyataan Roy Murtadho bahwa negara ketiga seperti
Indonesia hanyalah salesman yang menjajakan potensi sumber daya alam sebagai bahan
mentah industri pada korporasi. Semua pelayanan publik yang seharusnya menjadi
tugas negara terkooptasi korporasi4. Negara hanya menjadi budak
korporasi.
Jika pola yang dilakukan Lapindo berhasil melenggang pada
tahap eksploitasi atas restu negara artinya mitos Jombang dadi blumbang akan
menjadi lelucon karena terulang kedua kali.
Penulis: Nuzul
Penulis: Nuzul
______________________
1.
http://korbanlumpur.info/2008/08/lumpur-lapindo-mengandung-senyawa-kimia-berbahaya/
2.
http://korbanlumpur.info/2015/05/mengingat-lapindo-mengingat-penghancuran-terencana/
3
https://kanalindonesia.com/42647/2018/05/09/suarakan-penolakan-dan-pencabutan-ijin-pengeboran-lapindo-brantas-di-jombang-200-warga-kesamben-unras/
4. https://indoprogress.com/2016/08/krisis-ekologi-dan-bangkrutnya-peran-agama/
Kredit foto
http.m.merdeka.com/jatim/kabare-jatim/kenang-lumpur-lapindo-walhi-gelar-diskusi-soal-dampaknya-sampai-kini-1705294.html
