Rabu, 30 Mei 2018

Lumpur Lapindo dan Cerita yang Tak di Dengar



WAKTU sahur kurang 15 menit setelah ku buka ponselku, dengan tergagap aku keluar dari kamar, ternyata istri pak Rohim juga baru bangun pada Jum'at 25 Mei 2018."Saya ga tau kalo ada tamu saya kira anak saya yang pulang" begitu tukasnya memulai percakapan kami. Selanjutnya ibu tiga anak itu sibuk mengejar waktu menyiapkan makanan sahur dengan mulai menyalakan kompor. Setelah dari kamar mandi saya kembali ke kamar membangunkan dua temanku. Kami pasrah untuk tidak sahur setelah mendengar ceritaku, istri pak Rohim yang baru bangun mungkin akan sibuk menyiapkan sahur untuk suami dan anak-anaknya.

Aku tawarkan sisa makanan ringan yang aku bawa dari rumah, kami bertiga menikmatinya. Suara istri pak Rohim memanggil kami dari luar, tiga gelas sereal di nampan diberikan kepada kami disusul satu piring nasi dan satu piring mie instan. Ini adalah sahur kilat. Karena tak lama suara adzan dari salon kecil berkumandang dari luar rumah, persis di depan pintu kamar tempat kami menginap. Musholla sederhana dengan lantai papan kayu, tiang penyangga bambu, tanpa dinding, hanya pembatas seperti pagar yang terbuat dari bambu, bergantung lampu minyak di bawah genteng, dan beralaskan tikar, lebih mirip seperti angkringan rumah makan, atapnya rendah, dan luasnya berukuran sekitar 4><5 m. Menurut pak Rohim, moshola ini sebelumnya adalah sanggar. Ramadhan tahun lalu dibuat jadi moshola dengan pertimbangan akses musholla ataupun masjid lumayan jauh.

Dalih ganti rugi yang diberikan  pemerintah hanya dihitung aset pribadi warga korban lumpur, aset sosial seperti sekolah, TPQ, Pesantren, panti asuhan, masjid dan musholla tak masuk hitungan. Agar bisa beribadah, pendirian tempat ibadah diusahakan warga sendiri. "Dan kalo musholla dekat rumah selesai dibangun akan kembali menjadi sanggar", kata pak Rohim.

Malam ini kami bertiga menginap di rumah pak Rohim salah satu korban lumpur Lapindo Porong Sidoarjo. Kini ia tinggal di Panggreh pasca terendam lumpur yang sebelumnya secara turun temurun di desa Besuki. Rumah pak Rohim bukanlah daerah ring 1 ganti rugi bukan ditanggung perusahaan Bakrie tetapi negara. Setelah sebelumnya lumpur Lapindo yang menenggelamkan 13 desa ditetapkan sebagai bencana alam.
###

Matahari belum tampak, pagi masih gelap meski waktu shubuh telah berlalu. Suara adzan, pujian, maupun iqomah tak terdengar lagi diberbagai penjuru desa, hanya beberapa suara dari musholla yang terdengar tadarus Al Qur'an, suasana Ramadhan yang sangat kentara. Istri pak Rohim sedang mencuci piring, membereskan sisa sahur. "Mbak nanti saya tidak ada di rumah, pak Rohim juga kerja, ada anak saya Vika" tutur istri pak Rohim. Istri pak Rohim sehari-harinya bekerja mengasuh anak tetangga sebelah rumahnya dahulu  ketika masih tinggal di Besuki. Meski kini mereka tinggal berjauhan, kohesi sosial masih erat, istri pak Rohim masih dipercaya mengasuh anak-anaknya. Ia mengasuh sejak anak yang pertama masih bayi hingga sekarang duduk di bangku kelas satu sekolah dasar, kini berlanjut mengasuh anak yang ke-dua yang belum genap dua tahun.

Nampak kedekatan kekerabatan tak terpisah walau lumpur menenggelamkan, meski jarak rumah sekarang cukup jauh satu sama lain. Vika bercerita, "saat itu saya masih kelas dua MI, sekolah saya berpindah-pindah, kadang numpang di sekolah lain". Dengan berkaca-kaca ia melanjutkan cerita, "saya kehilangan teman masa kecil yang sekarang tak tahu kemana, kehilangan tempat bermain". Di belakang rumahnya dulu di Besuki adalah sawah, sehari-hari ia kerap bermain dengan teman-temannya. Sawah juga menjadi mata pencaharian bapaknya, buruh tani. Seluruh sawah di desanya tenggelam otomatis kehilangan pekerjaan, untuk menyambung hidup pak Rohim bekerja serabutan.

Desa Besuki adalah desa yang belakangan tenggelam oleh lumpur Lapindo, pusat semburan berada di desa Reno Kenongo. Semua wilayah diluar ring 1 ganti rugi menjadi tanggung jawab pemerintah termasuk Besuki. Maka pak Rohim banyak belajar dari daerah ring 1 dalam hal kesepakatan ganti rugi tanah dan bangunan. Daerah ring 1 ganti rugi ditanggung PT Lapindo Brantas Inc, namun dibayar dengan dicicil sehingga banyak korban yang tak bisa mendirikan rumah habis untuk kebutuhan sehari-hari. Maka pak Rohim mencari tempat tinggal baru agar dapat berdampingan dengan saudara dan tetangga Besuki, meski tak semua. Kata Vika, meski sudah tinggal bertahun-tahun di Panggreh dengan tetangga baru ataupun kawan sebaya tetap tak bisa dekat dengan lingkungan sosial seperti di Besuki, ia tak pernah keluar sekedar main ke tetangga, kecuali kanan kiri rumah adalah saudara.

Kami berbicara di teras rumah, duduk santai di lantai keramik, pagi itu cuaca sedang cerah. Rumah pak Rohim menghadap ke utara, halaman depan rumah pak Rohim sebelah barat adalah musholla, sedangkan sebelah timur adalah kolam yang dibagi menjadi dua bagian, yang pertama  adalah ikan lele  ukurannya masih sebesar kecebong. Kolam satunya  berisi ikan koi ukurannya cukup besar ukurannya sekitar 6-10 cm. Gemericik air yang keluar dari pipa kecil seperti air mancur, air ke atas kemudian turun ke bawah berfungsi sebagai sirkulasi udara untuk ikan koi.

Percakapan kami berlanjut,  Vika mengatakan bahwa ganti rugi Lapindo sudah untung bisa berdiri rumah karena tanahnya saja juga mahal. Lantai keramik dan renovasi lainnya bukan dari uang ganti rugi melainkan dari putri pertama Pak Rohim yang kemudian bekerja di pabrik farmasi.
"Bakrie bisa seenaknya ngebor disini, dia bisa tinggal dimana aja tanpa memikirkan akibatnya, warga sini yang merasakan" ucapnya menahan emosi. Wajahnya meninggalkan trauma begitu dalam. "Tak semua bisa dinilai dengan uang" tukasnya berkaca-kaca. Menurutnya trauma masa kecil tak bisa diganti dengan uang, kala itu setiap hari diliputi rasa was-was, menunggu giliran rumah keluarganya terendam lumpur artinya mau tidak mau harus pindah. Sekolah tak tenang karena tempat bergantian, belajar cuma sekedar.

Tragedi lumpur lumpur Lapindo meninggalkan luka amat mendalam. Menurut catatan Walhi 2016, lumpur Lapindo yang menenggelamkan 13 desa dari tiga kecamatan lebih dari 75.000 jiwa terusir dari kampung halamannya. Luasan 13 desa yang tenggelam adalah lebih dari 800 ha. Semburan lumpur Lapindo 29 Mei 2006 menghilangkan tata kehidupan warga secara sosial, budaya, ekonomi, ekologi, kesehatan,dan politik. Akibat yang ditimbulkannya tidak berhenti sampai hari ini, karena semburan lumpur diramalkan akan berhenti 20 tahun ke depan berdasarkan potensi di dalam bumi.

Dampak sosial
Dalam kelas belajar perempuan yang diadakan Walhi pada 25-27 Mei 2018 dua puluhan lebih perempuan korban Lapindo bercerita pengalaman buruk akibat lumpur Lapindo. Ibu-ibu dari desa Gedang mengaku kehilangan 4 RT, banyak tetangga dan saudara yang pindah menjadikan kegiatan keagamaan seperti yasinan kini anggotanya sedikit dan  perpecahan dalam keluarga karena berebut uang ganti rugi antar saudara. Melihat pengalaman buruk tetangga warga Gedang yang masih bertahan tak ingin pindah meski setiap hari menghirup bau lumpur yang tajam, sumber air sumur yang dipakaii sehari-hari keruh kecoklatan. Mereka sadar jika lingkungannya tidak sehat, namun pindah tempat tinggal bukanlah solusi alih-alih menimbulkan persoalan baru.

Harwati penyintas korban lumpur Lapindo yang dulu tinggal di desa Siring kemudian pindah ke Candi Pari bercerita tentang almarhum ibunya yang menderita trauma mendalam. Pernah suatu ketika ibunya sakit, katanya rindu suasana berkumpul dengan tetangga. Akhirnya Harwati mengantarkan ibunya ke rumah tetangga satu persatu di tempat tinggal yang baru. Namun pulang dari rumah tetangga ibunya masih juga bersedih, "kenapa tidak sama ketika masih di Siring ya" begitu kata Harwati.

Dampak Ekonomi
Dalam kelas belajar ini juga saya mendapati cerita seorang ibu yang sehari-hari menjadi penjahit. Rumah dan seluruh isinya tenggelam, selama di pengungsian korban mendapat jatah hidup Rp. 300.000,00 per bulan dipakai untuk mengganti kain ke satu persatu pelanggan karena semua kain turut tenggelam. Kini di tempat yang baru jasa menjahit tak seramai dulu, menurutnya karena sudah terpisah dengan lingkungan, banyak yang tidak mengetahui domisilinya sekarang.
Daerah yang tenggelam oleh lumpur Lapindo banyak berdiri pabrik seperti pabrik kerupuk, jam, minuman, rokok, dan sepatu. Rata-rata perempuan di daerah ini bekerja di sana, kini banyak yang menganggur atau beberapa menjadi tukang ojek di tanggul.

Dampak Ekologi
Ida Rahmahayati sebelumnya adalah warga desa Gedang kini tinggal di desa Kebon agung. Bermula ketika punya hajat masak nasi dalam jumlah besar, air yang digunakan untuk mencuci beras dan memasak adalah air sumur meski sudah terlihat kecoklatan. Tak disangka nasi yang dimasak berubah warna menjadi kehitaman. Dari situ Ida dan keluarga memutuskan pindah.
Menurut Ida sebelum semburan lumpur Lapindo, mata air sumur di rumahnya jernih demikian juga udara tak ada bau menyengat. Air sumur dipakai mandi badan sering gatal-gatal dan ketika untuk mencuci peralatan masak menjadi karatan. Air sebagai sumber kehidupan tak bisa lagi dikonsumsi dan udara untuk pernapasan telah tercemar.

Dampak Kesehatan
Ada beberapa ibu-ibu dalam kelas belajar kemaren yang merasa pusing salah satunya kemudian muntah. Bau lumpur siang 26 Mei 2018 begitu menyengat, posisi Taman Dwakarakerta Porong sebagai tempat belajar memang tak jauh dari lokasi tanggul, berada di seberang jalan.
Hasil penelitian Walhi Jawa Timur 2006-2008 menunjukkan luapan lumpur mengandung senyawa Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH). Senyawa PAH berasal dari pembakaran tidak sempurna minyak mentah, kayu, batu bara atau sampah dan juga ditemukan dalam unsur seperti aspal cair dan cairan pengawet kayu. PAH ditemukan di lingkungan air, udara maupun padatan di dalam sedimen atau lahan. PAH yang terkandung dalam lumpur Lapindo 8.000 kali lipat dari ambang batas normal.
Lumpur Lapindo setidaknya mengandung dua jenis PAH, yaitu chrysene dan benz (a) antracene . Senyawa kimia ini jika masuk ke dalam tubuh akan langsung mempengaruhi sistem metabolisme, yang akan menimbulkan berbagai penyakit. Selama ini korban Lapindo bersentuhan langsung dengan PAH dalam kategori terpapar lama dalam 24 jam berturut-turut. PAH dalam kadar yang terendah saja sangat mudah masuk ke tubuh melalui pori-pori kulit.

Senyawa kimia ini sangat mudah larut dalam tubuh, sehingga jika orang terpapar lama dalam waktu lima hingga sepuluh tahun, orang tersebut langsung akan terkena tumor dan kanker. Karena kadarnya 8.000 kali lipat, risiko terkena tumor dan kanker dipastikan lebih cepat.
Selain itu ditemukan logam berat lainnya seperti kadmium, kromium, tembaga, dan timbal. Semua logam berat tersebut kandungan berada diatasnya kewajaran1.

Akankah Jombang yang Ditenggelamkan Lapindo Selanjutnya?
Saya jadi ingat kata-kata Marx "sejarah selalu berulang dua kali pertama menjadi tragedi ke dua menjadi lelucon". Lumpur Lapindo di Sidoarjo menjadi tragedi terencana dan selanjutnya akan menjadi lelucon jika Jombang menjadi sasaran yang sama untuk di eksploitasi. Negara memberikan jalan mulus melalui UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi sebagai akses perusahaan-perusahaan swasta untuk mengeruk sumber daya alam dengan jaminan hak milik yang lebih kuat. Artinya semburan lumpur negara turut serta berperan menenggelamkan rakyat2.

PT Lapindo Brantas Inc selaku pemegang konsesi pertambangan blok metro di Jombang yang kini mengantongi kelengkapan dokumen UKL, UPL dan izin lingkungan kepada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Jombang saat ini pada tahap eksplorasi. Meski beberapa waktu lalu mendapat protes dari warga dengan mendatangi kantor pemerintah kabupaten Jombang pada 9 Mei 2018 menuntut dicabutnya surat izin tersebut. Pasalnya eksplorasi tambang dilakukan tanpa sepengetahuan warga. Pihak perusahaan tidak pernah secara terbuka melakukan sosialisasi3. Model semacam ini telah diterapkan lebih dahulu di Porong, masyarakat dikelabui bahwa izin pendirian perusahaan adalah usaha peternakan. Di Jombang perusahaan Bakrie menggunakan strategi yang sama yakni warga tak mengetahui jika desanya akan dijadikan areal pertambangan gas alam yang kemudian berbagai dokumen perizinan telah disetujui pemerintah daerah.

Mengutip pernyataan Roy Murtadho bahwa negara ketiga seperti Indonesia hanyalah salesman yang menjajakan potensi sumber daya alam sebagai bahan mentah industri pada korporasi. Semua pelayanan publik yang seharusnya menjadi tugas negara terkooptasi korporasi4. Negara hanya menjadi budak korporasi.
Jika pola yang dilakukan Lapindo berhasil melenggang pada tahap eksploitasi atas restu negara artinya mitos Jombang dadi blumbang akan menjadi lelucon karena terulang kedua kali.

 Penulis: Nuzul
______________________
1. http://korbanlumpur.info/2008/08/lumpur-lapindo-mengandung-senyawa-kimia-berbahaya/
2. http://korbanlumpur.info/2015/05/mengingat-lapindo-mengingat-penghancuran-terencana/
3 https://kanalindonesia.com/42647/2018/05/09/suarakan-penolakan-dan-pencabutan-ijin-pengeboran-lapindo-brantas-di-jombang-200-warga-kesamben-unras/
4. https://indoprogress.com/2016/08/krisis-ekologi-dan-bangkrutnya-peran-agama/

Kredit foto
http.m.merdeka.com/jatim/kabare-jatim/kenang-lumpur-lapindo-walhi-gelar-diskusi-soal-dampaknya-sampai-kini-1705294.html